Perselingkuhan antara Kaivan dan Diana saat tiga hari menjelang pernikahan, membuat hati Alisa remuk redam. Keluarga Kaivan yang kepalang malu, akhirnya mendatangi keluarga Alisa lebih awal untuk meminta maaf.
Pada pertemuan itu, keluarga Alisa mengaku bahwa mereka tak sanggup menerima tekanan dari masyarakat luar jika sampai pernikahan Alisa batal. Di sisi lain, Rendra selaku kakak Kaivan yang ikut serta dalam diskusi penting itu, tidak ingin reputasi keluarganya dan Alisa hancur. Dengan kesadaran penuh, ia bersedia menawarkan diri sebagai pengganti Kaivan di depan dua keluarga. Alisa pun setuju untuk melanjutkan pernikahan demi membalas rasa sakit yang diberikan oleh mantannya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Alisa dan Rendra? Akankah Alisa mampu mencintai Rendra sebagai suaminya dan berhasil membalas kekecewaannya terhadap Kaivan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aib?
Pak Brata tercengang mendapati tumpukan abu di halaman rumah tatkala pulang dari kantor kelurahan. Saking penasaran dengan sesuatu yang terjadi, pria itu bergegas masuk ke rumah. Betapa terkejutnya ia mendapati putri semata wayangnya menangis tersedu-sedu di pelukan Bu Rosa.
"Alisa? Apa yang terjadi, Nak?" tanya Pak Brata sembari duduk di kursi ruang tamu, di sebelah putrinya.
"Alisa memergoki Kaivan dan Diana bermesraan di kos. Dia masih syok, Pak," jelas Bu Rosa, sambil mengusap-usap punggung putrinya.
Bagai tersambar petir, Pak Brata tercenung memikirkan nasib putrinya. Alisa, putri satu-satunya yang amat ia sayangi harus menelan kenyataan pahit menjelang hari pernikahannya. Sesak dada Pak Brata membayangkan betapa pedih hati Alisa menerima pengkhianatan itu. Namun, di sisi lain, ia pun memikirkan reputasi keluarga jika sampai pernikahan putrinya batal.
"Yang sabar, ya, Alisa. Bapak harap kamu jangan gegabah dulu dalam bertindak. Pernikahanmu tinggal tiga hari lagi, kita harus berdiskusi dulu dengan keluarga Kaivan untuk menemukan jalan terbaik," bujuk Pak Brata mengusap punggung Alisa.
Mendengar perkataan sang ayah, Alisa pun bangkit dan melepas pelukan ibunya. Sambil mengusap air mata, gadis itu menatap bingung pada sang ayah.
"Mau berdiskusi apa lagi, Pak? Kesalahan Kaivan sudah sangat fatal. Mereka ketahuan suka berkirim pesan dan foto-foto tak senonoh, bahkan aku lihat sendiri mereka berdua bercumbu di kos Diana. Apa itu belum cukup membuktikan kalau pernikahan ini tidak pantas dilanjutkan?" sanggah Alisa, dengan suara yang bergetar.
"Alisa benar, Pak. Pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan. Beruntung, perselingkuhan Kaivan diketahui sebelum pernikahan berlangsung. Setidaknya, anak kita tidak perlu menanggung penderitaan lebih lama karena sudah terlanjur berumah tangga dengan pria yang salah," tambah Bu Rosa, membela putrinya.
"Tapi, bagaimana dengan reputasi keluarga kita? Bapak ini seorang lurah. Undangan pernikahan Alisa pun sudah disebar. Masyarakat pasti akan mengatakan hal yang bukan-bukan kalau sampai pernikahan Alisa batal," jelas Pak Brata, mengingatkan.
"Pak, cobalah untuk tidak memikirkan diri sendiri di saat begini. Alisa ini anak kita. Seharusnya Bapak bersyukur pernikahan Alisa dibatalkan. Ibu nggak mau kalau sampai Alisa harus menderita gara-gara perselingkuhan suaminya," tutur Bu Rosa, berusaha memberi pengertian.
"Iya, Bapak juga tahu itu. Tapi ... coba Ibu pikirkan lagi baik-baik jika putri semata wayang kita gagal menikah. Pasti orang-orang menuduh putri kita ini plin-plan dan nggak punya pendirian," gerutu Pak Brata, menunjukkan kecemasan begitu jelas dari wajahnya yang mulai keriput.
"Atas alasan apa mereka menuduhku sebagai perempuan plin-plan, Pak? Apa cuma gara-gara gagal menikah, harga diriku juga harus ikut rontok di mata masyarakat? Lagi pula ... pembatalan ini berasal dari kesalahan Kaivan, bukan karena aku yang plin-plan." Alisa beranjak dari kursi sambil menunjuk dadanya, seakan menegaskan, bahwa dirinya bukanlah pihak yang salah.
Pak Brata ikut berdiri dan menatap sendu wajah cantik putrinya, seraya berkata, "Bapak mengerti kekecewaanmu, Alisa. Hanya saja ... Bapak sangat menyayangkan kalau pernikahanmu sampai batal. Ibu dan Bapak tidak bermasalah dengan keputusanmu, bahkan mengerti betul alasanmu membatalkan pernikahan, tapi ... bagaimana tanggapan masyarakat luas nanti? Gunjingan mereka pasti akan membebani kami, Alisa. Apa kamu nggak kasihan, kalau sampai Bapak dituduh sebagai orang tua yang tidak bisa mendidik anak hanya karena kamu gagal menikah?"
Bu Rosa yang tidak terima dengan pernyataan suaminya, beranjak dari kursi dan menghampiri Pak Brata. "Lalu apa bedanya jika pernikahan Alisa gagal dan menyandang gelar janda? Bukankah itu sama-sama buruk di mata masyarakat?"
Terdiam Pak Brata mendengar pertanyaan sinis dari sang istri. Pria itu menggeleng pelan sembari menghela napas panjang. Memiliki anak perempuan memanglah bukan perkara mudah baginya. Selain membahagiakan dan menjaga kehormatannya hingga dinikahkan dengan seorang pria yang tepat, rupanya stigma buruk masyarakat tradisional mengenai aib perempuan yang gagal menikah harus ditanggungnya pula.
Di tengah kebingungan pria itu, terdengar suara ketukan di pintu. Pak Brata menoleh, dan terbelalak mendapati Bu Ani datang bersama Rendra. Begitu pula dengan Alisa dan Bu Rosa yang merasa lega oleh kedatangan pihak keluarga Kaivan.
"Assalamualaikum, Pak. Bolehkah kami masuk?" tanya Rendra dengan sungkan.
"Waalaikumsalam. Silakan masuk Nak Rendra, Bu Ani," jawab Pak Brata mempersilakan, lalu menatap wajah istrinya. "Bu, tolong suguhkan minuman dingin untuk tamu kita."
"Baik, Pak," sahut Bu Rosa, sebelum akhirnya berlalu ke dapur.
Pak Brata mempersilakan dua tamunya duduk. Alisa mengusap air matanya, kemudian duduk di sebelah sang ayah, sambil sesekali menatap sungkan ibu dan kakak Kaivan. Gadis itu menghela napas panjang, berusaha meluruhkan kesedihan yang sejak tadi diluapkan di pelukan ibunya.
Di sisi lain, diam-diam Rendra memperhatikan mata sembap Alisa. Ia menduga, bahwa gadis itu telah mengetahui perselingkuhan adiknya sebelum Kaivan datang ke rumah membawa perempuan lain. Akan tetapi, pria berusia tiga puluhan itu tak mau mengatakan sepatah kata pun sebelum ibunya dan ayah Alisa membuka pembicaraan lebih dulu.
"Ada perlu apa, ya, Bu Ani datang ke sini lebih awal? Apa ini terkait dengan pernikahan putra Anda dan Alisa?" tanya Pak Brata membuka pembicaraan.
Sebelum menjawab, Bu Ani melirik Rendra sebentar. Sungguh, ia merasa malu akan perbuatan putra bungsunya. Rendra memegang tangan Bu Rosa, mencoba menguatkan sang ibu untuk mengutarakan maksud kedatangannya ke rumah Pak Brata.
"Begini, Pak Brata, maksud kedatangan kami kemari adalah ... untuk meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Alisa," jelas Bu Ani dengan tergugu-gugu.
Dahi Pak Brata seketika berkerut mendengar perkataan calon besannya. "Loh? Meminta maaf karena apa, Bu?"
Bu Ani menggigit bibirnya. Tak sanggup ia mengatakan kelakuan buruk si bungsu lebih jauh lagi pada calon besannya itu. Merasa sangat malu, wanita berhijab itu menoleh pada Rendra, seraya berbisik, "Ren, tolong bantu Ibu mengatakan semuanya pada Pak Brata."
Rendra menjawab dengan satu anggukan kepala. Pria itu mengalihkan pandangan pada Pak Brata, sambil mendesah pelan.
"Begini, Pak. Maksud kedatangan kami kemari memang masih berhubungan dengan pernikahan Kaivan dan Alisa. Hanya saja ... kami memiliki masalah serius mengenai adik saya. Jadi, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelancangan yang sudah dilakukan Kaivan terhadap Alisa," ungkap Rendra dengan tenang.
"Loh? Kelancangan apa?" Pak Brata masih pura-pura tidak tahu.
"Pak Brata, kami sebenarnya baru tahu kalau Kaivan memiliki perempuan lain. Tadi siang dia datang ke rumah sambil menggandeng perempuan bernama Diana yang merupakan sahabat dari Alisa," jelas Rendra, lalu menatap Alisa, "Alisa, kamu sudah tahu masalah ini, kan?"
Alisa mengangkat wajahnya sambil mengangguk pelan. Bu Ani terperangah, lalu menutup mulut dengan sebelah tangannya.
"Atas kejadian memalukan ini, kami selaku keluarga Kaivan memohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya berpikir kalau adik saya tidak pantas menjadi pendamping hidup Alisa kelak, mengingat kelakuannya yang masih kekanak-kanakan. Maka dari itu, saya harap, Pak Brata bisa menimbang kembali keputusan untuk melanjutkan atau membatalkan pernikahan putri Bapak dengan adik saya. Saya dari pihak keluarga Kaivan juga tidak keberatan jika Bapak memberi keputusan untuk membatalkan pernikahan ini," lanjut Rendra.
Pak Brata menyunggingkan senyum di satu sudut bibirnya. "Saya sebenarnya tidak keberatan jika pernikahan ini batal. Cuma ... kamu tahu, kan, bagaimana masyarakat luar akan memandang putri saya ke depannya? Saya dan Bu Rosa masih sanggup menanggung beban dari gunjingan masyarakat, tapi bagaimana dengan Alisa? Dia perempuan. Kamu pasti paham betul stigma masyarakat jika seorang perempuan sampai batal menikah. Akan sulit bagi Alisa untuk menemukan jodoh ke depannya karena sudah dicap sebagai perempuan plin-plan gara-gara batal menikah."
Termenung Rendra dan Bu Ani mendengar penuturan Pak Brata. Keduanya saling pandang untuk sejenak, sampai Rendra menatap Pak Brata lagi.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan harga diri Alisa dan keluarga? Apakah pernikahan Alisa dan Kaivan akan tetap dilanjutkan?" tanya Rendra, merasa tidak yakin.
lanjut thorrrr.