Cahaya?

[ WARNING ]

1. BANYAK KATA - KATA KASAR.

2. KARYA PERTAMA, MAKLUMI KALAU ADA KESALAHAN DALAM DIKSI.

3. MAKLUMI TYPO.

4. KOMENTAR YANG SOPAN.

5. HARGAI KARYA PENULIS.

TERIMAKASIH!!

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

..."Rumah itu indah, tempat kita bersandar, tapi, ga semua orang seberuntung itu."...

...- 𝐻𝒶𝓅𝓅𝓎 𝑅𝑒𝒶𝒹𝒾𝓃𝑔 -...

Mata nya terfokus pada layar laptop di depan nya, sudah hampir satu jam ia melakukan aktivitas yang sama. Menjadi pemimpin sebuah perusahaan memang lah tak mudah. Banyak waktu yang ia korban kan. Termasuk waktu istirahat nya.

Robert melirik jam yang ada di dinding ruang kerja nya itu, sudah jam 10 lewat. Menutup laptop nya, ia merenggangkan otot - otot tangan nya. Ia harus segera kembali ke rumah, Kinara pasti menunggu nya untuk tidur.

Drtt.. Drtt.. Drtt..

"Hng?" Robert melihat ponsel nya, nomor yang tidak di kenal. Ia mengernyit, membuat dahi nya berkerut. "Siapa malem malem gini?" Tanya nya sendiri.

Tak ambil pusing, ia mengangkat telfon itu.

"Halo."

"Robert.." Suara itu terdengar dari ponsel nya, suara yang tidak asing, yang sudah lama sekali tak pernah Robert dengar.

Robert terdiam sejenak, "S-siapa?" Tanya nya tak yakin. Ia kenal suara itu. Suara istri nya yang telah tiada. Tapi, mana mungkin?

"Kamu lupain aku.. Robert?"

DEG!

"Siapa?!"

"Kamu brengsek. Kamu nyakitin anak kita."

Robert mematung. "A-alina? Ini kamu?!"

"Tunggu pembalasan aku, Robert."

"A-alina--"

Tutt.. Tutt.. Tutt..

"Alina!! Tunggu!!" Terlambat. Telfon sudah di matikan secara sepihak. Robert menatap ponsel nya, dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan layar ponsel nya, untuk menelfon nomor tadi lagi. Namun, tidak bisa. Berkali - kali ia coba, tetap tidak bisa.

"S-sialan!"

"P-pasti orang iseng!!" Ujar Robert berusaha meyakinkan diri nya sendiri. Istri nya sudah lama meninggal, tidak mungkin tiba - tiba bisa menelfon nya seperti ini setelah sekian tahun.

Ia merubah panggilan, menjadi menelfon Tio.

"Halo tuan."

"Tio, cari tau nomor yang saya kirimkan malam ini juga."

"Baik tuan!" Tanpa bantahan, Tio langsung mengerjakan perintah dari tuan nya itu.

Tak butuh waktu lama, Tio kembali menelfon Robert.

"Gimana? Kamu ketemu orang iseng itu?" Tanya Robert dengan sedikit terburu - buru.

"Maaf tuan.. Tapi, itu nomor sekali pakai. Tidak bisa di lacak." Ujar Tio menjelaskan melalui telfon.

Robert terdiam, lalu mematikan telfon sepihak. Ia kembali menatap nomor asing yang sebelum nya menelfon itu. Suara dalam telfon tadi, terngiang - ngiang di dalam rungu nya. "Kamu brengsek. Kamu nyakitin anak kita."

...----------------...

Setelah pulang ke rumah, Robert tak langsung pergi ke kamar untuk istirahat. Diri nya malah datang untuk sekedar melihat putra yang telah lama ia siksa itu.

Alvarez mengigau dalam tiap tidur nya. Selalu. Kata maaf juga selalu muncul dalam tiap mimpi nya.

"M-maaf Varez.. Maafin.." Suara Varez terdengar pelan, tubuh nya sedikit bergetar karena menangis dalam tidur nya.

Robert hanya menatap pemandangan itu dalam diam. Wajah nya tampak datar, tak bisa di tebak. Arah pandang nya berpindah, berfokus pada mata terpejam Varez yang terus mengeluarkan air mata.

Mata itu.. Mata yang sudah rusak dan tak bisa melihat lagi itu.. Itu mata yang mirip seperti mata istri nya. Mata yang indah.. Tatapan yang lembut. Tapi, kini, Robert tak bisa melihat mata itu lagi, baik dari istri nya, maupun dari mata yang mirip seperti mata istri nya itu. Karena, kini mata Alvarez sudah tak sehat. Tak bisa melihat. Tatapan nya begitu kosong, penuh kegelapan. Robert tau itu, tapi ia tak berpikir untuk peduli. Biarlah orang gila itu buta, supaya mata nya tidak ikut gila. Pikirnya.

Lalu, pandangan nya beralih lagi pada kaki Alvarez yang di rantai. Itu kaki.. yang entah berapa tahun lalu lama nya pernah berlari kearah nya. Tapi sekarang, tidak bisa lagi. Karena kaki itu sudah terikat dengan rantai. Alasan nya? Karena Alvarez gila. Alvarez pernah menggila sebelum nya, saat awal - awal ia mendengar suara - suara asing itu. Bahkan.. Waktu awal Alvarez menderita gangguan itu, Robert pernah melakban mulut Alvarez dengan kejam nya.

Itu kejadian sekitar 5 tahun yang lalu. Iya, sudah hampir 5 tahun Alvarez seperti ini. Mendengar suara - suara asing, membuat kepala nya ingin meledak. Alvarez juga pernah membenturkan kepala nya sendiri ke lantai saat itu. Tapi, kembali lagi, Robert tidak memikirkan untuk peduli. Bagi nya, Alvarez hanya membuat nama nya malu. Ia tak ingin punya putra yang gila.

Setelah cukup lama menatap Alvarez, Robert berdecih, "Bukan aku yang brengsek Alina. Anak gila seperti nya.. Memang harus di perlakukan seperti ini." Ucap nya datar.

.

.

.

...•BERSAMBUNG•...