Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 #Awal Mula
Hanya pernikahan ini yang bisa menyelamatkan perusahaan itu. Berkorbanlah sedikit saja. Aku sudah membesarkan dan menyekolahkanmu. Ini saatnya kau membalas budi kepada aku. Tuan muda Nadeo sudah berjanji akan menyelamatkan perusahaan ini asal kamu menikah dengannya.
Tubuh Aliza bergetar.Cobaan apa lagi yang harus aku tanggung? Ia menunduk, air matanya jatuh tanpa suara. Rasa marah membuncah di dadanya, tapi ia hanya mampu memendam. Melawan? Ia tidak punya keberanian.
Kenapa harus aku? teriaknya dalam hati.
Balas budi? Bukankah semua ini warisan orang tuaku. Bukankah aku berhak tinggal di rumah ini? Bukankah kewajiban orang tua adalahmemberi nafkah dan tempat tinggal yang layak? Namun kenyataannya, ia harus bekerja paruh waktu demi sekedar bertahan hidup.
" Air matamu tidak akan menyelamatkan perusahaan yang sudah ada di ambang kehancuran," suara Margareta memotong pikirannya, dingin seperti bilah pisau. "Jangan pernah berfikir untuk menolak...apalagi kabur. Kalau kamu nekat, Rafael yang akan menanggung akibatanya. Aku tahu kamu sangat menyayangi Rafael. Tapi ingat, dia anak kandungku. Dan aku tidak akan segan- segan menyingkirkannya dari dunia ini jika kamu berani melawan."
Aliza terdiam. Nafasnya terlalu berat. Ia tahu Margareta bukan tipe orang yang berbicara tanpa maksud. Demi Rafael satu- satunya yang menganggapnya keluarga. Aliza harus bertahan di rumah yang baginya sudah seperti neraka.
" Satu lagi," suara Margareta terdengar tajam, menusuk telinga. " Bukan hanya Rafael yang akan menanggung akibatnya, tetapi kekasih hatimu, Bryliant Aldama, juga akan ikut hancur....jika kamu berani menolak"
Kata-kata itu menghantam Aliza seperti cambuk. Nafasnya tercekat, namun matanya tetap menatap lantai. Tak ada gunanya melawan. Margareta selalu menang.
" Pernikahan akan berlangsung seminggu dari sekarang. "
Tidak ada ruang untuk diskusi, tidak ada kesempatan untuk meminta waktu. Aliza bahkan tidak sanggup mengangguk atau menggeleng. Ia tahu, apa pun gerakannya tak akan mengubah keputusan mutlak itu.
Bahkan ucapan terima kasih pun tak keluar dari mulut ibu tirinya. Seolah menyerahkan hidup anak tirinya pada pria asing hanyalah hal sepele.
Aliza beranjak pergi ke kamarnya, langkahnya berat seperti menyeret beban yang tak kasat mata. Begitu pintu tertutup, ia berdiri di depan jendela, menatap keluar. Pandangannya kosong, menembus hujan tipis yang membasahi kaca.
Dimatanya, dunia tampak buram— bukan karena cuaca, tetapi karena keinginannya untuk terus hidup mulai memudar. Seakan tak ada lagi alasan untuk melangkah ke hari esok.
" Permisi nona.... sekretaris Tuan Muda Nadeo datang menjemput Anda"
Suara itu terdengar ragu, namun cukup jelas menusuk ke dalam lambang Aliza.
Di ambang pintu, berdirilah bibi pengurus rumah yang baru beberapa hari lalu dipekerjakan oleh ibu tirinya. Entah sejak kapan wanita itu berdiri di sana— tak terdengar langkah kakinya, seolah ia muncul begitu saja.
Aliza menoleh perlahan. Hatinya terasa seperti diremas. Inilah awal dari babak baru yang tidak pernah ia minta, tidak pernah ia inginkan... namun tak mungkin ia hindari.
Dan hari ini,, Aliza mengerti.... kebebasannya telah habis masa berlakunya.
" Kenapa?" tanya Aliza lirih tanpa memalingkan wajah dari jendela.
" Saya tidak tahu, Nona. Tapi silahkan turun. Nyonya Margareta sudah menunggu anda di bawah," jawab sang bibi, suaranya pelan namun terbesar.
Aliza menarik nafas panjang, mencoba merendam gejolak di dadanya. " Katakan padanya... beri aku waktu lima menit. Aku ingin bersiap."
Bibi itu mengangguk cepat, lalu menutup pintu perlahan.
Tinggallah Aliza sendirian, berdiri di tengah kamar yang tiba-tiba terasa asing, seolah dindingnya ikut mengjakimi dan mengingatkan, bahwa lima menit ini mungkin jeda terakhir sebelum hidupnya berubah selamanya.
Aliza berdiri terpaku beberapa detik setelah pintu tertutup. Lima menit.... waktu yang terlalu singkat untuk bersiap, tapi juga terlalu lama untuk hanya berdiri mematung.
" Tarik napas..... lepas....tarik napas.... lepas"
Ia mencoba menenangkan diri, tapi suara detak jarum jam di dinding justru terasa seperti hitungan mundur menuju akhir kebebasannya.
Ketika akhirnya ia menenteng tas kecil dan berdiri di depan pintu kamar, lututnya lemas. Namun ia tahu, ia tidak bisa lari. Ia hanya bisa melangkah.... perlahan, menuju babak baru yang entah berujung pada keselamatan atau kehancuran.