Salsabillah Khairunnisa Kirani, 25 tahun. Terpaksa harus menikah dengan Adrian Mangku Kusumo, 25 tahun. Karena perjodohan orang tua mereka, padahal mereka sama-sama memiliki kekasih.
Sabillah tak tahu mengapa Adrian selalu menuduhnya menjadi penyebab kehancuran Ajeng, kekasih Adrian.
Hingga di tujuh bulan pernikahan mereka, Sabillah melihat Adrian bersama wanita yang tengah hamil tua, dan wanita itu, kekasih Adrian.
Apakah Adrian sudah mengkhianati pernikahan mereka? Meski mereka sepakat untuk berpisah setelah dua tahun pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketahuan
Setiap pagi Sabillah disibukkan dengan dua buah hatinya, dengan perutnya yang besar, ia memandikan anaknya sendiri, tak ingin kedua anaknya tumbuh dengan kasih sayang orang lain.
Jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi Eka, bersama Arial adiknya sudah duduk anteng didepan meja makan. Mereka sudah mandi, sudah wangi, ganteng dan cantik. Eka sudah rapih dengan seragam taman kanak-kanaknya.
"Bapak mana, Umak?" Eka yang begitu dekat dengan Arjuna, menanyakan keberadaan ayahnya.
"Bapak semalam dipanggil pak Tuak, sebentar lagi Bapak juga pulang," jawab Sabillah, ikut duduk bergabung dengan kedua anaknya.
"Pak Tuak jahat, kenapa suka panggil-panggil Bapak malam-malam? Kan kasihan Umak sama Adek bayinya tidak ada yang jagain." Protes gadis cantik yang memiliki pipi tembam seperti Selena Gomes itu.
Sabillah tersenyum, Eka anak yang cukup kritis dan pintar, Sabillah harus pandai menjawab setiap ucapan anak sulungnya itu, agar Eka mengerti tentang pekerjaan ayahnya. Arial sendiri, anak keduanya itu tidak terlalu sering protes, tidak juga pendiam sekali.
"Hufft, Kakak tidak mau sekolah jika tidak diantar ayah." Wajah gadis itu tertunduk lesu, meletakkan sendok dipiringnya dengan malas.
Sabillah menghela nafas, bukan hal pertama Eka seperti ini, mood anak itu akan turun jika Arjuna tidak ada, dia selalu mencari cara agar tidak ke sekolah. Dia akan menunggu ayahnya sampai pulang, dan menghabiskan waktunya seharian bersama Arjuna.
"Kalau Kakak tidak ke sekolah, nanti ayah sedih. Katanya Kakak sayang sama ayah. Kalau sayang ayah, Kakak harus rajin sekolah," ucap Sabill merayu. "Ke sekolah sama Umak kan, sama saja."
Eka menggeleng keras. "Tidak, pokoknya Kakak tidak mau ke sekolah hari ini." Turun dari kursi, bocah itu masuk kedalam kamar dengan kaki yang dihentakkan ke lantai.
Sabillah menatap punggung anaknya yang menghilang dibalik pintu, kemudian beralih pada Arial yang menatapnya.
Sabillah tersenyum. "Abang Arial lanjutin sarapannya ya, Umak mau ke kamar ambil hape." Seperti sudah paham dengan yang dikatakan bundanya, anak laki-laki berusia hampir lima tahun itu mengangguk.
Sabillah bangkit dari duduknya, mengusap rambut Arial yang tebal, turunan dari rambut Arjuna lalu ia masuk ke kamar sambil memegangi perutnya untuk izin ke guru Eka. Tak lama ia kembali, saat akan mendudukkan pantatnya, bel rumahnya berbunyi.
"Biar saya Nyonya." Kata Bi Mira mencegah, wanita berusia hampir setengah abad itu berjalan menuju pintu utama.
Ternyata dari pihak wo yang akan mendekor untuk acara tujuh bulanan nanti, padahal Sabill pikir, Arjuna yang pulang.
Hati Sabill selalu tak tenang jika suaminya belum pulang. Padahal suaminya bukan bertugas ke pulau yang sedang bermasalah, hanya menangkap para pemakai barang haram, jarang sih terjadi adu senjata, hanya saja dia suka takut sendiri, jika yang dihadapi suaminya orang dari kalangan kelas kakap.
Sabill juga jadi jarang menonton berita televisi, dia tidak ingin mendengar hal-hal yang membuat pikiranya jauh melayang.
Tak lama terdengar suara laki-laki yang ia tunggu kedatanganya, Sabillah tersenyum senang dengan hati penih kelegaan, meski hatinya belum sepenuhnya ia berikan pada sang suami, tapi ia begitu takut kehilangan sosok ini, sebab laki-laki inilah yang mencintai dirinya dengan tulus.
Meski dengan keuangan yang kadang pas-pasan, tapi Sabill selalu merasa bahagia, karena Arjuna selalu meratukanya.
"Assalamualaikum, maaf aku baru pulang," langsung mengecup pipi Sabill, lalu menunduk mencium anaknya yang masih berada diperut Sabillah.
"Hai sayang, Bapak bawakan oleh-oleh kesukaan Umak, es Nona." Arjuna mendongak, menunjukkan kantong bawaannya, bibirnya tertarik hingga terlihat deretan gigi putihnya.
"Ada yang ngambek tidak mau sekolah jika bukan Bapaknya yang mengantarnya." Adu Sabill pada suaminya.
"Oh ya? Dimana princess Bapak?" Bertanya, tapi kaki Arjuna langsung melangkah ke kamar anak-anaknya. Kamar yang ditempati Eka dan Arial, mereka belum dipisah, sebab rumah Sabill bukan rumah besar seperti milik para CEO. Dan suami Sabillah bukanlah anggota berpangkat bintang.
Sabill membawa oleh-oleh yang tadi dibawa suaminya kedapur, anak yang ada didalam perutnya sudah tak sabar ingin mencicipi segarnya es yang berisi kacang merah, tape singkong, serta manisan pepaya yang dicampur susu dan santan itu.
* * *
Di ibu kota.
Sintya ditemani pak Sofyan sedang berada di pusat pembelajaan.
"Aku ke stand mainan anak-anak dulu," izin pak Sofyan pada istrinya.
"Untuk apa? Kamu sudah sering membelikan mereka mainan, jangan dimanja suaminya, nanti keenakan tidak pernah membelikan anaknya mainan," ujarnya ketus.
"Tidak suka ayahnya, jangan larang aku untuk membelikan sesuatu untuk cucu ku," pak Sofyan tersenyum. "Lembutkan hati mu, nanti sore ikutlah untuk melihat mereka. Mereka pasti suka jika neneknya datang," sahut pak Sofyan lembut, "anak kita sudah bahagia, maafkanlah kesalahanya."
"Sudah-sudah, jangan banyak pidato. Sana kalau mau beli, beli saja." Sintya kembali berjalan menuju stand buah.
"Ma, beli buah naga untuk nenek, nenek pasti suka kalau kita belikan buah naga," ucap gadis kecil berusia sekitar delapan tahunan itu.
"Memang Kakak tahu nenek suka buah naga?" tanya sang ibu.
"Iya, apalagi kalau di buat jus. Nenek sukaaa sekali dengan jus buah naga. Kalau Mama sering-sering buatkan jus untuk nenek, nenek pasti nggak akan marah lagi sama Mama," sahut gadis kecil itu dengan semangat.
Sintya tertegun melihat pemandangan didepanya, mendengar obrolan ibu dan anak ini, dia jadi teringat yang sering diceritakan suaminya, jika cucu pertama mereka perempuan, berusia enam tahun.
"Iya, Mama belikan untuk nenek, semoga juga nenek jadi suka sama Kakak, ya?" Ibu muda itu jongkok didepan anaknya, mencubit gemas pipi gadis cantik itu, lalu berdiri, mengambil beberapa buah naga yang segar.
Setelahnya, ibu muda itu menggandeng tangan putrinya. "Kita belikan nenek daging bebek, Ma. Nenek sering memuji bibik, jika bibik suka datang membawa bebek goreng," ucap gadis rambut panjang yang diikat kuda itu.
Tanpa sadar, Sintya mengikuti langkah mereka. Kedua anak dan ibu itu terus bercerita, dan dari sini Sintya menebak, jika ibu muda yang ada didepanya ini tidak disukai mertuanya, dan suka dibandingkan dengan anak menantu yang lain.
Tiba-tiba dada Sintya bergemuruh, dia jadi teringat Sabillah, bagaimana dengan nasib Sabillah? Apakah Sabillah juga memiliki mertua sejahat itu? Suka membandingkan dengan anak menantu yang lainnya. Jika benar itu terjadi, Sintya akan menarik paksa Sabillah dari suaminya.
Sintya bergegas mencari keberadaan suaminya, dia ingin bertanya tentang mertua Sabill disana? Sintya melihat begitu banyak mainan yang dibeli Sofyan didalam troli.
"Ka-kamu bisa membawa mainan ini kesana? Kenapa tidak beli saat disana saja?" tanya Sintya.
"Akan beda rasanya, nanti jika sudah sampai disana, aku akan membelikan yang belum mereka miliki saat sudah sampai nanti," jawab pak Sofyan, dia melirik keranjang miliknya, dia terkekeh, saking antusiasnya dia, sampai tak sadar jika keranjangnya sudah penuh.
"Terserah saja, ayo cepat bayar. Anda yang ingin aku tanyakan." Sintya mendorong tangan pak Sofyan kearah kasir.
Pak Sofyan menurut, meski dalam hatinya bertanya-tanya kenapa Sintya Sintya begitu tak sabar ingin cepat sampai rumah. Dia tak tahu, jika sang istri mendengar cerita sedih gadis kecil tadi, membuat Sintya begitu ingin tahu nasib cucu yang tak pernah dilihatnya sejak lahir itu.
Jalan terburu-buru jeluar dari pusat pembelajaan, langkah Sintya dan paling Sofyan harus terhenti saat mereka berpapasan dengan mantan suami putri mereka, diikuti Arthur dibelakangnya.
"Ma, Pa." Sapa Adrian ramah dan sopan pada Sintya dan pak Sofyan.
Sintya sudah biasa bertemu Adrian, tapi kali ini dia terasa kikuk, sebab pandangan Adrian tertuju pada barang yang dibawa suaminya.
"Mama sama Papa, beli mainan sebanyak ini untuk siapa?" tanya Adrian masih dengan panggilan itu, dia pencaya suatu saat Sabillah akan kembali padanya. Setahu dia mantan mertuanya ini tidak punya keponakan anak kecil.
Selama kepergian Sabillah, Adrian masih kerap datang kerumah mantan mertuanya, menanyakan kabar dari Sabillah, tapi pak Sofyan dan Sintya menyembunyikan keberadaan Sabill, berpura-pura tak mengetahui keberadaan Sabillah. Sintya sebenarnya ingin memberitahu keberadaan Sabill pada Adrian, sebab dia masih begitu mendukung hubungan Adrian dan Sabillah. Tapi pak Sofyan mengancam akan meninggalkanya jika dia melakukan itu.
"Untuk anak panti," pak Sofyan yang menjawab dengan wajah datarnya.
Adrian menatap Sintya, seolah menuntut jawaban dari wanita itu. Sintya yang mengerti arti tatapan Adrian mengangguk, mengiyakan jawaban sang suami.
"Permisi nak Adrian, kami duluan." Sintya berinisiatif menghindar lebih dulu, tak nyaman dengan tatapan Adrian yang seakan menguliti Sintya. Adrian seperti tahu jika dia tengah grogi karena menutupi sesuatu.
Adrian sampai memutar tubuhnya, memastikan jika dugaanya benar jila Sintya menyembunyikan sesuatu darinya, dan benar dugaanya, jika Sintya karena pada saat yang bersamaan, Sintya juga melihat kebelakang.
Sudut bibir Adrian terangkat. "Mereka menyembunyikan sesuatu dari ku?" gumamnya. Ada rasa nyeri tiba-tiba muncul dihati Adrian, mengingat berbagai mainan yang dibawa Sofyan, ada mainan anak perempuan, dan juga anak laki-laki.
"Apa itu untuk anak Sabillah?" tanyanya pada diri sendiri. "Sabill aku harap kamu masih menunggu ku, seperti aku selalu menunggu mu, dan kita berjodoh kembali." Ratap Adrian dalam hati.
"Arthur, perintahkan orang untuk mengikuti mereka." Perintahnya pada sang asisten, Adrian curiga dengan mantan mertuanya itu.
"Baik, Tuan."