Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Kesan Dua Wanita
Puput mengerjapkan mata. Antara yakin dan tidak, melihat banyak tamu yang datang. Tentunya merasa kaget dengan kehadiran tanpa konfirmasi dulu dari keluarga korban yang ditolongnya. Fokusnya tertuju pada Enin dan Cia yang menatapnya dengan berbinar.
"Puput, masih ingat?! Ini Enin....neneknya Cia yang udah kamu tolong."
"I-iya ingat, Enin. Tapi.....aduh kenapa tidak bilang dulu kalau mau datang. Ini lagi berantakan." Puput dibuat salah tingkah karena diperhatikan semua mata tamunya itu.
"Mi...beresin dulu bukunya. Belajarnya sendiri dulu.... pindah ke kamar ya!" Puput menyuruh sang adik membantunya. Ia membereskan bantal sofa yang berantakan di lantai karena ditumpuk oleh Ami sebagai tumpuan menulis. Menatanya lagi di sofa dan dengan gesit sudah beres dalam sekejap. Si bungsu pun beralih ke belakang membawa buku-bukunya.
"Silakan duduk Enin dan semua....." Puput menganggukkan kepala, tersenyum ramah kepada dua pria yang baru dilihatnya itu. Waktu di rumah Enin, tidak ada laki-laki selain pengurus rumah yang membukakan pintu gerbang.
"Duh kedatangan Enin jadi ganggu ya." Sambil duduk satu sofa bersama Cia, Enin menatap Puput dengan sorot mata bersalah.
Puput menggeleng. "Sama sekali tidak, Enin. Hanya saya kaget aja," ujarnya sambil terkekeh. "Hmm....mau minum apa?" sambungnya menatap satu persatu wajah tamunya.
"Gak usah, Put. Malah jadi dua kali deh kita ngerepotin...." Enin lagi-lagi yang menjawab. Yang lainnya malah menjadi pendengar percakapan keduanya, ditambah asyik menjadi penikmat wajah ceria dan cantik sang nona rumah.
"Saya mau teh!" Rama tanpa sungkan meminta. Setelah sejak masuk dan menatap perempuan yang dipanggil Puput oleh Enin, matanya tak bisa lepas untuk terus memandang.
"Iya, mau minum apa?!" Puput menatap Rama. Masih ambigu mendengar nada bicara sang tamu. Memanggilnya teh atau minta minuman teh.
"Teh. Saya minta teh tawar boleh?!"
Barulah Puput faham lantas menganggukkan kepala. "Kalau gitu saya buatkan teh aja semuanya ya!" Ia pun permisi kebelakang meninggalkan tamunya. Sekalian mengabari sang ibu yang berada di kamar masih berbalut mukena. Hendak menunggu adzan isya.
"Tamu siapa, Teh?!" Ibu menghampiri Puput di dapur. Memperhatikan si sulung yang sibuk menyeduh teh.
Secara garis besar Puput akhirnya menceritakan kejadian tadi pagi. Ia memang belum sempat bercerita karena belum ada waktu senggang yang pas. Rencananya nanti malam sebelum tidur baru berbincang santai dengan sang Ibu.
Puput kembali ke ruang tamu membawa nampan. Ibu pun turut serta yang lalu dikenalkannya terhadap tamu. Percakapan santai pun berlangsung antara Enin dan Ibu. Terutama Enin yang banyak bertanya tentang keluarga Puput. Jika Cia tidak berbisik, pastinya Enin terlena berbincang ngalor ngidul lupa pada tujuan utama.
"Kedatangan kami ke sini mau ngucapin terima kasih sama Puput. Sekali lagi makasih banyak.....berkat pertolongan Puput, cucu Enin selamat." Enin mulai berkata serius sambil mengusap-ngusap punggung Cia. Lalu menyerahkan buah tangan yang dibawanya.
"Kembali kasih, Enin. Duh...kenapa bawa buah tangan segala ini." Puput menerima parcel buah juga goodie bag yang diserahkan Rama. Tersenyum padanya sambil berucap terima kasih.
"Aku juga sengaja ikut pengen ketemu langsung dengan teh Puput. Makasih banyak ya teh....udah nolong aku." Cia bersuara. Malah kemudian bangkit dan beranjak ke depan Puput untuk memeluknya. "Aku Cia....aku harap kita bisa berteman," sambungnya di balik punggung pahlawanya itu. Pertemuan baru beberapa menit ini ia merasa hatinya langsung klik. Tidak mudah baginya menjalin pertemanan secara akrab. Sejak masa sekolah tidak ada yang tulus berteman dengannya. Hanya dimanfaatin karena ia selalu baik memberi traktiran jajan di kantin.
"Tentu saja kita bisa jadi teman. Panggil Puput aja tanpa Teh." Balas Puput dengan senang hati menerima pelukan hangat Cia.
"Saya sebagai kakaknya Cia juga sangat berterima kasih." Giliran Rama berbicara usai sang adik duduk lagi di tempatnya. "Mohon jangan ditolak ucapan terima kasih ini," ia meletakkan amplop coklat di meja yang dikeluarkan dari saku hoodienya.
Membuat Puput dan Ibunya saling pandang. Ibu menganggukkan kepala sangat pelan dan mengedipkan mata sekali. Tanpa disadari para tamu jika itu adalah sebuah kode yang hanya dapat dimengerti oleh ibu dan anak itu.
...***...
Kepulan asap rokok dihembuskan ke udara. Asapnya perlahan membias tersapu angin malam yang dingin. Suara binatang malam bersahutan dalam keheningan. Ibarat nyanyian alam yang mengantar setiap insan berlabuh di peraduan. Betapa tidak, suasana pedesaan kian malam kian senyap dari lalu lalang kendaraan. Paling nanti akan ada petugas ronda yang akan keliling kampung lewat tengah.
Rama duduk di kursi teras. Baru jam sembilan malam. Dan ia betah menikmati kesunyian ini meski udara dingin. Kepulan asap kembali membumbung di udara. Bersama dengan pikiran yang mengangkasa mengingat pertemuan tadi.
Rambut panjang setengah basah tadi berhasil membuatnya terpaku. Memandang mimik wajah saat salah tingkah, berhasil membuatnya tersenyum tipis. Pakaian santai, kaos hitam berpadu celana krem selutut. Justru penampilan gadis cantik yang bersahaja itu berhasil meninggalkan kesan. Sampai sekarang masih terbayang senyum ramah nan manis saat mempersilakan duduk. Tak mengira sosok yang menolong sang adik begitu cantik dan tidak terlihat seperti jagoan.
"Mohon maaf, Mas. Saya menolong dengan ikhlas. Tidak perlu memberikan ini. Kalau buah tangannya saya terima. Tidak dengan ini."
Rama masih ingat dirinya termangu karena Puput menolak dengan halus hadiahnya. Amplop yang ada di hadapan Puput dialihkan ke hadapannya. Ia akhirnya menyerah meski beberapa kali membujuk. Termasuk ibunya Puput juga sama menolak.
Alhasil pulang setelah 1 jam lamanya bertamu karena Cia mulai akrab dengan Puput dan ibunya. Enin pun sampai memborong semua pepes ikan yang saat berbincang tercium aroma kukusannya. Menggoda selera makan.
Digerusnya rokok yang masih tersisa setengah. Menolehkan wajah saat mendengar langkah kaki. Damar datang membawa 2 gelas kopi panas.
Rama beralih duduk di kursi goyang. Kursi kerajaan Enin. Menyandarkan punggung dengan kedua tangan menyangga belakang kepala "Cakep ya dia?!" ujarnya sambil menoleh pada Damar yang duduk di belas kursinya.
Damar mengangguk setuju. Ia faham siapa yang menjadi topik pembicaraan. "Gue deketin ah....sama-sama masih single ini." Ia teringat pertanyaan yang dilontarkan Enin terhadap Puput, apakah sudah menikah atau belum.
"Kamu cari yang lain, jangan dia!" Tatapan tajam dilayangkan pada sahabatnya itu. "Aku menyukainya," sambungnya tanpa basa basi.
Damar memang tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia sedang memancing Rama. Tahu, saat berada di rumah Puput, sahabatnya itu begitu intens memperhatikan Puput meski kadang mencuri pandang.
"Hei...jangan maruk! Zara mau dikemanain?!" Damar balas menatap tajam.
"Zara buat lo. Ikhlas gue mah---" Sahutnya santai. Lebih tertarik menyeruput kopinya daripada membahas tunangannya itu.
"Cih. Mendingan jadi jones seumur hidup daripada kawin sama Zara. Apa poin plusmya dia? Modal cantik doang. Big no." Tanpa tedeng aling-aling Damar mereview bintang satu kelakuan Zara di depan Rama.
"Puput itu cewek unik. Seingat gue belum pernah tertarik sama cewek at the first sight." Rama mengalihkan pembahasan soal Zara. Matanya menerawang menatap langit malam yang pekat dihiasi kerlap kerlip bintang. "Dulu, jatuh cinta sama Karenina aja butuh waktu. Itupun setelah dia ngejar-ngejar terus. Argh, kenapa jadi bahas dia," dengusnya kesal sendiri. Menyebut satu nama itu menjadi teringat akan apa yang dilihatnya di apartemen.
Damar hanya menanggapi dengan geleng-geleng kepala. Beralih menyalakan sebatang rokok yang tersimpan di meja.
"Jangan membuat masalah baru, Bro. Selesaikan dulu urusan sama Zara. Baru melangkah memperjuangkan Puput."
"Eh, tapi lo beneran serius suka sama Puput?!" Damar menatap serius.
Rama belum sempat memberi jawaban. Lampu mobil yang menyorot melewati pintu gerbang berikut bunyi klakson mengalihkan perhatiannya.
"Mami datang!" Rama bergegas bangun. Mang Yaya sudah tidur. Sehingga ia berinisiatif akan membukakan pintu.
"Biar sama gue!" Damar menahan lengan Rama. Setengah berlari menuju arah pintu gerbang.
Pintu mobil Alphard warna putih itu terbuka secara otomatis. Papi Krisna turun lebih dulu, disusul Mami Ratna yang nampak semringah bisa pulang ke kampung halaman. Rama berdiri menyaksikannya. Senang, orangtuanya sigap untuk datang ke Ciamis.
"Sayang....I miss you!"
Raut wajah senang Rama berubah masam begitu sosok Zara turun dari mobil sambil memekik riang.
Kenapa Zara ke sini juga.
Rama mendesah kecewa. Selalu saja kehadiran Zara tak pernah memberi rasa bahagia di hatinya. Hubungan yang dipaksakan ini malah membawa beban. Sudah mencoba tak bertemu sebulan lamanya. Dengan sengaja menyibukkan diri dengan pekerjaan keluar kota. Tetap saja, tidak bisa menghadirkan rasa rindu.
...***...
Nih....aku kasih dobel lagi.
Sok lah... mandi kembang dan suguhan kopinya jangan terlewat ya! Biar akoh setrong nulisnya.😉😉😉