Shaqila Ardhani Vriskha, mahasiswi tingkat akhir yang sedang berada di ujung kewarasan.
Enam belas kali skripsinya ditolak oleh satu-satunya makhluk di kampus yang menurutnya tidak punya hati yaitu Reyhan Adiyasa, M.M.
Dosen killer berumur 34 tahun yang selalu tampil dingin, tegas, dan… menyebalkan.
Di saat Shaqila nyaris menyerah dan orang tuanya terus menekan agar ia lulus tahun ini,
pria dingin itu justru mengajukan sebuah ide gila yang tak pernah Shaqila bayangkan sebelumnya.
Kontrak pernikahan selama satu tahun.
Antara skripsi yang tak kunjung selesai, tekanan keluarga, dan ide gila yang bisa mengubah hidupnya…
Mampukah Shaqila menolak? Atau justru terjebak semakin dalam pada sosok dosen yang paling ingin ia hindari?
Semuanya akan dijawab dalam cerita ini.
Jangan lupa like, vote, komen dan bintang limanya ya guys.
Agar author semakin semangat berkarya 🤗🤗💐
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rezqhi Amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyerah?
Tangga sisi gedung Fakultas Ekonomi itu sepi seperti biasa. Hanya suara angin yang menyelinap dari sela tembok dan gemerisik daun palem kecil di bawahnya yang menemani. Tempat itu tidak pernah ramai dan itulah alasan Shaqila sering ke sana.
Tangga itu menjadi semacam ruang pelarian, sekaligus tempat penenangnya. Jauh dari tatapan mahasiswa yang sibuk dengan tugas masing-masing dan jauh dari hiruk-pikuk dunia kampus yang tak pernah mau mengerti betapa lelahnya ia.
Hari ini, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Map ungu berisi skripsi di tangannya tampak lusuh, seperti baru saja ikut dihukum oleh dunia bersama pemiliknya.
Shaqila turun ke tiga anak tangga, lalu duduk di salah satu sudut yang tertutup bayangan tembok. Kakinya terasa lemas, nafasnya tersengal. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena dada yang sejak tadi menahan ledakan emosi.
Ia menatap map di genggamannya. Di halaman depan, terlihat cap merah bertuliskan "REVISI" seperti tamparan keras yang ke sekian kalinya. Sebenarnya ia sudah tidak sanggup menghitung berapa kali ia melakukan revisi. Tapi otaknya tetap menyebutkan fakta pahit itu seperti mantra kutukan.
"Enam belas…" bisiknya hampir tak terdengar.
"Enam belas kali ditolak…"
Suaranya pecah, matanya panas,pandangan kabur.
Gadis itu menundukkan kepala, membiarkan rambutnya jatuh menutupi wajah. Tangannya mencengkeram map itu erat, seakan kalau ia melepasnya, dirinya sendiri akan runtuh bersama semua harapan yang ia pikul.
Ia menggigit bibir, menahan suara yang ingin pecah jadi tangis keras.
Tidak boleh terdengar, ia tidak ingin orang-orang melihatnya menangis. Gadis itu malu jika ketahuan menangis karena skripsi.
Ia sudah terlalu sering terlihat lemah. Terlalu sering dianggap dramatis. Terlalu sering dicibir teman seangkatannya yang sudah lolos.
Dan sekarang dia ditolak lagi.
Revisi beberapa hari yang membuat waktunya tersita banyak, kurang tidur, bahkan jarang makan menjadi sia-sia.
Mata yang perih karena tidak tidur, sia-sia.
Doa yang dipanjatkan sambil berharap dosen itu sedikit saja berbaik hati nyatanya sia-sia.
"Tuhan...kenapa dosennya harus dia?" bisiknya dengan suara yang mulai serak.
"Lama-lama gue bisa gila benaran kalau begini," lirihnya lagi.
Air bening menetes jatuh ke map ungu itu. Satu, dua, tiga lalu menjadi tetesan yang banyak.
Bahu Shaqila bergetar kecil. Dadanya naik turun cepat. Ia menutup mulut dengan telapak tangan agar suara sesenggukannya tidak menggema di lorong itu.
Sejenak, dunia terasa seperti tempat paling kejam.
Ia ingin lari.
Ingin menyerah.
Ingin beristirahat tanpa memikirkan skripsi, revisi, sidang, atau apapun yang berhubungan dengan apa yang membuatnya lelah saat ini.
Gadis itu bukan cuma lelah fisik, tetapi juga lelah batin.
Sampai sebuah suara membuyarkan isak tertahannya.
"Qila?"
Shaqila tersentak. Ia langsung mengusap kasar pipinya dan mendongak sedikit. Seorang gadis berambut pendek sepundak berdiri di atas anak tangga, wajahnya penuh kekhawatiran.
Siska, sahabat sekaligus orang yang paling mengerti betapa beratnya perjuangan skripsinya. Gadis itu menuruni tangga cepat-cepat. Ia duduk tepat di samping Shaqila tanpa banyak bicara, hanya menatap wajah sahabatnya itu dengan pandangan yang begitu lembut.
"Lo dari ruangan pak Reyhan, ya?" tanya Siska pelan.
Pertanyaan yang sebenarnya sudah ia tahu jawabannya.
Shaqila memejamkan mata. Air matanya kembali mengalir pelan. Ia tidak menjawab, tapi tangis itu sudah cukup membuat Siska mengerti semuanya tanpa kata.
Siska mengembuskan napas panjang, lalu merangkul bahu Shaqila dengan hati-hati. "Sini, kalau mau nangis, nangis aja. Gue paham kok perasaan lo."
Ucapan itu membuat bibir Shaqila melengkung sedikit, meski dengan sedih. Sisca memang tipe yang tahu cara membuat seseorang merasa tidak sendirian.
"Enam belas kali, Sis…" suara Shaqila bergetar. "Enam belas! ada nggak sih mahasiswa lain yang lebih oon dari gue?”
Sisca mengusap punggungnya. "Bukan begitu, Qil. Pak Reyhan itu… ya begitu. Dosen super perfeksionis. Semuanya harus perfect, termasuk skripsi lo,"
"Lo tahu nggak? dia mengatakan skripsi gue ‘tidak layak’. Gitu doang tanpa jelasin panjang lebar. Cuma corat coret doang tanpa ngasih gue contoh harusnya di apain kayak…" Shaqila menahan napas, dadanya semakin sesak. "kayak gue ini nggak ada usaha sama sekali."
Siska mengernyit, jelas ikut kesal. "Dia emang sering gitu. Hampir seluruh mahasiswa yang dikasih tugas sama dia tu frustasi. Karena semuanya tu harus perfect. Tapi Shaqila yang gue kenal bukan tipe menyerah cuma gara-gara dosen perfeksionis satu itu."
Shaqila mendengus kecil, lemah. "Sis, ini bukan tentang ‘dosen perfeksionis’ ini tentang nasib masa depan gue! kalau tu dosen nggak mau lulusin gue, habislah gue. Orang tua gue nunggu gue wisuda tahun ini. Lo tahu kan seberapa gengsinya ay-"
Siska memegang tangan Shaqila, menghentikannya.
"Gue tahu, tapi lo nggak sendirian, Qil. Gue bakal bantu, sampai lo bisa sidang dengan nilai A sekalian."
Shaqila menunduk. Air matanya kembali jatuh pelan-pelan, membasahi kaos Siska.
"Kenapa sih hidup gue susah banget, Sis? Kenapa harus dia? Kenapa pembimbing gue harus dosen itu, kenapa bukan dosen lain aja?"
Siska menatap langit-langit tangga. "Mungkin… karena itu ujian yang harus lo hadapi sebelum wisuda,"
"Ujian?" Shaqila mengelap air mata lagi.
Siska terkekeh. "Untuk apapun itu semoga ujian ini berhasil lo hadapi."
Shaqila menghela napas kasar.
Ia benar-benar tidak melihat ujung dari semua ini.
Siska menepuk pipinya pelan. "Denger, Qil. Lo sudah kuat sampai sejauh ini. Lo berhasil revisi Enam belas kali tanpa memilih untuk membayar seseorang untuk membuatkan mu skripsi atau berhenti kuliah. Itu hebat."
"Hebat dari mana?"
'Dari segala sisi," jawab Siska cepat. "Kalau gue jadi lo, mungkin gue sudah lempar laptop ke kepala dosen itu."
Shaqila hampir tertawa. "Sis…"
"Beneran! Lo bayangin, pas dia ngomel, ‘Metodologinya salah’, terus BRAK! laptop melayang. Pasti viral satu fakultas."
Shaqila menutup wajah dengan tangan, antara ingin tertawa dan menangis. "Lo tuh…"
Siska tersenyum kecil. "Tuh kan, mulai senyum. Gitu donk, baru kelihatan cantiknya kalau gitu. Walau masih cantikan gue sih,"
Suasana kembali hening sejenak, angin sore menyapu lembut tangga itu, membuat suasana sedikit lebih tenang.
Sampai akhirnya Siska bertanya dengan nada lebih serius.
"Jadi lo mau nyerah?"
Shaqila terdiam.
Pertanyaan itu menyerang tepat di titik lemah hatinya.
"Gue nggak tahu," jawabnya jujur. "Gue capek! Capek banget, Sis."
Shaqila menggigit bibir, matanya kembali berkaca-kaca.
Ia membiarkan kepalanya bersandar di bahu Siska.
"Sis… kalau gue gagal lagi, gue harus bagaimana?"
Siska tersenyum kecil, menepuk rambut Shaqila.
"Ya kita coba lagi. Dan kalau gagal lagi, kita coba lagi. Sampai si perfeksionis itu bosen nolak kamu, dan terpaksa lulusin."
Shaqila tertawa kecil di tengah tangisnya. "Kok lo yakin banget sih?"
'Ya harus yakin lah," jawab Siska dengan tegas.
Shaqila menutup mata. Tangisnya mereda perlahan. Rasanya seperti menemukan udara segar setelah tenggelam terlalu lama.
Tangga itu, yang biasanya terasa dingin dan kosong, kini terasa lebih hangat.
Karena ia tidak lagi menangis sendirian.
Karena Siska ada di sampingnya.
Karena masih ada orang yang percaya ia mampu.
Dan entah kenapa…
di sela-sela harapan kecil itu, muncul bayangan wajah Reyhan, dingin dan perfeksionis, tak peduli, tetapi entah mengapa justru membuat hatinya ingin membuktikan bahwa ia bisa.
Hai hai hai
Kembali lagi bersama author,
Jangan lupa dukung ya karya baru author 🤗🤗
See you guys,
tapi bener juga sih instruksi dan kata-kata tajamnya itu.. skripsi itu mengerti apa yang dikerjakan😌