NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.11 - Bening, Pasukan Oranye dan Erlangga

“Lihat nih! Aku nulis materi yang kemungkinan bakal keluar pas UH nanti!”

Bening, berdiri di antara meja Welda dan Milda, menunjukkan selembar kertas yang isinya adalah kemungkinan soal ulangan harian Bahasa Indonesia yang akan keluar. Dia menulis jawabannya dengan detail agar dapat diingat dengan mudah.

“Gila! Mau lo pake buat nyontek, yah?” Shakila menuduh.

“Bukan lah! Ini mah buat dipelajari aja.” Bening mengelak, karena kenyataannya memang demikian.

Dia lebih baik bertanya ke teman sebelahnya daripada harus membawa kertas sontekan. Walau sama-sama buruk, setidaknya guru tak menemukan bukti bahwa dia menyontek.

Sesaat setelah Bening menunjukkan kertas itu, bel masuk berbunyi. Ia bergegas kembali ke tempat duduknya. Sebab Bu Petris selalu datang dua ke kelas dua menit setelah bel berbunyi, beliau tak suka membuang waktu mengajarnya.

Bu Petris memasuki ruang kelas. Beliau membawa kertas HVS yang isinya adalah lima soal ulangan harian. Kertas itu takkan dibagikan, karena hanya ada satu. Soal akan didikte dan biarkan para siswi yang menulis kelima soal di lembar kertas masing-masing. Walau soalnya hanya lima, itu soal beranak. Namun untungnya ada tiga soal yang jawabannya pendek-pendek.

Bening bisa menyelesaikan kelima soal dalam waktu lima belas menit. Menurutnya itu waktu yang sangat lama, tapi melihat ke sekelilingnya masih banyak yang mengerjakan soal membuat Bening merasa dia terlalu cepat.

“Kalau sudah, kumpulkan di depan.” Pinta Bu Petris.

Bening membereskan pulpennya agar tidak jatuh dan hilang, kemudian menyerahkan lembar jawabannya pada Bu Petris. Bu Petris mengangguk-angguk melihat rentetan jawaban milik Bening. Bening rasa hasilnya cukup memuaskan.

Sepuluh menit sebelum waktu yang diberikan habis, barulah sisa siswi yang lain mengumpulkan secara bersamaan. Bening merasa agak bosan karena ia tak bisa memainkan ponselnya. Benda gepeng itu haram terlihat oleh Bu Petris selama jam pelajarannya.

Setelah dikoreksi, Bu Petris membagikan seluruh lembar jawaban kecuali satu orang yang mendapat nilai sempurna dan diberikan hadiah kecil oleh beliau. Bening melihat lembar kertasnya, kurang lima poin lagi untuknya bisa mendapat nilai sempurna.

Selama bertahun-tahun bersekolah, dia belum pernah mendapat teman sekelas yang jauh lebih superior darinya di bidang akademik. Tidak. Bening hanya terkalahkan sekali. Saat akhir semester, ia harap kejadian ini takkan terulang.

Bu Petris keluar dari kelas. Bening melangkah menghampiri kelima temannya yang sedang membicarakan hasil ulangan harian.

“Gue dapet 85 doank!”

“Masih lumayan itu, gue cuma 75.”

“Gak nyangka banget ada yang dapet 100 anjir! Si Bening aja yang selalu juara satu pas SMP mentok di 95.”

“Dia mah pinternya asli, gak kayak si 95. Aneh, udah nyiapin contekan masih ada yang salah.”

Langkah Bening terhenti, badannya membeku. Apa yang teman-temannya ini bicarakan? Kenapa mereka menjelekkan Bening dan menyindir dirinya seenak jidat? Siapa yang menyontek?

Apa mereka tak dengar kalau Bening mengatakan kertas itu dibuat olehnya untuk dipelajari, bukan sebagai sontekan. Lagi pula kalau saja tidak keburu bel, Bening juga akan membagi kertasnya kepada mereka.

Bening mencengkeram kuat lembar jawabannya. Dia mengurungkan niat untuk menghampiri pasukan oranye dan kembali ke tempat duduknya dengan perasaan campur aduk. Padahal mereka berteman, dari satu SMP yang sama. Kenapa mereka menusuknya dari belakang begitu saja?

Kenapa dia selalu gagal mempunyai teman yang loyal?

Hubungan pertemannya selalu bertepuk sebelah tangan. Seperti kutukan.

...****...

Bening berhenti bercerita. Ia mengembuskan napas panjang. Seakan setiap tarikan napas dia buang bersamaan dengan keresahan di hatinya. Karena selama ini dia tak pernah buka suara. Sekedar curhat ke sang bapak pun tak mampu untuk mengatakan semuanya, karena air matanya terlanjur mengalir.

Lail paham, itulah kenapa Bening mendadak keluar dari pasukan oranye dan ke mana-mana bersama Jelika. Ada alasan di sebaliknya. Lail jadi mengerti kenapa dia menemukan gumpalan kertas itu di kolong meja Bening tempo hari. Semuanya masuk akal, Lail telah merapikan benang yang semerawut.

“Ouh... makanya kamu barcode?”

Lail hendak meninju mulutnya sendiri karena kalimat yang lolos dari seleksi otaknya. Dalam hati dia meringis, ini perkara sensitif. Kenapa dirinya tak dianugerahi empati yang besar? Hanya peka masalah orang saja tak cukup kalau dia tak bisa menempatkan diri sebagai orang lain.

Bening sontak menutup pergelangan tangannya, matanya melotot tak percaya, “Kamu tau?”

Lail kembali santai sebab respons Bening barusan, “Gak mungkin aku gak nyadar. Mau ditutup sedemikian rupa, kalau kamu gulung itu kerah lengan yah bakal keliatan lah.”

Bening nampak melemas, wajahnya menunduk.

“Aku tau kamu udah di titik terendah banget, jadi aku gak bisa menghakimi apa yang kamu buat. Walau sebenernya ada alternatif lain buat nyalurin rasa putus asa, kayak nulis buku harian atau coret-coret kertas. Itu lebih positif.” Lail memperbaiki posisi duduknya. “Tapi sekali lagi, aku bukan kamu, jadi aku gak tau.”

Kepala Bening semakin tertunduk dalam, dia seperti akan menangis.

Ah, Lail tak suka situasi ini. Sebab dia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Untuk ukuran Bening, Lail tak bisa melemparkan candaan satirnya, karena Bening terlalu rapuh untuk itu.

“Ayo pulang, sebelum angkotnya gak lewat sama sekali.” Ajak Lail setelah dia menimang-nimang ratusan keputusan yang berputar liar di otaknya.

Sebab, cara terbaik Lail menghadapi seseorang di titik rendahnya, hanyalah menemani dalam diam. Tak lebih, tak kurang. Lail meminta maaf pada Bening dalam hatinya karena tak berusaha memperbaiki suasana hati Bening, menghiburnya supaya dia lebih baik. Lail cacat untuk kasus ini, karena tak ada yang pernah mengajarkannya untuk menghibur orang lain.

Dan juga... tidak ada contoh dari orang lain yang bisa ia tiru ketika dia di situasi sama. Memendam stres dan menahan air matanya mengalir adalah terapi yang ia pilih pada akhirnya.

Maaf... maaf banget, Ning. Andai aja ada yang ngasih tahu aku caranya, aku juga bakal usaha, bukan malah cuma diem nemenin kamu.

Bening berdiri menyender di gerbang sekolah, sedangkan Lail berdiri agak depan, mengantisipasi kalau ada angkot.

“Hm?” Lail menyadari keberadaan seseorang yang mendekati mereka berdua, itu Erlangga.

“Bening!” panggil Erlangga.

Bening segera menghapus air matanya dan memperbaiki ekspresi wajahnya yang buruk sebelum Erlangga melihatnya. Dia tak suka dilihat orang lain saat sedang menangis. Makanya dia terus menunduk saat cerita pada Lail, takut-takut Lail melihatnya menangis.

“Ada apa?” tanya Bening saat Erlangga sudah berhenti berlari dan berdiri di hadapannya.

“Gue cuma mau ngasih lo ini.” Erlangga memberikan Bening sebuah kartu. Bukan, itu seperti foto yang dicetak menyerupai KTP.

“Wih keren! Bukan biasku sih, tapi makasih ya!” ujar Bening sambil memaksakan dirinya tersenyum. Dia memang senang, tapi sulit untuknya tersenyum tulus setelah menangis.

Erlangga tersenyum lebar. Syukur kalau Bening senang. Tapi senyumnya hanya bertahan lama. Matanya tertuju pada sudut mata Bening yang berair. Erlangga menunduk, menyamakan tingginya dengan Bening.

“Lo abis nangis?” tanya Erlangga khawatir.

Lail langsung mengalihkan perhatiannya pada mereka berdua.

“Hah? Enggak kok.” Bening mengelak.

Tapi Erlangga tak sebodoh dan memercayainya. Tangan Erlangga terulur, hendak menghapus air mata Bening.

Plak!

Gerakan Lain lebih cepat, dia menepis tangan Erlangga menjauh dari wajah Bening. Sorotan matanya menatap garang Erlangga. Lail tahu niat Erlangga baik, tapi tidak semua orang suka ketika wajahnya disentuh, apalagi Bening tak begitu akrab dengannya. Erlangga sebatas kenalan Bening di lomba tempo hari.

Erlangga terkesiap, dia mengusap lengannya yang ditepis Lail. Erlangga ingin protes, tapi semua kalimatnya seakan tertelan kembali melihat tatapan Lail. Lail tak berbicara apa pun, tapi matanya telah banyak berkata. Lail bahkan sudah berdiri di depan Bening.

Erlangga segera mengurungkan niatnya. Ia memandang Bening, tersenyum tipis padanya. “Gue pulang dulu, Ning.”

“Ya,” Bening menjawab, tapi dia membuang pandangannya ke arah lain.

Lail terus mengamati punggung Erlangga yang menjauh. Sungguh manusia yang berani. Menyentuh wajah lawan jenis yang baru ia temui dua kali? Gila. Dia pikir hubungannya dengan Bening seakrab apa sampai bisa senekat itu?

Haish... aku mulai gak suka sama dia.

... ****...

Lail turun dari angkot tepat 200 meter sebelum belokan ke gerbang masuk Perumahan Cempaka, dia turun di sana karena rute angkot tak bisa masuk sampai ke depan gerbang.

Bersamaan dengan turunnya Lail, ternyata Wiyan juga baru sampai dengan sepeda legendarisnya. Melihat Lail yang berjalan, Wiyan pun turun dari sepeda dan memilih mendorongnya.

“Yo! Rumahmu di mana emang?” tanya Lail sok akrab.

“Masih satu blok lagi ke depan, perumahan Mahoni.”

Lail mengangguk paham, “Terus kenapa malah didorong sepedanya? Kan lumayan masih jauh, ada lima menit mah kalau pake sepeda dari sini.”

“Kenapa? Gak boleh? Dilarang? Melanggar hukum? Gak suka?” Wiyan malah balik bertanya.

Lail mendecak sebal, seharusnya dia tak bertanya macam-macam. Lihatlah Wiyan, dia berubah menjadi menyebalkan hanya dengan satu pertanyaan.

“Ouh... kamu sekelas gak sama si Erlangga?” mendadak melihat Wiyan, Lail jadi ingat si kacamata menyebalkan yang nyaris menyentuh Bening.

“Ah, si kacamata. Yeah. Kenapa? Suka lo sama dia?”

Lail memasang raut jijik, “Meh. Mana mungkin. Cuma mau tanya aja kenal deket gak sama dia?”

“Pernah ngeakrabin diri sama dia. Karena gue Ketua Kelas, terpaksa harus kenal murid sekelas satu persatu. Tapi pas udah agak kenal, gue gak suka sama dia. Dia tuh freak, caper, padahal satu sekolah isinya cowok semua. Gue sampe ngira tuh anak homosek*.” Wiyan mulai mengomentari Erlangga berdasarkan pengalaman di lapangan.

Lail takzim mendengarkan komentar Wiyan terhadap Erlangga yang 99.999% isinya buruk. Lail mengangguk-angguk setuju atas semua komentar buruk Wiyan. Ternyata Wiyan satu pemikiran dengannya. Dia suka orang yang satu pemikiran dengannya–

Langkah Lail terhenti.

“Kenapa lo?” tanya Wiyan terheran-heran, dia jadi berhenti mendorong sepedanya juga.

“Kata kamu dia penyuka sesama jenis?” Lail lebih dibuat heran dengan komentar Wiyan barusan.

“Yeah... dia caper banget. Awalnya gue mikir dia emang suka jadi pusat perhatian untuk setiap pencapaian yang dia dapet. Tapi lama-kelamaan gue gak bisa liat watak itu dari dia. Kesannya makin nyimpang. Sampe di satu waktu, gue mergokin dia main gim simulasi kencan buat cewek. Tau ‘kan lo? Yang karakter targetnya cowok semua.” Wiyan melanjutkan komentar buruknya. Sepertinya Erlangga punya banyak catatan buruk bagi Wiyan dengan pemikiran lurus dan idealis.

Namun Lail menemukan satu kejanggalan. Baru saja Lail menyaksikan kegilaan Erlangga, dia mendeteksi obsesi Erlangga pada Bening. Tapi berlawanan dengan apa yang baru saja Lail lihat. Wiyan justru bersaksi bahwa Erlangga memiliki ketertarikan seksual pada sesama jenis.

Wiyan yang dalam sehari selalu bertemu Erlangga selama enam jam, jelas lebih tahu tentangnya daripada Lail yang baru berjumpa dua kali.

Apa dia biseksual?

“Gak usah dipikirin. Tau aja gue salah dan dia pacaran sama cewek.” Wiyan berkata lagi, memperalat ucapannya barusan kalau-kalau dia salah mengira orientasi seksual Erlangga.

Tapi ada kemungkinan Wiyan benar, karena saat ini Erlangga sedang gencar mengejar Bening. Semoga saja Bening tidak sadar.

Lail menepuk dahinya sendiri, “Dia dirundung gak di sekolah?” tanya Lail.

Wiyan mengangguk, “Tapi gak secara fisik ataupun verbal.”

“Lah? Terus?”

“Dia cuma dijauhin sama temen-temen sekelas. Mereka gak pernah ngomong apalagi main fisik ke dia. Tapi mereka pada ngehindar dari satu kelompok sama dia, akhirnya gue juga yang kena.” Wiyan mendengus, itu memori buruk.

Wiyan juga sadar diri, dia merundung Erlangga dengan cara menjauhinya. Wiyan tidak merasa tindakannya salah, karena dia tak suka cara Erlangga memandang cowok ganteng di sekolahnya. Itu tatapan penuh nafsu. Mengingatnya saja membuat Wiyan merinding. Pasalnya Erlangga pernah menggunakan tatapan itu kepadanya.

Lail terus merenung. Ada banyak kemungkinan yang ia pikirkan. Kebanyakan adalah poin di mana Erlangga adalah biseksual. Sisanya adalah Erlangga yang homoseksual, namun mendekati Bening untuk menutupi orientasi seksualnya yang menyimpang.

Ini perlu ditelusuri karena berkaitan dengan Bening. Anak itu baru berani curhat tentang dirinya yang dijauhi pasukan oranye dan berusaha menyembuhkan diri. Mustahil Lail membiarkan Erlangga yang mencurigakan itu dekat-dekat dengan Bening.

“Lo mau pulang gak?”

Pertanyaan Wiyan mengembalikan kesadaran Lail. Setidaknya dia jangan berpikir di tengah jalan. Lail menyamai langkahnya dengan Wiyan yang kembali mendorong sepedanya.

Ngebiarin Erlangga di sekitar Bening bukan hal yang bagus.

Lail dan Wiyan berhenti di pertigaan. Gerbang perumahan sederhana Cempaka dan perumahan elit Agoni belok ke kanan. Sedangkan perumahan Mahoni yang Wiyan tinggali masih luruh lagi ke depan. Mereka berpisah di pertigaan.

“Kamu duluan, Iyan. Aku liatin dari sini sampe kamu jauh di sana tuh.” Lail berdiri di tempat, memegang tali tas punggungnya, sementara tangan kanannya menunjuk nun jauh ke depan.

“Gak, lo aja yang masuk duluan. Gue tunggu sampe lo udah masuk gerbang.” Wiyan menolak. Orang tuanya tak pernah mengajarkan dirinya melakukan hal semacam itu, tak mencerminkan lelaki sejati.

“Serius?” Lail bertanya memastikan. “Iya.”

“Oke, bye, Iyan!” Lail berlari masuk ke gerbang perumahannya sambil melambai-lambai ke arah Wiyan yang sudah duduk di jok sepeda tapi belum menggowes pedalnya.

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!