NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 8

"Gue ambil helm dulu, Ta!"

Suara Naira terdengar gemetar. Dia menahan isakan tangis yang nyaris lolos dari bibir mungilnya. Artha tak menjawab. Lelaki itu terus saja menarik tangan Naira, mengabaikan perkataan gadis itu. Hingga Langkah mereka berhenti di parkiran motor Artha, tangan Naira baru dilepaskan.

Artha menaiki motor, lantas kepalanya mengedik memberi isyarat Naira agar segera naik. Menatap dengan enggan, Naira seakan ragu untuk ikut bersama Artha. Bukankah lebih baik jika dia membawa motor sendiri? Mengapa lelaki ini begitu kekeh untuk mengantarnya?

"Naik, Nai!" perintah Artha tegas.

"Ta, sebaiknya gue bawa motor sendiri. Gue enggak mau ngerepotin lo buat nganterin kemari

lagi untuk ngambil motor."

"Gue bilang naik!" Artha menaikkan intonasi suaranya. Jelas saja hal tersebut membuat Naira

terkejut.

"Lo enggak usah bentak-bentak! Gue enggak

butuh tumpangan lo!" Naira hendak berbalik, merasa emosi akan sikap Artha yang kasar. Dia memutuskan mencari motornya sendiri dan bertanya pada sang mertua di mana mamanya dirawat. Belum sempat kakinya beranjak dari posisi, Alka menahan tangannya.

"Gue bilang naik! Kuping lo masih berfungsi,kan?"

"Gue enggak butuh tumpangan lo, Ta! Lo enggak budeg, kan?"

Jika Artha bisa bicara kasar, Naira pun sanggup melakukannya. Dia paling pantang dihina dan direndahkan. Hidup boleh miskin, tetapi harga dirinya nomor satu.

Artha tak peduli. Perkataan Naira tak digubrisnya sama sekali. Tangan itu tetap dalam genggamannya, mengabaikan hentakan Naira yang berharap dilepaskan.

"Naik, Nai! Kalau lo keras kepala dan enggak mau naik, gue bisa maksa lo!"

"Lepasin!" Naira masih keras kepala dengan pendiriannya.

Artha turun dari motor, masih mencekal lengan Naira. Dalam hitungan detik, dia berhasil menggangkat tubuh Naira dengan menyelipkan

kedua tangan pada lipatan ketiak gadis itu.

Tubuh Naira diangkat untuk dipindahkan ke

atas motor. Naira sempat berontak, tetapi berakhir menyerah ketika meliat sorot mata tajam Artha.

"Diam!"

Naira tersentak saat dibentak seperti itu. Mamanya saja tidak pernah membentaknya selama ini. Dan sekarang Artha yang baru saja dia kenal berani membentak dan memaksanya. Sungguh tidak bisa dibenarkan.

Artha turut naik, menyalakan mesin motor

setelah mengenakan helm.

"Peluk, Nai!"

Naira membulatkan mata, tak menyangka jika Artha akan berkata seperti itu terhadapnya. Baru saja membentak, sekarang minta dipeluk. Enak saja!

"Apa?"

"Enggak usah mikir macem-macem. Ini buat keselamatan lo!"

"Enggak perlu. Gue bisa tanpa meluk lo!" Artha tersenyum misterius. Saat itu juga motor melaju meninggalkan parkiran alun-alun kota.

Awalnya kecepatan motor yang dikendarai Artha lumayan sedang, tetapi ketika kendaraan roda dua itu sampai ke jalan utama, kecepatannya naik dua kali lipat. Naira yang sebelumnya bertahan dengan kedua tangan berpegangan pada behel motor, sontak terhuyung ke depan, menabrak tubuh Artha.

"Ta, lo gila! Ini terlalu cepat!" Naomi memprotes tindakan Alka. Namun, tetap saja Alka menjalankan motornya dengan begitu cepat.

Tanpa sadar kedua lengan Naira melingkar memeluk tubuh Artha dengan dagu menyandar pada bahu kiri pria itu.

Pelukan itu cukup erat, menunjukkan jika Naira benar-benar takut terjatuh. Motor sport dengan posisi boncengan motor yang jauh lebih tinggi dari bagian depan membuat tubuh Naira sejajar dengan tubuh Artha. Jok motornya menurun sehinga sangat pas digunakan sepasang kekasih

berboncengan dengan memeluk punggung.

Artha menunduk, merasakan pelukan Naira mengerat. Seulas senyum terbit di bibir tanpa disadari. Matanya kembali fokus padajalanan,

membawa Naira untuk ke rumah sakit.

Sekitar lima belas menit mengendara, akhirnya motor berbelok ke dalam area parkir rumah sakit. Saking takutnya dengan cara Artha membawa motor, membuat mata Naira memejam sejak tadi. Bahkan, saat ini gadis itu tak kunjung membuka mata. Dia tak sadar jika mereka telah sampai ke tempat tujuan.

"Nai, lo tidur?" tanya Artha dengan menepuk pelan tangan Naira yang melingkar di perutnya.

"Jangan ngiler lo!" Detik itu juga Naira membuka mata, melepaskan pelukan pada perut Artha.

"Gue enggak tidur." Bergegas turun dari motor, Naira merengut kesal.

"Lo sengaja kan bikin gue ketakutan? Lo harusnya bisa bawa motornya pelanan dikit, tapi lo sengaja membuat gue jantungan. Iya, kan?"

Artha terkekeh. Dari sinar lampu yang menerpa wajah Naira, gadis itu tampak pasi. Sudah jelas jika dia benar-benar ketakutan.

"Buruan. Mama udah nungguin kita di dalam." Mengabaikan makian Naira, Artha kembali menarik tangan gadis itu.

Naira hanya bisa pasrah ketika Artha menariknya masuk. Pikirannya masih berkecamuk, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi terhadap sang mama. Dan sampailah mereka berada di ruang ICU, Siena sudah berdiri di sana bersama Ravindra.

"Naira!"

Artha melepaskan tangan Naira ketika Siena datang mendekat. Wanita berusia kepala empat memeluk Naira layaknya seorang ibu kepada anaknya.

"Tante, apa yang terjadi pada Mama? Mengapa

Mama tiba-tiba masuk rumah sakit?" Naira tidak bisa menahan pertanyaan itu.

Padahal baru sekitar satu jam yang lalu dia mengantar sang mama pergi bekerja, tetapi sekarang justru dihadapkan kenyataan bahwa

mamanya masuk rumah sakit.

"Kamu yang sabar, ya, Sayang!"

Kening Naira mengernyit. Mama mertuanya sama sekali tak menjelaskan apa pun. Hanya sebuah pelukan yang didapatkannya, dan hal itu justru

membuatnya semakin bingung.

"Tante?" ucap Naira lirih.

"Pokoknya kamu enggak usah cemas. Apa pun yang terjadi, Mama, Papa, dan Artha enggak akan

ninggalin kamu."

"Maksud Tante?"

"Mamamu kritis. Dia tiba-tiba pingsan di pabrik. Apa kamu tahu, Sayang, jika mamamu selama ini hanya hidup dengan satu ginjal?" Siena mencoba menjelaskan dengan sangat hati-hati. Dia tentu paham bagaimana kondisi psikis Naira yang hanya memiliki orang tua tunggal, dan tidak memiliki kerabat lain. Maya adalah orang tua sekaligus keluarga satu-satunya, sehingga kehidupan Naira sangat bergantung pada wanita

itu.

"Apa? Satu ginjal?" Air mata yang sejak tadi tertahan pada pelupuk mata lolos begitu saja. Naira tidak menyangka dengan pekerjaan berat yang selama ini dipikul oleh Maya, ternyata sang mama hanya hidup mengandalkan satu ginjal.

"Apa Mama akan baik-baik saja? Apa Mama akan sembuh? Saya ingin menemui Mama!" Naira melepaskan pelukan itu, beralih melihat ke dalam ruang ICU dengan menempelkan wajah mendekat pada pintu kayu yang terdapat kacanya sedikit.

Di sana tampak Maya tengah memejamkan mata. Masker oksigen bertekanan tinggi terpasang, menutupi sebagaian wajahnya. Naira meletakkan telapak tangan pada kaca tersebut, menyaksikan dokter sedang melakukan tindakan terhadap mamanya.

Siena mendekat, menyentuh bahu Naomi yang terasa gemetar. Dia pernah merasakan di posisi Naira, kehilangan orang tua saat usianya masih sangat belia. Bedanya, Siena masih memiliki saudara-saudara yang sangat menyayanginya sehingga tak sedikit pun dia merasakan kesepian. Sementara Naira? Gadis itu sendirian.

Mungkin tragedi yang membuat Naira dan Artha menikah adalah rencana Tuhan untuk mempertemuakan mereka. Sehingga ketika terjadi hal seperti ini ada seseorang yang mendukung di belakang gadis itu.

"Apa Mama akan baik-baik saja?" tanya Naira dengan suara yang teramat lirih. "

Mama tidak akan meninggalkan Naira, kan?" Suara Naira tertelan tangis. Tubuhnya mendadak luruh ke bawah, merasakan kesedihan mendalam.

Sebagai seorang anak, Naira masih sangat membutuhkan figur seorang ibu. Dia tidak memiliki siapa pun di dunia ini. Maya adalah panutannya, yang selalu menyemangatinya. Dirinya bisa setegar itu meskipun sering mendapat ejekan dan bullian teman-temannya hanya karena tak ingin membuat kecewa sang mama. Namun, andai ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu, bagaimana dia bisa menjalani hidup?

Siena menekuk kedua kaki, menyejajarkan tinggi badannya dengan Naira yang sedang duduk dilantai sembari bersandar pada pintu ruang ICU. Telapak tangannya mengusap rambut panjang yang dibiarkan tergerai, membelainya lembut.

"Semua akan baik-baik saja. Ayo, jangan duduk di sini. Tidak baik menangis di depan pintu seperti ini. Kita bantu dengan doa agar semuanya baik-baik saja."

Naira mangangguk, menurut ketika Siena mengajaknya bangkit dan duduk di kursi tunggu. Artha hanya menatap bagaimana kedekatan sang mama dengan Naira. Walaupun dia dan Naira sudah berstatus sebagai suami isri, tetapi tak sedikit pun Artha menganggap hubungan itu. Melihat sang mama begitu menyayangi Naira cukup membuatnya khawatir jika hubungan pernikahannya dengan Naira akan berlangsung

cukup lama.

"Ta, sini!" Siena memanggil setelah memastikan

Naira sudah lebih tenang.

Artha yang tidak bisa menolak perintah mamanya mendekat dengan enggan. Pasti setelah ini ada saja perintah aneh yang harus dia lakukan.

"Ya, Ma!"

"Ajak Naira pulang setelah ini. Biarkan Mama Maya, biar Mama yang mengurusnya. Mama tidak ingin Naira ikut sakit karena begadang menunggu mamanya sadar."

"Tapi, Tante?" Naira yang mendengar segera menyela. Mana mungkin dia bisa pulang sebelum melihat perkembangan mamanya menjadi lebih baik atau lebih buruk?

"Mama memintamu datang bukan menyuruhmu menjaga mamamu. Tapi... Mama ingin kamu mengetahui kondisi mamamu sebenarnya. Sekarang kamu pulang bersama Artha!" Siena mengalihkan perhatiannya pada Artha, menatap sang anak dengan tatapan penuh.

"Jaga Naira! Ini tugasmu sebagai suami."

"Apa?" Bukan hanya Artha yang terkejut dengan perkataan Siena, Naira pun tak kalah terkejutnya. Mereka memang sudah menikah, tetapi tak pernah tebersit sedikit pun jika pernikahan itu adalah hal yang nyata.

"Artha, apa pun alasan kalian menikah, semua itu tidak bisa memungkiri hubungan kalian yang sudah disaksikan oleh Tuhan. Mama harap kamu bisa menjaga Naira, dan selalu berada di dekat Naira. Apalagi di saat-saat seperti ini. Mama tidak mau kamu menjadi suami yang zalim pada istri!"

Artha ingin membantah, tetapi Ravindra keburu datang untuk menambah ceramah panjangnya.

"Jangan malu-maluin Papa kamu, Ta! Papa menddik kamu jadi pria bertanggungjawab. Jangan pernah lari dari tanggungjawabmu!"

Artha mengesah, menatap tajam ke arah Naira. Dia merasa karena Naira, dia harus mengalami kesulitan seperti ini.

"Om, Tante!" Naira akhirnya bersuara.

"Saya enggak papa kok menunggu Mama sendiri di sini. Artha pasti juga memiliki kesibukan. Saya akan menjaga Mama. Terima kasih atas bantuan Om dan Tante selama ini. Saya merasa sangat beruntung dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Om dan Tante." Mendengar perkataan Naira, Artha semakin kesal.

"Jangan sok ngedrama lo!"

"Artha!" bentak Siena seraya menatap tajam pada putra bungsunya itu.

"Jangan bicara kasar pada Naira. Mama enggak pernah ngajarin kamu memperlakukan wanita dengan kasar. Apalagi Naira itu istri kamu. Mengerti?"

"Istri-istri-istri? Artha masih sekolah, Ma! Mama juga tahu itu. Pernikahan dadakan itu sama sekali tak berarti buat Artha. Naira sama saja seperti orang asing. Artha nggak ada perasaan sedikit pun pada Naira." Suara Artha meninggi, sampai terlupa jika meraka berada di dalam rumah sakit.

"Tolong, jangan bertengkar di sini!" Seorang tenaga medis yang kebetulan lewat menegur mereka, yang langsung ditanggapi Siena dengan

permintaan maaf.

"Pokoknya Mama dan Papa enggak mau tahu. Suka atau tidak suka, kamu harus menjaga Naira.

Titik!"

Artha mendengkus. Dengan kasar dia menarik tangan Naira agar terhindar dari ceramah panjang kedua orang tuanya. Melihat hal itu jelas membuat Siena dan Ravindra meradang.

"Jangan kasar, Artha!"

"Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Naira, kamu sama saja dengan mencelakai Mama!" ucap Siena mengancam.

Wajah Artha masam, berusaha keras untuk

Menerima perintah kedua orang tuanya. Tangan Naira masih digenggamnya. Mereka berjalan beriringan, atau lebih tepatnya Naira sedikit di belakang karena ditarik olehnya.

"Lo enggak usah bersikap sok manis di depan orang tua gue!" kata Artha yang mendadak marah-marah pada Naira ketika berada di parkiran. Sangat berbeda saat mereka baru tiba di rumah sakit tadi.

“Gue naik taksi. Lo enggak usah nganterin gue! Gue nggak butuh tumpangan dari lo!" Naira menepis tangan Artha. Dia sudah teramat muak akan sikap lelaki itu. Jika memang tidak menyukai pernikahan ini, mengapa tak menceraikannya? Toh pernikahan mereka hanyalah pernikahan sirih.

"Jangan macam-macam! Lo enggak denger apa yang Mama bilang tadi! Lo mau gue jadi anak durhaka?"

"Terus mau lo apa? Sikap lo yang kayak gini seakan gue suka banget hidup sama lo! Seakan lo itu pangeran yang tidak pantas jika gue yang bersanding sama lo! Iya, kan?" Naira mengatakan keluh-kesahnya.

1
Indriani Kartini
lanjut thor
karina
up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!