NovelToon NovelToon
Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Light Novel
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: nazeiknow

Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.

Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.

Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.

Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.

Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 5: Pintu Keluar Sang Dewa

Langkah kaki Onezards yang dingin dan mantap kembali terdengar menghantam lantai batu gua. Tanpa suara tambahan, ia duduk perlahan di atas singgasananya yang terbuat dari es padat. Cahaya biru yang mengalir dari tubuhnya menciptakan siluet tajam di dinding gua, membuat sosoknya tampak seperti patung abadi.

Oiko berdiri diam beberapa meter darinya, tubuhnya masih menyimpan bekas luka pertempuran—meski kini telah diregenerasi sepenuhnya oleh kekuatan sang Dewa Es.

"Aku heran," suara Oiko memecah keheningan. "Kenapa... seorang dewa seperti kamu... tinggal di tempat seperti ini? Di dalam gua?"

Onezards membuka sedikit matanya, lalu memandang tajam, seolah sedang memutuskan apakah pertanyaan itu layak dijawab.

"Aku dikurung," jawabnya singkat.

Oiko mengerutkan alisnya. "Dikurung? Oleh siapa?"

"Tentu saja... oleh para dewa lain," jawab Onezards. "Mereka takut pada kekuatanku. Mereka menganggapku terlalu dingin... terlalu kejam. Mereka bilang aku tidak layak berjalan di antara mereka yang menyebut dirinya ‘agung’."

"Lalu... kenapa kau tidak keluar saja dari gua ini?"

Onezards tersenyum kecil, sinis. "Lihatlah di luar goa itu, manusia. Kau masuk ke sini karena segel penghalang itu tidak bisa menolak dari luar. Tapi dari dalam... aku tak bisa keluar. Aku terikat."

Oiko melangkah sedikit ke arah mulut gua, menoleh kembali pada sang dewa. "Kalau aku bisa keluar... kenapa aku tidak membantumu saja keluar juga?"

Onezards menggeleng perlahan. "Manusia tidak perlu tahu. Aku sudah memberimu hidup. Sudah cukup. Sekarang... pergilah."

Oiko menunduk sesaat. Dalam pikirannya, suara itu kembali muncul... suara misterius yang hanya ia yang mendengar:

[Konfirmasi Skill — Humanizer: Ultimate.]

[Efek: Mengubah entitas apapun, termasuk dewa, menjadi manusia biasa. Semua kekuatan dan skill dihapus sepenuhnya.]

Tatapan mata Oiko berubah. Ia melihat sosok Onezards—yang sedingin kematian, yang telah menghancurkannya, yang telah menyiksanya dengan ribuan pedang es... kini duduk dengan tenang dan tidak menyadari bahwa dirinya sedang diawasi oleh seseorang yang menyimpan potensi pembalik dunia.

"Apa aku harus... menggunakan skill itu padanya?" pikir Oiko dalam diam.

"Dia bilang dewa-dewa lain mengurung dia. Mungkin karena dia terlalu berbahaya... Tapi dia juga menyelamatkanku tadi. Haruskah... kupakai kekuatan itu padanya? Tidak... jangan. Kasihan."

Oiko menahan dirinya. Skill itu bukan sesuatu yang bisa dimainkan sembarangan. Ia bukan hanya ‘senjata pamungkas’—tapi penghapus takdir.

Onezards kembali berkata, suaranya terdengar lebih tenang. "Kalau kau memang tidak punya tujuan, manusia... pergilah ke selatan. Di sana, ada pemukiman. Dihuni oleh para Beastkin. Mereka adalah bangsa manusia-berbinatang, sebagian masih buas, sebagian telah hidup damai. Kau mungkin akan menemukan sesuatu di sana."

"Kalau ke barat?" tanya Oiko.

"Itu akan membawamu ke tempat kerjamu dulu. Dunia lama. Kenangan buruk."

Oiko menatap tanah. Dunia lama... tempat dirinya terus dihina, ditendang, dianggap tidak ada. Tidak ada satu pun alasan baginya untuk kembali ke sana.

Ia mengangguk kecil. "Terima kasih, Onezards..."

Tanpa menunggu jawaban, Oiko mulai melangkah. Suara langkah kakinya bergema di seluruh gua, perlahan menjauh dari pusat es dan salju abadi itu. Setiap langkah terasa berat, bukan karena fisik—tapi karena ia tahu, ini adalah awal dari perjalanan yang tak akan pernah membiarkannya kembali menjadi orang biasa.

...

Sesampainya di mulut gua, ia berhenti.

Di hadapannya, badai salju menyapu seluruh medan putih. Angin menderu seperti auman binatang liar yang tak pernah tidur. Dunia luar tidak berubah—masih dingin, masih keras, masih memusuhi segala bentuk kelemahan.

Oiko mengangkat satu tangan. Telapak tangannya perlahan ia julurkan ke luar.

Fwwhhh.

Angin membasahi kulitnya dengan es tipis. Salju mulai menempel. Dingin. Dingin sekali. Tapi Oiko tidak menariknya.

Ia bergumam lirih, hampir tak terdengar. "...Dingin. Dingin sekali..."

Namun ia tidak mundur.

Oiko memejamkan mata. Ia kembali mengingat kehidupannya—jalanan kota, lorong sempit tempat ia tidur, cercaan dari anak-anak dan orang dewasa, hujan malam yang tak pernah berhenti, dan rasa lapar yang tak pernah benar-benar hilang.

Kini ia tidak lagi anak kecil yang hanya bisa bertahan.

Kini ia adalah seseorang yang menyimpan kekuatan yang mampu menjatuhkan dewa.

Dan dunia luar tidak lagi tempat untuk lari—tapi tempat untuk ditaklukkan.

Ia melangkah ke luar. Angin menampar wajahnya. Tapi ia terus berjalan. Setiap jejak kaki di salju adalah tanda bahwa Oiko yang baru telah lahir. Dan dunia tidak siap menyambutnya.

...

Langkah Oiko menorehkan jejak-jejak tipis di atas permukaan salju putih yang luas. Setiap tapaknya meninggalkan bayangan samar yang perlahan-lahan tertutup kembali oleh butiran salju yang terus turun dari langit kelabu. Udara menggigit kulit, angin terus berhembus dari arah utara, seolah-olah memaksa siapa pun yang mencoba meninggalkan tempat itu untuk kembali.

Tapi Oiko tidak pernah melihat ke belakang. Ia melangkah terus. Teguh, diam, tanpa ragu.

Hanya suara desir salju yang menemani. Dan bunyi napasnya yang sesekali membeku di udara.

Angin tiba-tiba menguat.

Wuuuuuuhhh!

Pukulan angin kencang menghantam wajah Oiko. Ia memejamkan mata sejenak, tubuhnya sedikit terseret mundur karena hempasan itu. Rambutnya yang hitam tersibak ke belakang, dan jaket usang pemberian dunia lama mengepak keras oleh badai singkat yang datang dan pergi seperti amarah sesaat dari langit.

Namun langkahnya tak goyah.

Ia melangkah kembali. Perlahan, namun pasti.

"Selatan..." bisiknya. "Ke selatan... Beastkin, ya..."

Ia menunduk sedikit, matanya kosong memandang salju.

“Beastkin itu apa...?” pikirnya dalam hati. “Monster? Manusia setengah iblis? Mahluk buas seperti serigala dengan taring berdarah? Apa mereka menyerang manusia? Apa mereka makan manusia...?”

Bayangan-bayangan liar mulai berkelebat di kepalanya. Oiko membayangkan sosok-sosok bertubuh besar, berbulu tebal, wajah mengerikan dengan mata merah menyala dan kuku panjang yang siap mencabik tubuh siapa saja. Dalam bayangan itu, para Beastkin meraung sambil mengejar dirinya, lidah menjulur, taring berkilat.

Oiko bergidik.

"Bodoh," katanya sambil menggeleng cepat. "Aku belum tahu apa-apa... jangan takut dulu..."

Ia memaksakan senyum kecil pada dirinya sendiri, meski tidak bertahan lama. Dingin masih menusuk, dan rasa lelah mulai merambat di kaki dan punggungnya.

Tapi ia terus melangkah.

Semakin jauh dari gua. Semakin jauh dari Onezards, sang Dewa Es yang mengurung dirinya di dunia yang beku. Semakin dekat ke tempat yang ia sendiri tidak tahu akan seperti apa.

Langit mulai berubah. Badai perlahan mereda.

Salju yang tadi menari-nari di udara mulai berkurang. Angin memudar menjadi hembusan lembut. Langit kelabu menyingkir perlahan, memperlihatkan rona jingga yang mulai muncul di ufuk timur. Matahari sedang mencoba menyapa, meski sinarnya masih tertahan oleh awan tipis.

Oiko berhenti. Ia memicingkan mata.

Di hadapannya, tak jauh lagi… tanah.

Tanah sungguhan. Tidak lagi tertutup oleh salju abadi. Tanah cokelat yang sedikit lembab, seperti menyimpan kehangatan dunia yang lebih bersahabat. Rumput-rumput kering mulai muncul di pinggir batas antara salju dan tanah. Di kejauhan, pepohonan hijau mulai menjulang.

“…akhirnya…” desah Oiko.

Ia berlari kecil, menerobos batas antara salju dan tanah. Seakan sedang melintasi perbatasan dunia. Di satu sisi, kematian putih yang membekukan segalanya. Di sisi lain, kehidupan yang mulai bernapas.

Langkahnya semakin cepat.

Ketika kedua kakinya menyentuh tanah, ia tertawa kecil dan melebarkan tangannya seperti anak kecil yang berlari di padang luas.

“Ahhhh…” teriaknya pelan sambil menarik napas dalam-dalam. “Udara segar…!”

Benar-benar segar.

Udara di sini tidak lagi menusuk. Masih dingin, tapi bukan dingin yang mematikan. Dingin yang justru membawa kesegaran alami. Daun-daun bergetar pelan oleh angin. Burung-burung kecil terbang melintasi pepohonan rimbun yang terlihat damai.

Hutan.

Hutan rimbun membentang di hadapannya. Hijau, hidup, dan tampak tidak bersahabat sekaligus mengundang. Cahaya matahari mulai menembus celah-celah dedaunan di atas, menciptakan pola-pola cahaya yang bergerak di atas tanah.

Oiko berdiri di batas antara salju dan hutan. Satu langkah lagi, dan ia akan benar-benar memasuki dunia baru.

Ia menatap ke depan dengan serius. Matanya tidak lagi menyimpan keraguan. Ia tahu, perjalanan belum selesai. Bahkan belum dimulai.

Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama… ia merasa bebas.

"Bukan dunia lama... bukan dewa es... bukan kegelapan... ini " ia mengepalkan tangan, "adalah jalanku sendiri."

Ia menghela napas.

Lalu, melangkah masuk ke dalam hutan.

1
Protocetus
jika berkenan mampir ya ke novelku Frontier
HarusameName
bukan hasil AI 'kan, ini?
HarusameName: Narasinya bagus, loh! Nice work.
nazeiknow: kalau ga libur up chapter nya per hari "Minggu"
total 4 replies
nazeiknow
JANGAN LUPA LIKE TEMAN BIAR SAYA LEBIH SEMANGAT MENULIS CERITA INI KALAU BISA LOVE LOVE DI PENCET 😉
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!