Sinopsis
Arumi Nadine, seorang wanita cerdas dan lembut, menjalani rumah tangga yang dia yakini bahagia bersama Hans, pria yang selama ini ia percayai sepenuh hati. Namun segalanya runtuh ketika Arumi memergoki suaminya berselingkuh.
Namun setelah perceraiannya dengan Hans, takdir justru mempertemukannya dengan seorang pria asing dalam situasi yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 19
“Apa? Menikah?” suara Lisa terdengar kaget saat ia melangkah masuk ke ruang tamu.
Arumi dan Hilda serempak menoleh, mata mereka langsung tertuju pada sosok wanita paruh baya itu.
“Kamu dan Hansel menikah?” tanya Lisa sambil melangkah cepat ke arah Nayla, wajahnya penuh penasaran.
Nayla tersenyum manis, mengangguk pelan. “Iya, Tante. Aku dan Hansel sudah menikah.”
Lisa terdiam sejenak. Namun alih-alih marah, wajahnya justru berubah menjadi sumringah. Matanya berbinar, senyum lebar menghiasi bibirnya.
“Benarkah? Astaga, akhirnya Hansel memilih perempuan yang tepat!” ujarnya penuh semangat, lalu memeluk Nayla seolah sudah menjadi menantunya sejak lama.
Dada Arumi terasa sesak. Keremukan yang selama ini ia simpan makin menghancurkan batinnya. Ia tahu, Lisa memang tak pernah benar-benar menerimanya selama tiga tahun ia menjadi istri Hansel. Tapi, bukankah, sesama perempuan, harusnya mertuanya itu memiliki rasa simpatik padanya walaupun hanya sedikit saja.
Arumi menarik napas dalam, berusaha tetap tegar. Tapi tangannya mengepal. Ia tahu tak ada gunanya lagi berharap dihargai, apalagi dipertahankan. Hari ini adalah bukti paling nyata, ia benar-benar digantikan. Bukan hanya oleh Hansel, tapi juga oleh keluarga yang selama ini enggan menerimanya.
“Dari dulu aku sudah bilang,” suara Lisa terdengar lagi, kini penuh semangat. “Hansel itu butuh wanita yang bisa mengimbangi dia. Pintar, elegan, tahu cara membawa diri.”
Nayla hanya tersenyum, matanya melirik sekilas ke arah Arumi. Senyum yang bagi Arumi terasa seperti tusukan kecil, halus tapi menusuk dalam.
Hilda yang sedari tadi hanya mematung, akhirnya angkat suara. Suaranya pelan tapi tegas, menyimpan ketidaksetujuan yang disamarkan.
“Maaf, Tante. Tapi Arumi juga wanita yang luar biasa. Tiga tahun dia dampingi Hansel tanpa banyak menuntut. Dia bukan tidak pintar atau tidak tahu cara membawa diri, dia hanya terlalu sabar.”
Lisa menoleh sekilas, ekspresinya berubah datar. “Sabar saja tidak cukup. Kadang perempuan juga harus tahu kapan harus mundur kalau memang tak cocok.”
“Lagian,” ujar Lisa sambil melipat tangan di dada, tatapannya menusuk, “mana ada laki-laki yang betah bertahan dengan perempuan mandul.”
Perkataan itu, seperti palu godam yang menghantam dada Arumi.
Perempuan mandul...
Dua kata yang selama ini hanya bergema dalam kepalanya sendiri.tak pernah ia dengar langsung dari mulut siapa pun, bahkan dari Hansel.
Wajah Arumi memucat. Kepalanya menunduk sedikit, tapi bukan karena lemah. Ia berusaha keras menahan air mata yang menggenang, menahan agar dirinya tidak pecah di hadapan orang-orang yang dengan mudahnya merendahkannya.
Lisa melangkah pelan ke arah Nayla, berdiri di sampingnya, lalu merangkul lengan perempuan itu dengan bangga.
“Lihat Nayla. Perempuan sepertinya, bukan cuma cantik dan cerdas, tapi juga subur. Keluarga kami butuh penerus, bukan sekadar tempelan istri yang cuma numpang nama.”
Nayla tersenyum, matanya menatap Arumi seolah berkata, “Kamu kalah.”
Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, tapi sorot matanya jelas menunjukkan kepuasan. Seolah dirinya sudah menang sejak awal, dan hari ini hanya pengesahan atas kemenangannya.
“Maaf, Tante,” Hilda angkat suara lagi, kali ini nada suaranya naik satu oktaf. Ia sudah tidak tahan. “Tapi bukan hak Tante bicara seperti itu. Kehamilan itu bukan perlombaan. Dan menikah bukan soal siapa yang paling cepat punya anak!”
Lisa mendengus, menatap Hilda dengan jijik. “Kamu terlalu banyak bicara, Hilda. Ini urusan keluarga kami. Jangan ikut campur.”
“Tapi Arumi juga masih bagian dari keluarga ini, kan?” Hilda balik menatap tajam. “Atau sejak awal memang tidak pernah dianggap?”
Lisa tak menjawab. Tapi senyumnya yang meremehkan sudah cukup untuk menjawab semuanya.
Tubuh Arumi gemetar, tapi ia menegakkan punggungnya. Ia menatap Lisa, lalu Nayla.
Tatapannya tidak marah, tidak membalas dengan umpatan, tapi sarat luka yang mendalam, luka yang tak lagi butuh pengakuan.
“Terima kasih,” ucap Arumi dengan suara pelan tapi jelas. “Terima kasih sudah menunjukkan siapa saya sebenarnya di mata keluarga ini.”
Ia mengalihkan pandangan ke Nayla, menatapnya lurus. “Dan selamat, Nayla. Kamu menang. Ambil saja Hansel dan ibunya.”
Nayla hanya tersenyum kecil, angkuh, tak berkata apa-apa.
“Karena aku memang tidak pernah bisa jadi menantu yang Mama inginkan,” ucap Arumi lirih, tapi penuh ketegasan. Tatapannya lurus, wajahnya tanpa ekspresi. “Aku akan bercerai dengan Hansel. Biar Mama puas. Biar kalian semua bahagia.”
Tak ada lagi air mata. Hanya kelelahan yang mengendap di setiap kata-katanya, kelelahan yang lahir dari bertahun-tahun mencoba bertahan, dan hari ini, ia memutuskan berhenti.
Lisa menyeringai kecil, lalu menanggapi dengan nada dingin yang terdengar lega, seolah sudah menunggu keputusan itu sejak lama.
“Baguslah kalau begitu. Akhirnya kamu sadar juga.” Ia melipat tangan di dada, lalu melanjutkan dengan suara sinis, “Tapi ingat, apartemen ini milik Hansel. Dia yang beli, pakai uangnya sendiri. Jadi kalau kamu memang mau bercerai, silakan keluar dari sini.”
Tatapannya merendahkan, seperti sedang mengusir orang asing yang tak lagi layak berada di wilayah kekuasaan mereka.
Arumi menatap Lisa tajam, lalu mengangguk pelan. Suaranya tenang, tapi penuh wibawa.
“Baik. Aku akan pergi dari apartemen ini, seperti yang Mama inginkan,” katanya, lalu menatap sekilas ke arah Nayla. “Tapi jangan lupa, sampai detik ini aku masih istri sah Hansel. Jadi silakan Mama dan perempuan itu yang angkat kaki dulu dari sini.”
Nada suaranya dingin, tegas, tanpa gemetar sedikit pun. Bukan lagi suara seorang perempuan yang tersakiti, tapi suara seseorang yang sudah terlalu lama diam, dan akhirnya memilih untuk berdiri tegak.
Lisa mendengus sinis, lalu meraih tangan Nayla.
“Ayo, Nay. Kita pergi. Mama juga malas berlama-lama di tempat ini... berdiri di depan perempuan mandul nggak ada gunanya,” ucapnya tajam, seperti tak puas sebelum melukai harga diri Arumi sekali lagi.
Nayla hanya menunduk sedikit, menyembunyikan senyum puas di sudut bibirnya. Ia menurut, membiarkan Lisa menggandengnya pergi dengan kepala tegak, seolah mereka baru saja memenangkan sebuah pertarungan.
Hilda mengepalkan tangannya, matanya menatap tajam ke arah punggung dua perempuan itu.
“Huh! Dasar mertua gendeng! pelakor sialan!” teriak Hilda penuh amarah.
Arumi menghela napas panjang, lalu menatap Hilda dengan sorot mata yang mulai jernih meski masih menyisakan luka.
“Udah, Hil…” katanya pelan namun tegas. “Nggak usah buang tenaga dan suara buat orang seperti mereka. Nggak layak.”
Ia mencoba tersenyum tipis, meski pahit masih terasa di sudut bibirnya.
“Kamu bantu aku, ya. Kita kemas barang-barangku. Malam ini aku nginap di apartemen kamu, Besok pagi, aku mau ke pengadilan.”
Hilda memandang Arumi sejenak, terkejut, sekaligus kagum. Ini bukan lagi Arumi yang diam dan menunggu dipahami. Ini Arumi yang akhirnya memilih berdiri di atas harga dirinya sendiri.
Tanpa berkata apa-apa, Hilda mengangguk mantap. "Aku temani kamu sampai akhir."
******
Support author dengan like, komen dan subscribe cerita ini ya, biar author semangat up-nya. Terima kasih.....
smangat terus thor 💪💪💪
gpp lah lepas dari hansel
ketemu kai... Arumi menang banyakkkkk 😍😍😍😍