Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Realita di Balik Pintu Kayu
Motor Honda Beat Nayla berbelok masuk ke sebuah gang sempit di kawasan Jakarta Timur. Gang itu hanya cukup dilewati dua motor berpapasan. Di kiri-kanan, rumah-rumah petak berdempetan, seolah berebut oksigen.
Nayla mematikan mesin motornya tepat di depan pagar besi yang catnya sudah mengelupas. Ia menuntun motor masuk agar tidak menimbulkan suara bising yang bisa membangunkan tetangga.
"Assalamualaikum," bisik Nayla pelan saat membuka pintu rumah.
Rumah itu kecil, tipe 36 yang ia sewa bulanan. Di ruang tengah yang merangkap ruang tamu, terlihat seorang wanita tua tertidur di atas sofa bed yang sudah agak kempes, dengan televisi yang masih menyala menampilkan acara sinetron tengah malam.
Itu Nenek Ijah, nenek kandung Nayla satu-satunya keluarga sedarah yang ia miliki setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan sepuluh tahun lalu.
Mendengar suara kunci, Nenek Ijah terbangun. Matanya mengerjap. "Waalaikumsalam... Nay? Udah pulang, Nduk?"
Nayla segera menghampiri neneknya, mencium tangan wanita keriput itu. "Maaf ya, Nek. Nayla kemalaman. Tadi di jalan macet, terus ada urusan sebentar." Ia tidak menceritakan kejadian di kafe, takut neneknya khawatir.
"Nggak apa-apa. Nando baru aja tidur pules. Tadi dia nanyain ibunya terus, minta dibacain cerita kancil."
Hati Nayla mencelos. Rasa bersalah kembali menghantam dadanya. Ia bekerja keras sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan distributor, kadang mengambil lembur atau pekerjaan sampingan menerjemahkan dokumen, semua demi Nando dan Nenek. Tapi, waktu adalah harga yang harus ia bayar.
Nayla melangkah pelan ke kamar tidur satu-satunya di rumah itu. Di atas kasur kapuk yang dilapisi sprei bermotif kartun Cars, tergolek seorang bocah laki-laki berusia 4 tahun. Wajahnya damai, napasnya teratur. Tangan kecilnya memeluk guling lusuh yang tak mau ia lepaskan meski Nayla sudah membelikan yang baru.
Nayla duduk di tepi ranjang. Ia mengelus rambut Nando yang hitam legam, mirip sekali dengan rambut ayahnya—pria yang meninggalkan mereka bahkan sebelum Nando melihat dunia.
"Maafin Ibu ya, Nak," bisik Nayla, mengecup kening putranya. Ada aroma minyak telon dan bedak bayi yang selalu menjadi penenang bagi Nayla. Aroma 'rumah'.
Ia kemudian bangkit, mengganti pakaian kantornya dengan daster rumahan yang nyaman. Nayla berjalan ke dapur kecilnya, membuka tudung saji. Masih ada sisa sayur asem dan tempe goreng buatan Nenek. Perutnya berbunyi. Tadi di kafe ia tidak sempat makan karena sibuk mengurus ibu yang sakit itu.
Sambil mengunyah tempe yang sudah dingin, pikiran Nayla melayang ke kejadian tadi. Ia teringat wajah ibu yang ia tolong. Wajah yang teduh, meski terlihat kaya raya, ibu itu tidak sombong.
"Semoga ibu itu selamat sampai rumah," gumam Nayla. Ia kemudian teringat ponselnya. Ia merogoh saku tas, melihat riwayat panggilan. Ada nomor yang tadi dihubungi ibu itu.
Mas Adit.
Nayla menatap nama itu sejenak, lalu mengangkat bahu. Ia tidak berharap apa-apa. Bagi Nayla, menolong orang adalah kewajiban, bukan investasi untuk mendapatkan balasan. Ia meletakkan ponselnya di atas kulkas, lalu mencuci piring bekas makannya.
Malam semakin larut, menyisakan Nayla dengan keheningan dan tagihan listrik yang menempel di pintu kulkas, mengingatkannya bahwa besok perjuangan harus dimulai lagi dari nol.
...****************...
Bersambung....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️