Gadis dan Dara adalah sepasang gadis kembar yang tidak mengetahui keberadaan satu sama lain.
Hingga Dara mengetahui bahwa ia punya saudara kembar yang terbunuh. Gadis mengirimkan paket berisi video tentang dirinya dan permintaan tolong untuk menyelidiki kematiannya.
Akankah Dara menyelidiki kematian saudaranya? Bagaimana Dara masuk ke keluarga Gadis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Freya Alana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Akan Sama
“Assalamualaykum warahmatullah …” ucap Fauzan menutup shalat isya berjamaah bersama Arum dan Dara.
Setelah selesai membacakan dzikir dan doa, Dara mencium takzim tangan dua orang yang diyakini sebagai orang tuanya.
“Ayah …”
“Bunda …” Arum, Sang Bunda, menoel hidung mancung Dara yang langsung dengan manja merebahkan kepala ke atas pangkuan.
“Capek, ya, Mbak?”
“Mayan, tadi kirim paket sampe ke Nusa Dua. Ada pembeli dari Jakarta nginep di sana.”
Dara memiliki online shop yang menjual macam-macam gelang. Andalannya adalah charm bracelet dan mood bracelet. Seorang model pernah memviralkan karya Dara dan mendadak ia kebanjiran order.
“Mbak Dara harus udah mulai punya orang yang bantuin. Jadi nggak pontang-panting.”
“Aman kok, Bun. Eh udah jam setengah delapan. Dara berangkat, Bun. Kata temen aplikasi pesan antar makanan lagi rame. Mayan buat nambah modal,” balas Dara sembari melipat mukenanya.
“Dara, biar Ayah aja yang pergi malam ini.” Fauzan merasa sedih karena hingga usianya ia masih tetap saja menjadi supir pribadi hingga tidak bisa memberi lebih untuk Arum dan Dara.
“Ih Ayah, istirahat aja. Dara juga cuma bentar kok. Jam sepuluh udah di rumah.”
“Itu malam, Dara. Udah yuk sini Ayah antar. Ayah yang bawa motor, Dara yang ambil dan drop makanan.”
“Bunda sendirian?” Dara melirik ke arah Arum.
“Ndak apa, kalian berangkat. Bunda juga masih mau siap-siapin bahan buat menu besok di warung. Hati-hati.”
Dara memeluk Arum penuh kasih sayang.
“Bundaku emang yang paling top. Nanti Dara bantuin. Janji. Assalamualaykum, Bunda Sayang.”
“Waalaykumussalam …”
Arum hendak mulai kerja ke dapur ketika terdengar suaminya berteriak, “Dara, ya Allah, kamu kenapa, Nak. Dara … Dara … tolong … Rum, Dara pingsan!”
Arum melesat ke luar. Dara terkulai sementara Fauzan menepuk-nepuk pipinya.
“Ya Allah. Dara!” Pekik Arum cemas.
Beberapa tetangga keluar dari rumah dan gegas membantu. Salah seorang dari mereka mengeluarkan mobil untuk membawa Dara ke rumah sakit.
“Pak, kita bopong Dara masuk mobil.”
Dara masih tergolek tak bergerak. Arum memijat kaki dan tangannya untuk membangunkan. Fauzan terus berdoa di telinga Dara.
“Ya Allah, bangunkan Dara, kumohon. Nak, kamu harus kuat. Ayah sayang dan nggak mau kehilangan Dara.”
Arum terus berdzikir. Hingga tiba di depan rumah sakit, tangan Dara mulai bergerak, matanya perlahan terbuka.
“Mbak Dara, alhamdulillah kamu sadar.”
“Dara dimana Bun? Ayah, kok kita di sini? Kita kan mau kerja?”
“Ssssh, Dara tadi pingsan, Sayang. Ayah dan Bunda bawa ke rumah sakit. Ada Bapak dan Ibu Nyoman yang nganter.”
Mata Dara mengerjap, melihat sekeliling.
“Dara, menurut Tante, kamu harus diperiksa. Tadi kamu tiba-tiba langsung pingsan.”
“Iya Tante, mungkin kecapean aja. Dara udah sehat kok.”
“Mbak Dara denger Bunda. Kita cek ke rumah sakit, kalau semua ok, kita pulang. Mau, ya? Bunda khawatir.”
Dara tersenyum. “Asiaap!”
Dara mengkhawatirkan uang yang harus keluar jika ia masuk UGD. Tapi melihat Bundanya khawatir, ia juga tak tega.
Tiba di rumah sakit, dokter menanyakan keluhan.
“Tadi lagi jalan ke motor, tiba-tiba saya merasa seperti di dalam mobil yang terguling. Lalu saya nggak inget lagi.”
Dokter mengangguk, kemudian memeriksa napas, nadi, tekanan darah, juga refleks pasiennya.
“Anda sering seperti ini?”
“Enggak, tapi dulu sekali waktu masih kuliah, saya sedang di kelas, tiba-tiba saya jatuh dan pundaknya sakit sekali untuk sesaat. Sesudah itu hilang.”
“Hmmm. Saya sarankan Anda ke dokter syaraf. Nggak perlu sekarang karena kondisi Anda saat ini baik. Tapi untuk keluhan seperti halusinasi sebaiknya diperiksakan dengan benar.”
“Baik, Dok.
Tanpa diketahui Dara, Fauzan dan Arum bersitatap penuh arti.
Setibanya di rumah, mereka memberi kabar pada tetangga yang menanti di depan rumah masing-masing. Fauzan dan Arum bersyukur, walaupun mereka pendatang di desa itu, tapi rasa persaudaraan sangat kuat.
Teman-teman Dara yang baru pulang kerja juga sudah berkumpul di depan rumah. Mereka mengkhawatirkan Dara. Catur, Made Arika, Komang adalah sahabat-sahabat dari kecil.
Setelah meyakinkan dirinya baik-baik, mereka pun bubar. Dara masuk ke biliknya.
“Ya Allah, ada apa ini? Kok perasaanku nggak enak banget.”
***
Darius membenci tulisan yang terpampang di depannya: Kamar Jenazah.
Jadden nampak pucat, duduk tanpa berkata apapun. Askara berdiri di sampingnya. Begitu juga Adrian dan Anwar. Di ujung bangku, duduk Melati dengan sejuta rasa yang campur aduk. Mereka semua diam termangu, berusaha mencerna kepergian Gadis untuk selamanya.
Seorang dokter dan polisi wanita keluar.
“Keluarga Ibu Gadis Anantara.”
Jadden dan Darius maju mendekat.
“Kami turut berduka cita. Ibu Gadis meninggal karena benturan berkali-kali di kepala. Saat tiba di sini, Ibu Gadis sudah kehilangan banyak darah karena pendarahan di kepala,” ucap dokter dengan tatapan serius ke arah Jadden dan Darius.
“Kami sudah memandikan jenazah dan mengkafaninya. Mohon maaf karena pendarahan masih belum bisa dihentikan, maka kami sudah meletakkan jenazah Ibu Gadis dalam peti. Silakan jika ingin melihat. Sebelum peti kami tutup permanen.”
Dengan langkah gontai, Jadden mendekati peti tempat jenazah istrinya dibaringkan.
Petugas masih belum menutup wajahnya. Jadden berusaha kuat melihat paras cantik yang penuh luka lebam dan jahitan. Darah merah merembes di belakang kepala hingga ke alas peti.
“Ya Allah, Gadis. Maafkan aku.” Jadden terisak di samping peti. Tak sampai hati melihat kondisi istrinya.
Begitu banyak penyesalan, seandainya ia tidak menjadi pengecut dan mengakui pernikahannya dengan Melati. Mungkin Gadis masih hidup bahagia dengan orang yang tidak pernah menduakannya.
Jadden menatap wajah wanita yang dengan tulus mencintainya, memberikan warna di hari-harinya, menjadi ibu bagi putrinya.
“Gadis, aku benar-benar minta maaf,” ucapnya lirih.
Darius berdiri di samping Jadden, mengelus cucu yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Cucu yang memberinya semangat hidup.
Tangan Darius mengusap kening yang kini terasa dingin sambil berbisik, “Semoga Allah mengampuni dosamu, menyayangimu, dan memaafkanmu. Semoga lapang kuburmu, cucu kesayangan Opa.”
Dokter dan polisi wanita mendekati.
“Mohon maaf, saya ingin mengingatkan bahwa dengan kondisi jenazah seperti ini, maka harus segera dimakamkan.”
“Apakah memungkinkan jika dibawa ke Jakarta. Kami ada makam keluarga,” balas Jadden.
“Silakan. Jika sudah selesai, kami akan menutup peti.”
“Anak saya … anak saya …” Jadden tidak bisa berkata-kata.
“Jadden, menurut Opa sebaiknya Ara tidak usah melihat langsung kondisi ibunya. Biarlah benaknya diisi kenangan indah bersama Gadis.”
Jadden mengangguk lemah.
“Sudah boleh kami tutup? Ada kecelakaan lain dengan korban jiwa yang akan dibawa ke sini.”
Sekali lagi Jadden mengangguk. “Sebentar.”
Jadden mengusap pipi Gadis, “Sayang, aku sungguh mencintaimu walau apapun. Maafkan aku.”
Setelah memberikan ijin, polisi wanita meminta Jadden dan Darius keluar. Setelah ditutup, peti akan dimasukkan ke ambulans.
Di luar, Mike Syailendra dan istrinya Shirin Syailendra sudah hadir. Jadden menangis di pelukan ayahnya. Melati menatap suaminya yang malam itu bergelimang rasa bersalah.
Tanpa disadari siapapun, ujung bibir Melati tersungging. Malam itu untuk pertama kali dalam dua tahun, dadanya terasa lapang.
***
Berita kematian cucu pewaris Anantara Group menghiasi media-media. Fauzan dan Arum menonton berita di televisi dengan masygul.
“Mas … apakah … apakah kita harus kasih tau Dara?”
“Rum, menurut kamu kematian Gadis wajar nggak sih? Aku kan driver. Nggak mungkin jika sekadar nabrak dari belakang langsung terguling ke jurang. Apalagi mobilnya Range Rover. Mobil Gadis pasti didorong oleh mobil lain yang jauh lebih besar dan kuat. Ada yang merencanakan ini semua, Rum.”
Arum bergidig, dirinya masih terbayang sosok bermata dingin yang menembak Riza malam itu. Walau ia tidak bisa melihat keseluruhan wajah karena kondisi hutan yang gelap gulita.
“Kita harus gimana? Dara pasti akan bertanya. Sudah beberapa kali orang bertanya apakah dia ada saudara dengan Gadis Anantara. Mereka berdua identik.”
“Betul, Rum. Dan kalau kita ingat, semalam Dara pingsan kurang lebih di saat yang bersamaan Gadis kecelakaan. Ya Allah …”
“Apakah … apakah kita harus pergi lagi, Mas?”
“Kemana? Umur kita sudah tidak muda lagi, Rum. Tabungan juga masih pas dan kita simpan jika Dara menikah.”
“Mas, Dara tadi pamitnya kemana?” Arum mendadak ketakutan.
“Antar pesanan ke hotel di Seminyak. Lalu katanya mau ambil order antar makanan.”
“Ya Allah, jagalah putri hamba.”
***
“Wey jangan main selonong, wey!” Celetuk Catur yang sedang antri menunggu pesanan di sebuah restoran.
“Sorry, Bro, pesanan ay udah jadi. Orangnya udah nelepon,” balas Dara sambil mengangkat alis lalu berjalan ke counter.
“Wey, Dara, kamu kembarannya Gadis Anantara yang kecelakaan itu ya? Mirip banget, gila.” Catur, sahabatnya, juga bekerja di aplikasi online sebagai tambahan.
“Aamiin, moga-moga nasibnya juga,” balas Dara yang seharian itu belum sempat melihat berita.
“Wey, udah meninggal dia.”
“Hah? Seriusan? Mana liat.”
“Haah dasar kudet. Makanya otaknya jangan kerja mulu.”
“Demi cuan, Bli.” Dara tersenyum geli lalu meraih hape yang diberikan Ketut.
“Innaalillaahi wa innaailayhi rooji’un. Ya Allah, kasian banget. Anaknya masih kecil..”
“Kamu yakin nggak ada hubungan darah? Anaknya aja mirip kamu kecil.”
“Halah, mending Bli inget aku kecil.”
“Inget dong, kita kan sering mandiin kebonya Pak Made terus main di sawah. Sampe kaki kamu digigit lintah.”
Dara terkekeh dan mengangguk lalu mengembalikan hape Catur. Pesanannya sudah siap.
“Kata Ayah, di dunia ini kita punya tujuh kembaran. Mungkin Gadis itu kembaran gue yang pertama. Cabut dulu ah, ati-ati lu jangan ngebut.”
Dara gegas menaiki motornya.
Dari dalam restoran, Irsad memperhatikan Dara yang lincah dan sigap. Jika tidak melihat Gadis yang tergolek di hadapannya beberapa malam yang lalu, Irsad akan menyangka bahwa Dara adalah Gadis. Kesamaan yang tak terelakan.
“Sayangnya, kesamaan dan darah yang mengalir di tubuhmu bisa mendatangkan ancaman,” gumamnya sambil menghabiskan sebotol minuman soda.
***
“Astaghfirullah, maaf Pak nggak sengaja,” ucap Dara pada pria yang baru saja ditabraknya di koridor lobby sebuah hotel.
“Saya nggak apa-apa. Mari.” Irsad berlalu sambil mengangguk pada Dara.
Melihat pria tersebut jalan dengan pincang, Dara mendekatinya.
“Pak, yakin nggak apa-apa? Maaf banget saya yang salah karena jalan sambil liat aplikasi,” lirih Dara dengan sorot mata menyesal.
Tiba-tiba hati Irsad menghangat merasakan ketulusan Dara. Setelah tadi berjalan agak jauh, bekas cederanya mulai bertingkah sehingga ia lebih pincang dari biasanya.
“Saya nggak apa-apa, kaki saya memang bekas cedera. Sudah, Mbak tinggal aja. Semoga dapat banyak orderan.”
“Aamiin. Btw, Bapak tadi juga ada di restoran Kemangi, ya? Kayaknya liat Bapak minum air soda.”
Irsad terkejut. Sebagai mantan reserse dia sudah memilih tempat yang tidak menyolok. Dara malah bisa mengenali plus menyebutkan makanan yang dipesannya.
“Wah, Mbak ini jeli ya.”
“Biasa kerja di jalan. Hehehe, jadi gampang ngenalin orang. Okey, beneran nggak apa-apa kan? Sekali lagi saya minta maaf.”
Irsad mengangguk. Dara pun berlalu menuju parkiran.
Dalam kamarnya Irsad membuka sebuah kotak file berisi semua keterangan tentang Dara.
Dara Sekar. Lulus dari universitas negeri dengan predikat tertinggi. Mengambil jurusan ekonomi dan bisnis karena cita-citanya menjadi wirausaha. Dua kali mendapat beasiswa.
Tak terhitung lomba dalam dan luar negeri yang berhasil dimenanginya. Hadiah uang dari lomba dipakai untuk mengembangkan warung makan Bundanya dan membuka usaha asesoris dan menjadi driver pesan antar makanan ketimbang duduk di kantor.
Irsad melihat foto-foto Dara yang diambilnya sejak ia tiba di Pulau Dewata.
“Dis, elu akan bahagia banget kalau ketemu Dara. Wajahnya sama persis. Tapi kelakuannya beda banget. Yang ini modelan hajar bleh.”
Setelah merapikan file-nya, Irsad membuka kotak lain berisi foto-foto, dan rekaman pesan video dari Gadis untuk Dara.
“Hidup kamu nggak akan sama lagi, Dara.”
***
👍👍👍👍
❤❤❤❤
semoga mbak Authornya sehat selalu, sukses dan berkah, makasih mbak Author
❤❤❤❤
karyamu keren thor. good job
makasih yah kak
karyanya bagus
semoga nanti Makin banyak yang baca,Makin banyak yang suka
sukses selalu ❤️