Elena
"Pria itu unik. Suka menyalahkan tapi menerima saat disalahkan."
Elena menemukan sosok pria pingsan dan membawanya pulang ke rumah. Salahkah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Emma Shu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Miris
Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya muncul. Tak lain Bu Diana, pemilik klinik yang juga berprofesi sebagai bidan. Ia berdiri diantara mereka yang berkumpul di depan pintu kamar yang dihuni Dava. Sudah tua namun wajahnya masih bening karena selalu tersentuh perawatan. Tatapannya kurang bersahabat. Dia tau betul siapa Elena. Seorang gadis melarat yang hidup di tepi sungai, tak punya apa-apa. Selalu berpakaian lusuh. Wajahnya cantik, hanya itu kelebihan yang dimilikinya. Sehari-harinya memulung, untuk makan pun kesulitan. Lalu apa yang akan dia bayarkan jika klinik itu melayaninya?
“Adikmu si Dava kemari lagi?” tanya Bu Diana sengak.
“Ya. Dia kritis,” jawab Elena tegas.
Bu Diana masuk ke kamar dimana Dava terbaring. Memeriksa dengan stetoskop.
Elena ikut masuk.
Bu Diana menoleh Elena, dengan tenang dia berkata, “Dava cuma demam biasa. Boleh dibawa pulang.”
Elena tidak bisa berkata apa-apa lagi. Wajahnya yang beku menunjukkan kepasrahan. Dia mengerti Dava kritis. Tapi apa yang bisa ia lakukan jika tenaga medis mengatakan bahwa Dava baik-baik saja? Ia tidak punya ilmu di bidang itu untuk melawan pendapat para bidan.
“Gue minta tolong, beri waktu sebentar untuk Dava tetap istirahat disini menjelang hujan reda,” lirih Elena sambil menggenggam tangan Dava yang telapaknya terasa dingin.
“Kamarnya mau dipakai untuk pasien lain. Bawalah dia pergi!” ketus Bu Diana mulai kehilangan kesabaran.
Elena sadar tidak bisa membayar uang nginap bila memakai kamar. Sebenarnya ia ingin marah. Kenapa orang-orang yang bergelimangan harta itu tidak mau menyingkirkan ketamakan sedikit saja untuk menolongnya? Bukankah diantara banyaknya kekayaan mereka ada sebagian haknya di sana? Tapi apalah daya, ia merasa tidak punya hak untuk marah.
Elena mengangkat tubuh Dava yang terbelit selimut dan menggendongnya dengan dekapan erat.
“Akan kukembalikan selimutmu ini,” tukasnya dengan intonasi kesal. Tak mungkin ia memasang kembali pakaian Dava yang sudah basah. Bisa bertambah parah demamnya.
Bu Diana diam saja.
Elena berjalan keluar. Dava masih terpejam erat dalam gendongannya. Sejurus mata memandang kearahnya begitu ia meniti lorong panjang.
Ajaib! Sampai di teras, hujan mendadak berhenti. Elena berdiri di tepi teras. Menatap langit gelap. Menatap hujan yang tiba-tiba reda. Apakah Tuhan memberinya kemudahan?
Bidan berjilbab ungu keluar, menghampirinya. Memberikan sebuah plastik berisi obat-obatan. Lama Elena memandang wajah bidan itu.
“Ambillah! Untukmu,” ujar bidan itu.
“Tapi gue nggak punya uang un…”
“Ini udah gue bayar, kok,” potong bidan berjilbab ungu.
Elena menerimanya dengan senang hati. Ternyata Tuhan menyelipkan satu manusia yang baik untuknya.
“Hati-hati!” pesan bidan ketika selangkah Elena telah menuruni teras.
Elena mengangguk. Berlari meninggalkan klinik besar itu bersama rasa syukur telah mendapatkan obat dari seseorang yang dermawan.
***
Salva termenung sendiri di rumah. Menunggu kakaknya pulang. Sudah lama dia duduk di pojok ruangan dengan kaki terlipat dan lutut menjadi penopang dagu. Kedua tangan memeluk kaki yang terlipat. Di tengah rasa takut, dia terus berdoa semoga Dava, bungsunya baik-baik saja. Hanya pelita kecil yang sedikit mengusir ketakutannya. Pelita kecil yang sudah tak ada penggantungnya. Diletakkan di atas rantang, rantang diletakkan di atas meja kecil agar tidak terguling.
Meski ketakutan, ia bersyukur karena perutnya sudah kenyang setelah diisi ubi rebus. Ada malam-malam yang lebih menyakitkan dari pada itu, sering kali tidak ada makan, tidak ada api bila korek sudah habis. Malam-malam terasa lebih panjang. Harus dilalui dengan penderitaan. Tidur dalam keadaan kelaparan dan menggigil kedinginan. Miris. Sangat miris.
***
To be continued
Author Note : jangan lupa baca karyaku berjudul PCARKU DOSEN, kalian bakalan ketawa ngakak, baper, dan menemukan banyak pengalaman di sana. Itu cerita yang paling kuandalkan dan menguras energi banget.
So, jangan sampe ketinggalan baca.
Love,
Emma Shu
kan revan hampir dirampok crita'a