NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:692
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Act 8 - The might of Heartstone

Ledakan di langit tadi masih meninggalkan aroma mesiu yang tajam, bercampur dengan bau asin laut dan darah biru yang menetes di pasir.

Dari Dua puluh lima Silver Sentinel, hanya tiga belas yang masih berdiri - armor mereka basah, berkarat oleh darah dan keringat, mata mereka kosong menatap ke depan.

Di kejauhan, barisan Thal'kren berdiri tegak, membentuk formasi yang terlalu rapi untuk disebut sekadar gerombolan monster. Mereka tidak lagi mengaum, hanya menatap kami dengan senyum menghina - seolah tahu bahwa kemenangan sudah mereka genggam.

Lalu suara dari atas tembok memecah hening.

"Pasukan dari Heartstone telah tiba!"

Suara gemuruh kuda segera terdengar, dan dari gerbang utama muncullah pasukan berkuda berarmor hitam. Sigil Heartstone berkilau di jubah mereka - lambang harapan yang baru bagi mereka yang hampir tumbang.

Di depan barisan, seorang knight berzirah keemasan menuntun kuda hitamnya dengan wibawa yang tak bisa disangkal.

"Akhirnya..." ucapku pelan, nyaris seperti doa.

Pasukan itu membentuk barisan di hadapan kami. Dari atas kudanya, sang komandan turun dan menghampiriku.

"Jadi, seperti ini keadaan di Iron Coast..." suaranya tenang tapi tajam.

Ia menanggalkan helmnya - wajah muda tapi keras, matanya berkilat seperti baja.

"Sir Torren Droswain," sapanya sambil menjulurkan tangan.

"Sir Darius Morwyne," balasku sambil menjabat.

"Senang kau datang."

"Aku hanya mengikuti perintah raja," jawabnya datar, tapi nada suaranya mengandung tekad.

Aku memberi perintah cepat kepada sisa pasukanku.

"Silver Sentinel, baris di belakang Heartstone! Siapkan diri kalian!"

Sir Darius menaiki kudanya kembali.

Ia mengangkat tombaknya tinggi-tinggi hingga ujungnya berkilat oleh cahaya bulan.

"Knights of Heartstone!" suaranya menggema hingga ke laut.

"Hari ini kita tidak sekadar bertarung - kita rebut kembali tanah manusia dari tangan laut! Kirim mereka kembali ke kedalaman tempat asal mereka!"

Jeritan semangat membelah malam.

Kuda-kuda berlari, derapnya seperti guntur menyapu pasir. Tombak-tombak menunduk, dan barisan kami mengikuti di belakang.

Benturan pun tak terhindarkan.

"Duar!"

Suara besi menghantam besi, perisai hancur, dan daging robek bersamaan dengan jeritan manusia dan monster.

Pasukan berkuda Heartstone menembus formasi Thal'kren, merobek barisan mereka. Aku bersama Silver Sentinel segera menyusul, menebas setiap celah yang tersisa.

Di tengah kekacauan itu, aku melihatnya - pemimpin Thal'kren.

Tubuhnya dua kali lebih besar dari manusia biasa, mata birunya menyala seperti bara laut dalam. Ia menatapku, dan tanpa kata berlari maju dengan tombak di tangan.

Aku mengangkat perisai, tapi...

Srak!

Tombaknya menembus logam sekeras apapun, nyaris mengenai wajahku. Aku menendangnya, tapi ia hanya mundur satu langkah dan langsung membalas.

Gerakannya cepat - terlalu cepat untuk makhluk seberat itu.

Benturan demi benturan membuat lenganku mati rasa.

Aku memutar pedang, menangkis, menunduk - setiap gesekan meninggalkan percikan api di udara.

Lalu aku melihatnya.

Celah kecil di leher belakangnya - tempat kulit biru gelap tampak di antara celah armor.

"Itu dia..." gumamku.

Ia menyerang lagi.

Kali ini aku tidak bertahan. Aku bergerak di antara tebasannya, menunggu momen.

Sekali, dua kali, tiga kali - ia kehilangan ritme.

Aku membalas dengan serangan keras, menggores armornya, lalu menukik ke belakangnya dan menebas tepat di celah leher itu.

Srek!

Darah biru memancar seperti api cair, menodai wajah dan armorku.

Monster itu terhuyung. Ia mencoba berjalan ke arahku - langkahnya berat, pandangannya mulai kabur.

Lalu ia roboh ke tanah dengan suara berat, menggetarkan pasir di sekitarnya.

Beberapa detik hening... lalu pasukan Thal'kren berteriak panik.

Formasi mereka pecah.

Mereka berhamburan kembali ke laut, meninggalkan tubuh pemimpin mereka yang kini diam di pasir.

Para knight Heartstone mengejar sebisanya, menebas mereka di punggung hingga gelombang merah-biru tercipta di tepi pantai.

Ketika semuanya selesai, aku berlutut.

Pedangku tertancap di pasir, menjadi penopang terakhir tubuh yang hampir roboh.

Pandangan mulai kabur, suara laut terdengar seperti bisikan.

Darah - manusia dan Thal'kren - bercampur menjadi satu di armorku.

Erick masih berdiri, pedangnya berlumur darah, wajahnya pucat tapi matanya menyala.

Ia membantu menarik satu demi satu rekan kami yang masih hidup.

Dari arah tembok, pasukan medis datang membawa tandu dan kereta.

Satu per satu kami diangkat, tubuh-tubuh lelah dan luka dibawa kembali melewati gerbang yang kini terbuka lebar.

Malam ini, Silver Sentinel tidak lagi utuh.

Tembok masih berdiri, tapi pasukannya telah tumbang.

Kami menang - tapi kemenangan ini terasa pahit.

Aku menatap ke laut yang perlahan kembali tenang. Ombaknya berbisik, seolah mengingatkan:

Mereka akan kembali.

Dan ketika hari itu tiba... manusia harus bersatu, atau tenggelam bersama sejarahnya sendiri.

---

Matahari akhirnya terbit. Cahayanya membelah langit yang masih diselimuti awan hitam, menyingkap sisa-sisa malam yang penuh darah.

Kabut tebal yang menutupi pantai perlahan tersapu angin laut, meninggalkan udara asin bercampur bau besi dan daging terbakar.

Jejeran tubuh para knight yang tak lagi bernyawa terbentang di sepanjang pesisir.

Mereka yang masih bisa berdiri menundukkan kepala, memberi penghormatan terakhir untuk saudara-saudara mereka yang gugur.

Sementara sisanya, yang terkapar di tenda medis, menahan erangan sakit dari luka yang belum sempat dirawat.

Satu demi satu lubang digali. Tanah basah pantai kini menjadi tempat peristirahatan bagi para pahlawan yang pernah bersumpah melindungi umat manusia.

Cahaya pagi yang seharusnya membawa hangat terasa dingin menusuk, seperti ejekan dari langit atas penderitaan kami.

Aku berdiri di depan barisan tubuh yang terbujur kaku, menatap wajah-wajah yang tak akan pernah bangun lagi.

Beberapa dari mereka semalam masih sempat tertawa, masih memegang harapan kecil bahwa kita bisa menang.

Sekarang, yang tersisa hanya keheningan.

Kami semua menunduk. Satu per satu tubuh itu diletakkan ke dalam lubang, tanah ditumpahkan perlahan hingga hanya nama dan kenangan yang tersisa.

Langkah berat menghampiri dari belakang. Sir Darius datang, wajahnya teduh tapi mata hijaunya memantulkan rasa bersalah.

Cahaya matahari memantul di armornya yang keemasan, seperti sisa sinar terakhir yang menolak padam.

> "Aku sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya pelan, berdiri di sampingku.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menelan amarah dan kesedihan yang bercampur di dadaku.

> "Tanpa kau dan pasukanmu, tak satu pun dari kami akan berdiri di sini," jawabku tenang, meski suaraku terdengar berat.

> "Aku akan memerintahkan beberapa orang kembali ke Heartstone untuk meminta bantuan penuh," katanya lagi.

"Jika mereka datang lagi... sisa pasukan di sini tak akan mampu menahan mereka."

Aku menatap pantai yang kini dipenuhi salib sederhana dari tombak patah.

> "Aku juga telah mengirim surat ke beberapa house di Tharion, memohon bala bantuan," lanjut Darius.

Aku tak menjawab. Di satu sisi, aku tahu itu keputusan benar. Tapi di sisi lain... aku tak bisa menyingkirkan rasa bersalah.

Setiap tubuh di pantai ini adalah tanggung jawabku.

Dan jika aku meminta lebih banyak bantuan, berapa banyak lagi yang akan mati demi kesalahanku?

> "Terima kasih atas bantuanmu," ucapku akhirnya, menepuk pundaknya dengan lemah. "Tanpa kalian, garis ini sudah runtuh."

Darius mengangguk.

> "Aku akan kembali ke Heartstone bersama beberapa pasukanku. Sisanya akan tetap di sini, di bawah komandomu.

Bantuan lain seharusnya tiba beberapa hari ke depan."

Aku hanya menjawab dengan anggukan. Dia menatapku sejenak, lalu berbalik menuju kudanya.

Suara langkah besi dan derap kuda perlahan menjauh, meninggalkan pantai yang kini tenggelam dalam sunyi.

Aku berjalan menuju tendaku. Ruangan itu gelap tanpa cahaya, hanya satu celah kecil dari pintu yang membiarkan sinar masuk.

Aku menyalakan beberapa lilin, lalu duduk di depan meja kayu yang dipenuhi peta dan laporan pasukan yang sudah tak relevan lagi.

Tanganku gemetar saat meraih pena.

> "Lord Kaelen Droswain,

Ayah,

Pertahanan di Greywind Beach semakin hari semakin melemah. Aku tidak yakin bisa memimpin mereka menuju kemenangan.

Aku hanya ingin kau tahu... meski kita jarang berbicara, aku selalu menghormatimu - bukan hanya sebagai kepala House Droswain, tapi sebagai ayahku.

Sampaikan juga pada ibu, aku sangat merindukannya.

Tertanda,

Sir Torren Droswain."

Aku berhenti menulis. Tinta di ujung pena menetes di atas kertas, membentuk noda hitam yang perlahan mengering.

Entah kenapa, rasanya seperti menulis surat perpisahan.

Aku menatap lilin di hadapanku - nyalanya bergetar tertiup angin, sama seperti harapan kami yang semakin rapuh.

Aku tak tahu apakah serangan berikutnya akan menjadi yang terakhir untukku,

atau untuk seluruh Iron Coast.

Yang pasti, ketika mereka datang lagi, akan ada lebih banyak darah yang tumpah di pasir pantai ini.

Dan mungkin, hanya nama kami yang akan tersisa di ingatan dunia.

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!