NovelToon NovelToon
Muslimah Gen Z: Iman,Cinta, Dunia.

Muslimah Gen Z: Iman,Cinta, Dunia.

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Teen Angst / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / Berondong
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: syah_naz

Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.

Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.

Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah.
lanjut? 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kabar yang memilukan

Hai, kenalin...

ini Gus Naufal Syarif.

Gus muda yang katanya bikin deg-degan satu pesantren . Umurnya baru 21 tahun, tapi udah kelar kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo — keren banget kan? Wajahnya tuh teduh, tapi tatapan matanya tajam. Gimana ya, kayak... adem tapi nyentuh gitu.

Sekarang beliau udah balik ke Indonesia, katanya sih mau nerusin perjuangan kakeknya, Kiai Sepuh Kholid, ulama besar yang dihormati banget karena keilmuannya dan keteguhannya menjaga tradisi pesantren.

Yang bikin aku (dan mungkin semua santriwati di bumi ini ) kagum, bukan cuma karena wajahnya yang Masyaa Allah, tapi juga karena sikapnya.

Gus Naufal itu kalau ngomong lembut, tapi dalem banget maknanya. Nggak pernah tinggi suara, nggak pernah marah, tapi entah kenapa... setiap kata-katanya bisa bikin orang pengen jadi lebih baik.

Ya, itu aja sih yang aku tau—dari cerita teman-teman, tentunya.

Hehe... sekian dulu sebelum aku malah baper sendiri

...----------------...

(lanjut ke cerita)

Begitu sampai di asrama, Syahnaz langsung berlari menuju kamarnya dengan wajah berseri-seri.

“Syah, hati-hati! Nanti jatuh!” teriak salah satu temannya yang melihatnya berlari sambil menenteng paperback berwarna krem itu.

“Iyaa!” balas Syahnaz singkat, lalu menutup pintu kamarnya dan segera duduk di atas kasur.

Tak lama, Lubna muncul di ambang pintu dengan wajah penasaran.

“Apa isinya, Syah?” tanyanya sambil mendekat.

“Belum tahu...,” ucap Syahnaz, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

Perlahan, ia membuka paperback itu. Dan begitu melihat isinya, kedua matanya membulat tak percaya.

“Maa syaa Allaah! Ini beneran?!” serunya refleks.

Lubna yang ikut mengintip sontak berteriak kecil, “Buset! Ini parfum mahal banget, Syah! Jangan-jangan Gus Naufal salah kasih?!”

Syahnaz terkekeh kecil, tapi tetap memandangi kotak parfum yg elegan berwarna rose gold itu.

(kurang lebih begitu parfume nya)

“Enggak mungkin salah, Lub. tulisan untuk santri ada di kertas kecilnya, tuh,” katanya sambil memperlihatkan secarik catatan kecil bertuliskan ‘Untuk santriwati darul falah.

“Waaah... berarti beneran buat kamu!” ucap Lubna takjub.

Belum sempat mereka lanjut bicara, Nayla tiba-tiba muncul dengan gaya jahilnya.

“Wow, elegan banget! Boleh coba semprot, Syahnaz?”

“Ihh, apa’an sih Nay! Enggak ah, sayang. Ini mahal banget,” jawab Syahnaz sambil menjauhkan kotaknya.

“Peliiiit~,” goda Nayla pura-pura manyun.

“Bukan pelit, Nayla. Tapi mubadzir kalau cuma buat iseng,” timpal Lubna dengan gaya seperti ustazah muda.

Syahnaz mengangguk cepat. “Betul kata Lubna!” ucapnya sambil membuka tutup parfum, lalu mengendusnya pelan.

Sekejap, aroma lembut dan mewah menguar di udara.

“Maa syaa Allaah… wangi banget. Jadi gini ya, bau parfum mahal,” ucap Syahnaz terkekeh kecil.

“Manaa coba!” seru Nayla dan Lubna bersamaan.

Syahnaz mengulurkan tangan, dan begitu aroma itu menyentuh hidung mereka, mereka bertiga langsung bereaksi bersamaan,

“Ihhh wanginya!” lalu tertawa bersama hingga suara mereka menggema di kamar sederhana itu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Beberapa bulan berlalu sejak kajian akbar itu. Hidup Syahnaz berjalan seperti biasa; mengajar adik kelas, ikut halaqah, dan membantu di dapur pesantren setiap sore. Segalanya terasa damai dan teratur — sampai pagi itu, setelah shalat Subuh berjamaah, sesuatu yang tak biasa terjadi.

Ketika para santriwati masih sibuk melipat sajadah, Ustadzah Asiyah tiba-tiba mendekatinya.

“Syahnaz, ikut saya ke kantor sebentar, ya,” bisiknya lembut namun terdengar agak berat.

Syahnaz menatap ustadzah itu bingung.

“Naam, Ustadzah,” jawabnya pelan sambil merapikan mukena hitam yang masih ia kenakan. Ia lalu berjalan mengikuti langkah ustadzah menuju kantor — langkah yang terasa semakin berat tanpa tahu kenapa.

Sesampainya di kantor, suasana terasa hening. Hanya ada suara detik jam dinding dan aroma kopi yang sudah dingin.

“Syahnaz... pulang, ya?” ucap ustadzah pelan, menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Syahnaz tertegun. “Hah? Pulang, Ustadzah? Kenapa? Ada apa?!” tanyanya cepat, nada paniknya mulai terdengar.

Ustadzah tersenyum, berusaha tegar. “Nggak apa-apa, Sayang... pulang aja dulu, ya? Cepetan siap-siap. Nanti ustadzah bantu.”

Hati Syahnaz mulai berdebar tak tenang. Ada sesuatu yang tidak beres, tapi wajah lembut ustadzah membuatnya menahan tanya.

“Baik, Ustadzah,” ucapnya akhirnya, walau suaranya bergetar.

Ustadzah menepuk lembut bahunya. “Ayo, ustadzah bantu siapin barang-barangmu.”

Di kamar, suasana sunyi. Lubna dan teman teman nya masih di musholla membaca wiridan subuh. Syahnaz hanya bisa menatap koper kecilnya yang perlahan diisi satu per satu — pakaian, kitab, mukena, semuanya.

“Ibu Syahnaz bilang... bawa semua pakaian sama kitab-kitabnya, ya,” ucap ustadzah hati-hati.

Syahnaz menoleh kaget. “Hah? Syahnaz boyong, Ustadzah?” tanyanya tak percaya.

“Enggak, nggak... Ikutin aja dulu, ya? Nanti juga ngerti,” jawab ustadzah sambil berusaha tersenyum.

Setelah semuanya siap, Syahnaz mengambil ponselnya dari loker dan menatap ustadzah lagi.

“HP Syahnaz udah boleh diambil, kan Ustadzah?” tanyanya ragu.

“Iya, boleh. Tapi... jangan nelpon dulu, ya? Tunggu di rumah aja, biar tenang,” jawab ustadzah lembut.

Syahnaz mengangguk. Hatinya gelisah, tapi ia patuh.

Ustadzah menggandeng tangannya keluar asrama menuju mobil yang sudah menunggu di halaman depan. Udara pagi Surabaya terasa dingin dan sunyi saat mereka melangkah menuju mobil.

“Jaga diri baik-baik, ya, Nak,” ucap ustadzah sambil memeluknya sebelum pintu mobil tertutup.

Syahnaz hanya tersenyum kecil, masih belum tahu bahwa perjalanan pulang kali ini — bukan perjalanan biasa. Tapi perjalanan yang akan mengubah seluruh hidupnya.

Syahnaz duduk di kursi belakang mobil, menatap jalanan Surabaya yang perlahan mulai ramai. Langit masih berwarna kelabu muda, sisa embun menempel di kaca jendela. Sepanjang perjalanan, ia hanya diam—entah kenapa dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menunggu di ujung perjalanan ini.

Setibanya di Bandara Internasional Juanda, sopir pondok membantunya menurunkan koper kecil dan tas kain berisi kitab-kitab.

“Makasih ya, Pak,” ucapnya sopan sambil tersenyum kecil.

“Iya, Nak Syahnaz. Hati-hati di jalan, ya,” jawab sang sopir dengan nada lembut, seolah menahan sesuatu.

Syahnaz mengangguk, lalu melangkah masuk ke bandara. Suara roda koper yang beradu dengan lantai terdengar berirama di antara hiruk-pikuk orang-orang yang lalu-lalang. Ia menuju meja check-in, menyerahkan tiket, lalu duduk di kursi ruang tunggu dengan perasaan campur aduk.

Waktu terasa lambat.

Ia menggenggam ponselnya erat, menatap layar hitam yang berkali-kali memantulkan wajahnya sendiri. Dalam hati, keinginan untuk menelpon Ibu sangat besar. Ia ingin tahu ada apa sebenarnya. Tapi kata-kata ustadzah terus terngiang:

> “Jangan nelpon dulu, ya? Tunggu di rumah saja, biar tenang.”

Ia menghela napas panjang. “Baiklah... sabar, Syahnaz,” gumamnya pelan, lalu memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri sambil berzikir lirih.

Pesawat perlahan mendarat di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya. Dari balik jendela kecil, Syahnaz menatap hamparan tanah kelahirannya—hangat, tapi entah kenapa terasa asing hari itu. Hatinya berdebar tanpa sebab. Sejak subuh tadi, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Ia menarik kopernya pelan-pelan, menatap sekeliling mencari siapa yang menjemputnya. Dan di antara kerumunan orang yang menunggu di luar pagar kedatangan, ia melihat sosok yang tak pernah ia sangka akan datang sendiri menjemputnya—Kakek Toha.

“Kakek?” ucapnya pelan, hampir tak percaya. Biasanya kalau ia pulang, yang menjemput selalu umi sama abi atau bibinya. Kakek Toha jarang sekali ke bandara, apalagi pagi-pagi begini.

Kakeknya tersenyum lembut, tapi sorot matanya sayu. “Ayo, Nak. Koper kamu sini, biar Kakek bantu,” ucapnya.

Syahnaz tertegun sejenak, tapi segera menuruti. “Iya, Kek…”

Sepanjang perjalanan di mobil, suasana hening. Hanya suara mesin dan gemerisik angin yang menemani. Syahnaz beberapa kali mencoba membuka percakapan, tapi setiap kali ia tanya, kakeknya hanya menjawab singkat.

“Keluarga gimana, Kek? Umi sehat?”

“Sehat, Nak…” jawabnya pelan, matanya tetap menatap ke depan.

Ada yang aneh. Sangat aneh. Tapi Syahnaz memilih diam, menunduk, menggenggam tas kecilnya erat.

Dan begitu mobil berbelok memasuki gang rumahnya, napasnya tercekat.

Dari kejauhan ia sudah melihat bendera hijau tertancap di depan rumah, menandakan seseorang telah berpulang ke rahmatullah bendera duka. Orang-orang berkerumun di halaman, beberapa lelaki mengenakan sarung dan peci, sebagian perempuan menunduk sambil menyeka air mata.

Deg.

Langkah Syahnaz langsung gemetar.

“Kakek…” suaranya parau, “itu… siapa yang…”

Namun kakek Toha tidak menjawab. Hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Tanpa pikir panjang, Syahnaz membuka pintu mobil dan berlari ke arah rumah.

“Umi!!!” serunya.

Orang-orang menoleh, sebagian menyingkir memberi jalan. Langkahnya terseret-seret di tanah yang lembab, jantungnya berdentum keras.

Begitu melewati pintu ruang tamu, matanya langsung terpaku pada satu titik.

Sebuah kain putih terbentang di ruang tengah.

Di sekitarnya duduk para tetangga dan kerabat yang membaca Surah Yasin lirih.

Syahnaz menutup mulutnya, air matanya pecah seketika.

“Umi… siapa… siapa itu…” suaranya nyaris tak keluar.

Umi yang duduk di pojok ruangan langsung bangkit, berlari memeluknya erat.

“Anakku… sabar ya, Nak…”

“Umi… jangan bilang gitu…”

Umi mengangguk pelan, suaranya gemetar. “abiii, Syahnaz… abi Hanafi sudah berpulang…”

Syahnaz terjatuh berlutut.

Suara di sekelilingnya memudar, berganti dengan isak tangis yang tak tertahan.

Dunia terasa runtuh di hadapannya. Lelaki yang dulu menuntunnya mengaji, yang membelikan gelang kayu kaoka hitam itu, kini terbujur kaku dalam balutan kain kafan.

“Abiii!!!”

Suara Syahnaz pecah menembus ruangan. ia berlutut di sisi jasad ayahnya, menatap wajah yang kini terbungkus kain putih.

“Abiii… ini Abi cuma tidur kan? Lagi ngeprank Syahnaz aja kan, Bii?” serunya sambil menggoyangkan tubuh ayahnya pelan.

Tangannya bergetar, suaranya parau, matanya basah.

Semua orang di ruangan terdiam — hanya isakan Syahnaz yang terdengar.

“Udah, Syahnaz… jangan digituin, Nak. Kasihan Abi-nya…” ucap Tante Nur, menahan tangis sambil memeluk bahu Syahnaz dari belakang.

Tapi Syahnaz justru menggeleng kuat.

“Nggak, Tan… Abi tuh suka bercanda! Abi pasti bangun bentar lagi, kan, Tan?!”

Suara gadis itu pecah di ujung kalimatnya.

Tante Nur menunduk, air matanya jatuh. “Nggak, Nak… nggak, Syahnaz… Abi kamu udah tenang sekarang…”

Syahnaz terisak makin keras. Ia menunduk, mencengkeram ujung kain kafan itu dengan erat.

“Abi… Syahnaz belum sempat pamit, Bii… Syahnaz belum sempat bilang terima kasih…”

Ikrimah, ibunya, yang sejak tadi berusaha kuat, akhirnya mendekat lagi ke sisi syahnaz.

Ia duduk di samping putrinya, menghapus air matanya yang terus jatuh, lalu memeluk Syahnaz erat-erat.

“Cukup, Nak… Jangan begini,” suaranya lirih tapi tegas. “Abi kamu udah tenang, Sayang. Ikhlasin, ya… biar Abi bisa tenang di sana.”

Syahnaz menangis dalam pelukan ibunya.

“Umi… Syahnaz nggak kuat…” bisiknya.

“Umi juga nggak kuat, Nak… Tapi kita harus belajar ikhlas. Doain Abi, itu cara terbaik buat buktiin cinta kita.”

Suara isak pelan terdengar di sekeliling.

Beberapa sanak keluarga menunduk, membaca doa.

Dan di tengah tangis itu, Syahnaz menggenggam tangan Uminya erat-erat — berusaha belajar ikhlas, meski hatinya remuk perlahan.

 

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Goresan_Pena421
Kerenn, novel yang lain sudah duluan menyala, tetaplah berkarya Thor. untuk desain visual bisa juga pakai bantuan AI kalau-kalau kaka Authornya mau desain sendiri. semangat selalu salam berkarya. desain covernya sangat menarik.
Goresan_Pena421: sama-sama kka.
total 2 replies
Goresan_Pena421
☺️ kak kalau mau desain Visualnya juga bisa kak, buat pakai aplikasi Bing jadi nanti Kaka kasih pomprt atau kata perintah yang mau Kaka hasilkan untuk visualnya, atau pakai Ai seperti gpt, Gemini, Cici, atau meta ai wa juga bisa, kalau Kaka mau mencoba desain Visualnya. ini cuma berbagi Saja kak bukan menggurui. semangat menulis kak. 💪
Goresan_Pena421: ☺️ sukses selalu karyanya KA
total 2 replies
Goresan_Pena421
☺️ Bravo Thor, semangat menulisnya.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.

Salam literasi.
Goresan_Pena421
wah keren si udh bisa wisuda di umur semuda itu....
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!