Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 - Hujan
Waktu berlalu begitu saja, setelah Pak Adrian dan Bu Karen pamit dengan penuh antusias, suasana di meja kafe terasa jauh lebih tenang.
Hanya tersisa tiga orang sekarang, Sean, Liliana, dan Aoxue.
Liliana duduk dengan tenang, menyesap minumannya perlahan sambil memperhatikan orang-orang yang lewat di luar jendela, memberi ruang pada Sean dan Aoxue.
Aoxue menyilangkan tangan di atas meja, menatap Sean penuh rasa ingin tahu.
Aoxue tersenyum menyelidik dan bertanya, "Sean, jadi siapa sebenarnya Liliana?"
Sean tersentak ringan. Ia tertawa kecil, berusaha tetap tenang.
"Haha Liliana itu teman dan aku bertemu dia secara kebetulan, bisa dibilang begitu."
Aoxue memiringkan kepala, matanya menajam.
"Teman, ya? Teman dari mana? Aku nggak pernah dengar kamu dekat dengan siapa pun, bahkan waktu kamu menulis novel itu, kamu selalu bilang kamu hanya terinspirasi dari hujan."
Sean hanya menunduk sebentar, lalu tersenyum pelan.
"Ya, kadang inspirasi itu datang dalam bentuk yang nggak disangka-sangka."
Aoxue menatap Liliana, "Dia sangat cantik, misterius dan anehnya, aku yakin bahwa dia adalah Liliana yang kamu tulis?"
Sean melirik Liliana yang kini kembali menatapnya, ekspresi gadis itu sulit dibaca. Ada kekhawatiran, ada tanda tanya, dan merasa terganggu.
"Dia, bukan orang biasa, tapi aku nggak bisa cerita banyak, belum saatnya." ucap Sean.
Aoxue sedikit kecewa namun tetap tersenyum, "Aku mengerti, Sean, sekarang kamu lebih hidup dibanding sebelumnya. Saat kamu bercerita, saat kamu bersamanya aku bisa lihat sejak tadi kamu menatap ke arahnya?"
Sean terdiam, matanya tertuju ke arah Liliana, dan tanpa bisa dicegah, perasaan itu muncul lagi.
"Aku ingin bilang kalau aku mencintainya..."
Namun, saat Liliana membalas tatapannya dengan senyuman lembut meski matanya sedikit meredup, Sean mengalihkan pandangan.
Dia takut, takut mengatakan sesuatu yang akan membuat jarak di antara mereka.
Sean berkata dengan pelan, "Terima kasih, Aoxue untuk semuanya."
Aoxue hanya mengangguk pelan, meski ada gurat kecewa di balik senyumnya yang profesional. Satu hal yang dia tahu, perasaannya terhadap Sean mungkin tidak pernah mendapat tempat selama ada Liliana di sampingnya.
Liliana memperhatikan interaksi di depannya dengan senyum tipis yang ia paksa tetap bertahan. Matanya bergerak mengikuti setiap kata dan tawa ringan yang mengalir di antara Sean dan Aoxue.
Ada kehangatan di antara mereka dan terasa sangat akrab, penuh pemahaman, dan kenyamanan. Sesuatu yang belum sepenuhnya ia miliki bersama Sean.
Dan ketika Aoxue bertanya tentang siapa dirinya, jantung Liliana berdetak lebih cepat.
"Apa yang akan dia katakan?"
Namun, jawaban Sean mengguncang hatinya lebih dalam daripada yang ia bayangkan.
"Teman!"
Satu kata yang ringan itu langsung menusuk dan mengendapkan rasa kecewa di dada Liliana.
Mungkin memang itu yang pantas ia dapatkan.
Toh, ia hanyalah seseorang yang muncul entah dari mana, tanpa kepastian, tanpa masa depan yang jelas di dunia ini. Bukan seperti Aoxue yang nyata, stabil, dan selalu hadir di kehidupan Sean yang sebenarnya.
Senyumnya mulai pudar, sorot matanya kehilangan cahaya dan ia menunduk pelan, menyembunyikan gejolak perasaannya.
Namun, ia tidak menyadari bahwa Sean memperhatikannya di detik itu juga.
Ketika ia menoleh ke Liliana dan melihat wajahnya yang mendadak redup, senyuman yang tak lagi tulus, Sean merasa dadanya tertarik oleh sesuatu yang ia sendiri tak bisa jelaskan, ada perasaan bersalah yang langsung menyelimuti hatinya.
"Maaf, Aoxue! Aku rasa, kami harus pergi duluan."
Aoxue sempat kaget, namun mengangguk sopan.
"Ya, hati-hati di jalan."
Tanpa pikir panjang, Sean berdiri dan dengan gerakan spontan, ia menggenggam tangan Liliana dan membawanya pergi.
Liliana mendongak dengan terkejut. Matanya membulat, bibirnya terbuka sedikit, tapi tak ada kata yang terucap.
Hangatnya genggaman tangan Sean membuat hatinya berdebar lagi, membakar segala rasa kecewa sebelumnya.
"Aku nggak suka lihat kamu merasa terganggu, ayo pergi!" seru Sean dengan lembut namun mantap.
Untuk pertama kalinya, Liliana merasa ada sebuah tempat, setidaknya untuk saat ini.
Dan genggaman tangan itu, meski sederhana, akan selamanya menjadi pengingat bahwa di dunia yang asing ini, ada seseorang yang mungkin, perlahan mulai memilihnya.
Setelah Sean dan Liliana pergi, Aoxue masih duduk diam di tempatnya.
Cangkir kopi di depannya belum habis, namun aromanya pun kini tak lagi menarik perhatiannya.
Ia menatap kosong ke arah pintu kafe yang baru saja ditutup kembali oleh pelayan. Tatapannya kosong namun penuh pertanyaan.
"Teman, yaa?" gumamnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya sebuah pengenalan teman biasa. Tapi hatinya tak bisa dibohongi.
Ia tahu bagaimana tatapan Sean saat memandang Liliana, ada sesuatu di sana, sesuatu yang belum pernah ia dapatkan dari pria itu, meskipun sudah bertahun-tahun bekerja sama, saling mengenal, dan saling mendukung satu sama lain dalam karier.
"Padahal aku sudah lama mencintai mu, Sean!"
Aoxue mengambil ponselnya, jari-jarinya sempat ragu, namun akhirnya ia menekan nama seseorang di daftar kontaknya. Seseorang yang biasanya ia hubungi hanya saat dirinya merasa kosong.
"Halo?"
"Bisa datang ke kafe yang biasa, nggak? Sekarang."
"Ada apa?"
"Nggak ada, aku cuma butuh teman."
Panggilan berakhir, dan Aoxue hanya menunduk, meremas ujung lengan jasnya. Ia benci merasa lemah. Tapi hari ini... dia merasa kalah—bukan dari orang lain, tapi dari perasaannya sendiri yang selama ini ia simpan terlalu dalam dan terlalu lama.
Hujan rintik-rintik masih membasahi jendela taksi, dan suasana di dalam mobil pun terasa hangat. Sean duduk di sebelah Liliana, senyumnya lebar dan matanya berbinar, terlihat seperti anak kecil yang tidak sabar ingin menunjukkan tempat favoritnya kepada seseorang yang istimewa.
"Aku tahu ini mungkin kelihatan biasa," kata Sean sambil memutar badannya sedikit menghadap Liliana, "Tapi, pernah nggak kamu lihat ubur-ubur dari dekat? Atau ikan pari yang bentuknya kayak makhluk luar angkasa?"
Liliana menoleh pelan, senyumnya tipis namun penuh makna. "Belum pernah," jawabnya pelan.
"Bagus!" seru Sean semangat, "Aku janji, kamu bakal suka. Tempatnya tenang, cahaya biru di mana-mana kayak dunia lain."
Sean lalu tertawa kecil, dan tanpa sadar, matanya menangkap wajah Liliana yang terlihat begitu lembut. Ia selalu punya cara menatap dunia dengan rasa penasaran yang jujur, dan itu membuat Sean makin yakin bahwa setiap detik bersamanya terasa berarti.
Liliana hanya mengangguk, tapi hatinya berdegup kencang. Bukan karena tempat wisata itu, melainkan karena perhatian kecil yang Sean tunjukkan terus-menerus. Ia merasa sangat dihargai, dan sangat berarti.
Dan saat taksi mulai melaju ke arah pusat wisata, jantung keduanya berdetak lebih kencang tanpa mereka sadari—mungkin bukan hanya karena senangnya ingin melihat binatang laut, tapi karena rasa baru yang sedang tumbuh, pelan tapi pasti.
Sean berdiri di bawah langit mendung yang mulai cerah, sisa-sisa hujan masih menetes dari atap pintu masuk aquarium. Suara kendaraan dan langkah kaki orang-orang sekitar terasa jauh, seakan dunia menghening dalam satu detik yang panjang.
Taksi telah pergi, pintu tertutup dan debu tipis dari roda yang basah mulai mengering di jalanan. Sean menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi di sampingnya, tempat Liliana berdiri beberapa detik lalu, kini kosong.
"Liliana?" gumamnya, nyaris tanpa suara.