Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Cara?" Luna menatap tajam Tania.
"Diam di sini, ngeliatin suami kamu yang selingkuh, pasrah dengan keadaan, itu yang kamu maksud?!" Hardiknya.
"Kamu maunya gimana? Aku samperin mas Dika, ngamuk-ngamuk, nangis-nangis di depan dia, gitu?" tanya Tania.
"Dia gak pantas mendapatkan itu semua."
"Cara seperti itu cuma bikin aku terlihat menyedihkan dan juga seperti gak punya harga diri, Lun. Itu yang kamu mau?" tanya Tania, wajahnya datar nyaris tanpa emosi.
"Kalo gitu gak perlu nangis, kamu cukup labrak mereka, tampar Dika terus jambak rambut wanita murahan itu!" Bentak Luna.
"Gak perlu! Ayo kita pulang!" kali ini Tania menarik paksa Luna untuk keluar dari restoran tersebut.
Sampai di luar restoran, Luna menghempaskan genggaman tangan Tania, ia juga menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang merengek meminta permen.
"Aku gak ngerti sama cara berpikir kamu, Tan. Kalo aku jadi kamu, aku gak akan diam aja kaya gini, paling gak aku harus memberikan pelajaran ke 2 manusia sampah itu!" seru Luna.
"Kamu mau pulang atau masih mau di sini? Kalo kamu masih mau di sini, aku bisa pulang sendiri." Tania berjalan, meninggalkan Luna begitu saja.
"Ehh tunggu! Kita pulang sama-sama, aku gak mau kamu kenapa-kenapa Tan. Aku tau kamu saat ini pasti ngerasa hancur banget, kamu cuma pura-pura kuat di depan aku, kan." Luna berjalan di samping Tania, sambil merangkul lengannya.
"Kalo kamu mau nangis, nangis sekarang, jangan di tahan pliss, gak usah pura-pura tegar, terus bunuh diri," kata Luna.
"Mana ada aku kaya gitu, pikiran kamu sempit banget, makannya jangan kebanyakan nonton drama pendek." Tania menepuk lembut dahi Luna.
"Ya kali aja kan, biasanya orang pendiam kaya kamu, sakit hati di tahan-tahan. Tau-tau langsung bunuh diri, takut banget aku, Tan." Luna bergidik sendiri.
"Dari pada kamu ngomong ngelantur terus, mendingan buruan kita pulang, aku udah lapar banget." Tania menarik Luna agar berjalan lebih cepat.
"Ya Tuhan... benarkah yang di samping ini sahabat aku? Suaminya selingkuh, dia malah masih mikirin perutnya sendiri yang lapar." Luna menengadahkan wajahnya ke atas.
Sepanjang perjalanan Luna terus saja mengomel dan memaki-maki Dika juga wanita selingkuhannya.
Tania hanya menanggapinya dengan tawa ringan, hal tersebut membuat Luna semakin kesal terhadap Tania.
Kini, keduanya sudah sampai di rumah Tania, rumah bernuansa minimalist yang baru saja di beli Dika beberapa bulan lalu di salah satu kompleks perumahan di kota mereka, setelah dirinya mendapatkan promosi kenaikan jabatan di perusahaan tempatnya bekerja.
"Ayo makan." Tania menarik kursi di ruang makannya untuk Luna.
"Kamu pasti lapar banget, energi kamu udah abis karena marah-marah gak jelas," kata Tania.
"Marah-marah gak jelas apanya, marah ku jelas ya, gimana gak marah coba, punya modelan sahabat kaya kamu gini."
"Kayanya aku perlu bentur rin kepala kamu ke tembok deh, Tan," seru Luna lagi, memandangi Tania yang justru sibuk mengambilkan makanan untuknya.
Setelah mengambilkan makanan untuk Luna, kini giliran Tania mengambil makanan untuk dirinya sendiri.
"Buruan makan, piring kamu udah penuh tuh, habisin gak boleh ada sisa," kata Tania.
"Tania!" Luna menatap tajam Tania, Luna sangat gemas dengan sikap sahabatnya tersebut, bisa-bisanya Tania menghidangkan makanan dengan porsi yang banyak ke piring miliknya.
"Kamu mau bikin aku jadi gendut, terus gak ada yang suka sama aku, aku gak nikah dan menjomblo buat nemenin kamu terus, gitu?" marah Luna.
"Boleh juga, itu ide yang bagus, kita kan sahabatan, harus setia kawan," balas Tania, sambil tertawa ringan.
"Tau ah!" Luna tidak lagi mendebat Tania, ia justru sangat menikmati makanan yang di masak oleh sahabatnya tersebut.
Tania memang sangat pandai memasak, semua masakannya selalu saja enak, masakan Tania juga selalu di puji oleh Dika.
"Tan... setelah ini apa rencana kamu?" tanya Luna, tiba-tiba.
"Rencana aku? Hmmm ... aku ngantuk, mau tidur," jawab Tania.
"Tau ah, aku males ngomong sama kamu, kamu ngeselin," rengek Luna.
Kali ini keduanya sama-sama diam, dan menikmati makanan di piring mereka masing-masing.
"Alhamdulillah kenyang, makanan kamu emang gak pernah gagal, Tan." Luna membelai lembut perutnya sendiri yang kekenyangan.
"Aku langsung pulang ya, males banget ketemu sama si Dika, kamu jangan bikin yang aneh-aneh loh ya," ujar Luna.
"Iya gak ... ayo aku antar sampe depan rumah." Tania membantu Luna untuk berdiri dari kursi.
Tania melambaikan tangan ke arah Luna yang sudah berada di dalam mobilnya dan siap pergi dari rumah sahabatnya tersebut.
Tania kembali masuk, saat mobil sahabatnya sudah benar-benar keluar dari pekarangan rumahnya.
Tania masuk ke dalam rumah, berdiri mematung di ruang tamu sambil menatap lekat bingkai foto pernikahannya yang terpajang di dinding ruang tamu.
Raut wajahnya datar, tapi kedua tangannya mengepal kuat.
"Kamu terlalu meremehkan aku, Mas," ucapnya pelan, seulas senyum tipis muncul di bibirnya.
Tania berjalan perlahan ke arah bingkai foto tersebut, kemudian Tania mengambil bingkai foto tersebut.
Tania melepaskan beberapa bingkai foto dirinya dan juga Dika yang terpajang di ruang tamu rumah mereka.
Ia membawa bingkai foto tersebut dan meletakkannya di kamar kecil yang ada di dekat dapur mereka, yang Tania jadikan sebagai gudang.
"Harusnya aku buang kamu ke tempat sampah," gumam Tania, memandang datar ke arah tumpukan bingkai foto dirinya dan juga Dika.
Tania keluar dari ruangan tersebut, berjalan masuk ke dalam kamarnya, kembali mengambil bingkai foto mereka berdua dan membawanya ke gudang.
Kini di dalam rumah tersebut sudah tidak ada lagi satu pun bingkai foto dirinya dan Dika yang terpajang.
Tania kembali ke kamarnya, mengambil ponselnya di atas nakas samping tempat tidur.
📞"Halo," Tania berbicara dengan seseorang.
📞"Bagaimana? Apa anda sudah mengambil keputusan?" tanya seseorang di seberang sana.
📞"Iya, saya siap bergabung bersama perusahaan anda," jawab Tania.
📞"Apa ada hal buruk yang baru saja terjadi? Suara anda terdengar berat Bu Tania," tanya orang tersebut lagi.
📞"Anda tidak perlu khawatir, meskipun saya sedang mengalami masalah, hal tersebut saya pastikan tidak akan mengganggu kinerja saya di perusahaan anda," jawab Tania.
📞"Baik kalau begitu. Besok Bu Tania bisa datang ke perusahaan untuk bertemu langsung dengan atasan saya."
📞"Di jam berapa saya harus datang?" tanya Tania.
📞"Sebentar ... saya perlu melihat jadwal Pak Herry di tablet saya."
📞"Nanti saya kabari anda selanjutnya lewat pesan."
📞"Baik kalau begitu, maaf karena sudah mengganggu anda Pak Rendi," balas Tania.
📞"Tidak perlu sungkan Bu Tania, justru suatu kehormatan untuk perusahaan kami bisa merekrut desainer berbakat seperti anda."
📞"Konsep desain perhiasan yang Bu Tania berikan kepada perusahaan kami 6 tahun yang lalu, berhasil membuat perusahaan menjadi sukses dan juga terkenal seperti sekarang, konsep tersebut juga memberikan warna baru untuk perusahaan kami, kesuksesan ini ada andil dari anda Bu Tania."
📞"Anda terlalu berlebihan memuji saya Pak Rendi," balas Tania.
📞"Tidak ada yang berlebihan, anda pantas mendapatkan pujian itu, sayangnya anda memilih berhenti karena menikah."
📞"Bahkan anda menolak menerima bagian dari keuntungan perusahaan setelah peluncuran desain perhiasan yang anda desain, sampai sekarang perhiasan yang anda desain penjualannya masih stabil."
Tania hanya tersenyum, di dalam hatinya merutuki kebodohannya sendiri saat itu, demi menjaga harga diri Dika sebagai seorang lelaki dan yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangganya, Tania rela menepikan segala kelebihan yang ada dalam dirinya.
📞"Kalau begitu, sampai ketemu besok di perusahaan Bu Tania," ujar Pak Rendi.
Obrolan Tania di ponselnya pun selesai.
Tania meletakkan kembali ponselnya ke atas meja, seulas senyum tipis muncul di bibir Tania. Senyum yang tenang namun penuh rahasia, membuat siapa pun yang melihatnya bertanya-tanya apa yang sebenarnya ada di pikiran Tania.
Bersambung...