"Tubuhmu milikku. Waktumu milikku. Tapi ingat satu aturan mutlak, jangan pernah berharap aku menanam benih di rahimmu."
Bagi dunia, Ryu Dirgantara adalah definisi kesempurnaan. CEO muda yang dingin, tangan besi di dunia bisnis, dan memiliki kekayaan yang tak habis tujuh turunan. Namun, di balik setelan Armani dan tatapan arogannya, ia menyimpan rahasia yang menghancurkan egonya sebagai laki-laki, Ia divonis tidak bisa memberikan keturunan.
Lelah dengan tuntutan keluarga soal ahli waris, ia menutup hati dan memilih jalan pintas. Ia tidak butuh istri. Ia butuh pelarian.
Sedangkan Naomi Darmawan tidak pernah bermimpi menjual kebebasannya. Namun, jeratan hutang peninggalan sang ayah memaksanya menandatangani kontrak itu. Menjadi Sugar Baby bagi bos besar yang tak tersentuh. Tugasnya sederhana, yaitu menjadi boneka cantik yang siap sedia kapan pun sang Tuan membutuhkan kehangatan. Tanpa ikatan, tanpa perasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyonya_Doremi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Penthouse B adalah definisi dari kemewahan yang sunyi.
Ketika Sekretaris Han mengantar Naomi ke sana, gadis itu merasa seolah ia sedang menaiki tangga menuju surga yang kosong. Apartemen yang diberikan Ryu Dirgantara ini terletak di lantai teratas gedung residensial mewah yang terpisah, hanya beberapa blok dari Dirgantara Tower, memastikan tingkat privasi yang mutlak. Segalanya di sini terasa dingin dan sempurna.
Dindingnya berlapis panel kayu mahal, jendela-jendela besar membingkai pemandangan kota yang berkilauan, dan lantai marmernya memantulkan cahaya lampu chandelier kristal. Di atas meja dapur terdapat buah-buahan eksotis yang ia tak tahu cara memakannya, dan di kamar tidur utama, lemari pakaian yang sebelumnya kosong kini dipenuhi pakaian-pakaian designer baru dengan label yang masih tergantung. Semuanya dibeli, dibayar, dan menjadi bagian dari inventaris Ryu.
Naomi berjalan ke kamar mandi, ruangan yang sebesar kamar kosnya dulu. Ia menanggalkan kemeja lusuh dan rok hitamnya. Pakaian itu merupakan saksi bisu perjuangan dan keputusasaannya, kini terasa seperti relik dari kehidupan masa lalu yang sudah ia kubur.
Di bawah pancuran air hangat, ia mencoba membersihkan rasa jijik yang melekat di kulitnya, rasa jijik karena telah menjual diri. Tapi air itu tidak mampu menghilangkan sensasi dingin dari pena emas yang ia pegang, atau kata-kata Ryu yang menancap di benaknya.
"Tubuhmu milikku. Waktumu milikku."
Ia keluar dari kamar mandi, membungkus tubuhnya dengan handuk katun Mesir yang tebal. Matanya terpaku pada tempat tidur king size di tengah ruangan. Sprei nya berwarna putih bersih, seputih janji kesucian yang harus ia korbankan malam ini.
Ia tidak pernah dekat dengan siapa pun. Ayahnya yang konservatif dan kesulitan ekonomi membuatnya tidak memiliki waktu, apalagi kesempatan, untuk mengenal asmara. Kehormatan fisik yang ia jaga dengan ketat selama dua puluh tiga tahun kini akan dipersembahkan di atas altar kontrak. Sebuah persembahan yang tidak didasari cinta, melainkan oleh harga dua miliar.
Naomi meraih salah satu gaun tidur satin yang sudah disiapkan. Warnanya merah anggur yang pekat, kontras dengan kulitnya yang putih. Ia memakainya, merasa asing dengan citra sensual yang dipantulkan cermin. Ia bukan lagi gadis lugu yang harus menyelamatkan ibunya. Ia adalah Naomi, boneka cantik yang siap sedia, menunggu tuannya datang.
Waktu terasa sangat lambat. Setiap detik adalah penyiksaan. Ia duduk di tepi ranjang, meremas sprei putih itu. Di luar, lampu kota berkedip, tetapi Naomi merasa ia berada di dalam ruang hampa yang gelap.
Pukul sebelas malam.
Suara gemuruh pelan datang dari ruang tamu, suara lift pribadi yang dibuka. Naomi menegang.
Ryu Dirgantara telah tiba.
Langkah kaki Ryu terdengar berat, ritmis, dan penuh percaya diri. Itu adalah suara kekuasaan yang tak terbantahkan. Ketika pintu kamar tidur terbuka, Naomi merasakan jantungnya berdebar kencang, memukul rusuknya seolah ingin melarikan diri.
Ryu masuk. Ia sudah menanggalkan jasnya, kini hanya menyisakan kemeja putih yang lipatannya tetap sempurna, dan celana bahan yang membuat kakinya terlihat jenjang. Rambutnya sedikit acak-acakan, seolah ia baru saja melalui hari yang panjang dan melelahkan. Namun, kelelahan itu tidak menghilangkan aura dominasi.
Matanya langsung menangkap sosok Naomi yang duduk di tepi ranjang. Ia memindai gadis itu, dari ujung kaki hingga gaun satin merah anggur yang membungkus tubuhnya. Penilaian itu sangat dingin, sangat bisnis.
"Kau sudah siap," kata Ryu, suaranya dalam dan serak. Itu bukan pertanyaan, melainkan sebuah konfirmasi.
Naomi berdiri, tangannya kembali meremas tepi gaun. "Ya, Tuan."
Ryu berjalan perlahan. Ia melepas arloji mahal di pergelangan tangannya, meletakkannya di nakas dengan bunyi denting pelan. Gerakan itu penuh intensi, menandakan bahwa kini, waktu dunia luar telah berhenti.
"Han bilang kau bertanya tentang ibumu," ucap Ryu, berdiri beberapa langkah di depan Naomi.
Naomi mengangguk cepat. "Bagaimana keadaannya?"
"Kondisinya stabil. Dia dipindahkan ke kamar VIP, perawatannya sudah diurus, dan dia akan menerima yang terbaik. Kau tidak perlu khawatir. Itu adalah jaminan kontrak." Ryu menarik napas. "Tapi ingat, kau harus fokus padaku. Itu adalah tugasmu sekarang."
Jaminan itu memberikan Naomi sedikit kekuatan mental. Ibu aman. Sekarang, ia hanya perlu membayar harganya.
Ryu melangkah semakin dekat, menghilangkan jarak yang tersisa. Ia mengangkat tangannya, dan perlahan menyentuh rahang Naomi. Sentuhan itu panas dan kuat. Ia memiringkan kepala Naomi, memaksanya untuk menatap matanya.
"Aku membeli mu, Naomi. Aku membeli mu untuk melarikan diri dari kesempurnaan. Malam ini, kau bukan siapa-siapa, kau hanya sebuah pelabuhan yang harus menyediakan kehangatan."
Di bawah tatapan Ryu yang menghakimi dan menuntut, Naomi merasakan kemarahan, kepasrahan, dan gairah aneh yang saling berkelahi di dalam dirinya. Pria ini adalah monster, tapi monster yang sangat indah.
"Aku harap kau mengerti aturannya," Ryu mengulang, suaranya kini berbisik di dekat telinganya. "Tidak ada tuntutan. Tidak ada drama. Hanya... kepatuhan."
Ryu tidak menunggu jawaban. Ia menarik Naomi dengan cepat, memaksanya untuk menempel ke tubuhnya. Panas tubuh Ryu menembus satin gaun tidur, membakar kulit Naomi. Ia adalah pria yang diciptakan dengan sempurna, ototnya keras dan memancarkan kekuatan yang menguasai.
Ciuman itu datang dengan tiba-tiba. Bukan ciuman lembut yang penuh kasih sayang, melainkan ciuman yang menuntut sebuah pernyataan kepemilikan. Bibirnya menekan bibir Naomi, membungkam setiap protes atau ketakutan yang mungkin muncul. Naomi terkejut, namun tubuhnya, yang dipenuhi ketegangan dan rasa takut, bereaksi tanpa kendali.
Tangan Ryu menelusuri punggungnya, menariknya lebih dekat. Keahliannya dalam sentuhan sangat jelas. Ini adalah sentuhan yang terlatih, penuh perhitungan, dirancang untuk melumpuhkan pertahanan. Ryu tahu bagaimana membangkitkan gairah, meski gairah itu bercampur dengan keputusasaan Naomi.
Dalam keintiman yang tiba-tiba dan ganas itu, Ryu merasakan kejutan aneh. Gadis ini... terasa berbeda. Dia tidak memiliki keahlian atau kepura-puraan yang dimiliki wanita-wanita yang biasa menemaninya. Ada kepolosan yang naif dalam cara dia merespons, sebuah kepasrahan yang hampir menyakitkan.
'Ini hanya transakasi, Ryu. Jangan merasa kasihan.' Ia mengulang mantra itu di benaknya, menggunakan gairah sebagai tameng untuk melindungi dirinya dari emosi yang tidak diinginkannya.
Ryu mendorong Naomi mundur hingga lututnya membentur tepi ranjang. Ia menyingkirkan sisa-sisa gaun satin merah anggur itu, membiarkan kain mahal itu meluncur ke lantai marmer. Tubuh Naomi yang kini terekspos terasa dingin di bawah pencahayaan kamar.
"Kau sangat cantik, Naomi," Ryu berbisik, tetapi pujian itu terdengar seperti penilaian, bukan sanjungan. "Warna kulitmu seperti porselen, dan aku yang pertama mendapatkan hak untuk mengukir namaku di atasnya."
Ia mengangkat Naomi, membaringkannya di atas sprei putih yang baru. Putih bersih, siap menjadi kanvas untuk malam kepemilikan ini.
Ryu menanggalkan kemejanya, memperlihatkan tubuhnya yang keras dan berotot, hasil dari latihan keras yang ia lakukan untuk menjaga citra kesempurnaannya. Ia adalah definisi kekejaman yang elegan, dan Naomi hanyalah seekor kelinci yang terperangkap di bawah pandangan mata elangnya.
Saat ia naik ke atas ranjang, rasa takut Naomi memuncak.
"Tuan, saya..." Naomi mencoba berbicara, untuk memohon perlindungan atau setidaknya sedikit kelembutan, tetapi suaranya tercekat.
Ryu membungkamnya lagi dengan ciuman yang lebih dalam dan lebih mendominasi. Ia tidak ingin mendengar pengakuan atau permohonan. Ia hanya ingin kepatuhan dan pelarian.
Perpaduan antara hasrat fisik yang membara dari Ryu dan kepasrahan putus asa dari Naomi menciptakan keintiman yang brutal. Naomi merasakan tubuhnya didorong melebihi batas yang pernah ia bayangkan. Rasa sakit menjalar dari ketegangan emosional dan fisik yang belum pernah ia alami.
Ryu bergerak dengan kecepatan yang didorong oleh kebutuhan mendesak untuk melupakan diagnosisnya, melupakan tuntutan keluarganya, melupakan segalanya kecuali sensasi menguasai. Sentuhannya eksplosif, penuh dengan keinginan untuk menandai dan mengambil.
Lalu, tibalah saat klimaks yang tak terelakkan.
Naomi mencengkeram sprei itu erat-erat. Ia merasakan rasa sakit yang tajam, sangat berbeda dari semua sensasi yang ia rasakan sebelumnya. Rasa sakit itu membuat Naomi menjerit pelan, suara yang nyaris teredam oleh Ryu. Itu adalah suara perpisahan dengan masa lalu, suara pengorbanan terbesarnya.
Ryu terkejut. Tubuhnya berhenti sesaat. Ia merasakan sedikit hambatan, dan mendengar jeritan kecil Naomi. Ia membuka matanya yang tertutup, menatap wajah gadis itu. Air mata mengalir deras dari sudut mata Naomi, membasahi bantal sutra.
Sebuah pikiran menembus benteng es Ryu.
"Dia perawan?'
Di tengah semua wanita yang pernah ia temui, para model, para wanita karier yang berani, para wanita yang mencari status, ia memilih yang paling murni. Gadis yang terdesak ini telah menyerahkan bukan hanya kebebasannya, tetapi juga segalanya. Rasa bersalah yang tajam dan singkat menusuk hati Ryu, secepat kilat.
Namun, Ryu adalah pengusaha kejam, dan ia tahu bahwa penyesalan hanya akan memperlambat kesepakatan. Ia telah membayar. Dan kepemilikan harus diselesaikan.
Dengan desahan yang dipenuhi dominasi, ia melanjutkan, mengabaikan rasa sakit dan air mata Naomi. Ia menyelesaikan apa yang telah ia mulai, mengambil apa yang telah ia beli. Naomi meremas punggung Ryu, membiarkan tubuhnya menjadi wadah, berpegangan pada pikiran tentang ibunya, tentang dua miliar, tentang keharusan bertahan.
Ketika semuanya selesai, ada keheningan yang memekakkan telinga. Ryu ambruk di sampingnya, terengah-engah. Kelegaan yang ia cari terasa pahit.
Ia menarik dirinya, menatap Naomi yang terbaring memunggungi. Tubuh gadis itu gemetar pelan.
Baru saat itulah Ryu melihatnya.
Di atas sprei putih bersih yang baru, tepat di bawah pinggul Naomi, ada noda kecil berwarna merah tua. Noda darah itu tampak mencolok, menyebar perlahan di atas kanvas murni.
Noda itu adalah bukti fisik dari kesucian yang baru saja ia rampas. Bukti bahwa Naomi benar-benar telah memberikan segalanya.
Ryu menatap noda itu lama.
Bagi Ryu, noda darah itu bukan sekadar cairan tubuh, itu adalah penanda. Sebuah tanda yang secara ironis menegaskan bahwa ia, Ryu Dirgantara, adalah orang pertama dan satu-satunya yang berhasil mengambil kehormatan fisik gadis ini, namun pada saat yang sama, itu mengingatkan ia pada ketidakmampuannya yang lebih besar. Ia bisa mengambil segalanya, tetapi ia tidak bisa memberi apa-apa, terutama kehidupan.
Perasaan yang sangat tidak nyaman menyelimuti Ryu. Ia benci perasaan ini, rasa ingin meminta maaf, rasa ingin memeluknya dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ia bangkit dari ranjang, mengenakan jubah sutra yang tergantung di pintu, dan berjalan ke kamar mandi, meninggalkan Naomi sendirian dalam keheningan yang dingin.
Naomi tidak bergerak. Ia memejamkan mata, membiarkan air mata mengering di pelipisnya. Tubuhnya terasa sakit, jiwanya terasa kosong. Ia menyentuh sprei di bawahnya, merasakan kain yang sedikit lembap dan lengket. Noda merah tua itu adalah segel permanen dari kontrak ini, tanda bahwa ia telah sepenuhnya berubah menjadi milik Ryu.
Setelah beberapa saat, Ryu keluar. Ia membawa segelas air dan beberapa pil pereda nyeri, meletakkannya di nakas.
Ia tidak menyentuh Naomi. Ia hanya duduk di tepi ranjang.
"Minum ini," katanya, suaranya kini kembali datar, menghilangkan sisa-sisa kelembutan yang mungkin ia rasakan.
Naomi berbalik perlahan, meraih air dan pil itu dengan tangan gemetar. Ia menelannya, memejamkan mata.
"Naomi," panggil Ryu.
Gadis itu membuka mata.
"Tadi... adalah harganya. Kontrak ini sudah dimulai, dan kau sudah melaksanakan tugas pertamamu dengan baik," kata Ryu, suaranya tegas. "Tapi jangan pernah lupa, ini adalah sebuah transaksi. Aku membeli tubuh dan waktumu. Aku tidak membeli hatimu, dan aku tidak menjual hatiku. Apa yang terjadi di ranjang ini hanyalah pemenuhan kebutuhan."
Ia melihat noda darah itu lagi, dan ia harus segera merusak momen ini agar perasaan kasihan tidak menguasainya.
"Kau bisa tidur. Aku akan mandi dan pergi. Jika kau merasa kesepian, jangan hubungi aku. Hubungi Han. Tugasmu sudah selesai untuk malam ini."
Ryu berdiri. Ia meraih ponselnya, lalu mengunci pintunya dengan kode.
Saat ia pergi, meninggalkan Naomi sendirian di dalam sangkar emas itu, Naomi menyentuh noda darah di seprai. Noda itu terasa panas, terasa seperti luka terbuka.
Naomi Darmawan telah menjual kebebasannya, dan malam ini, ia telah membayar cicilan pertamanya dengan kehormatannya. Namun, jauh di lubuk hatinya, di balik rasa sakit dan kepasrahan, ada benih kecil yang tertanam, benih harapan bahwa suatu hari, ia akan menjadi lebih dari sekadar transaksi bagi pria yang telah mengambil segalanya darinya.