Sabrina rela meninggalkan status dan kekayaannya demi menikah dengan Zidan. Dia ikut suaminya tinggal di desa setelah keduanya berhenti bekerja di kantor perusahaan milik keluarga Sabrina.
Sabrina mengira hidup di desa akan menyenangkan, ternyata mertuanya sangat benci wanita yang berasal dari kota karena dahulu suaminya selingkuh dengan wanita kota. Belum lagi punya tetangga yang julid dan suka pamer, membuat Sabrina sering berseteru dengan mereka.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Astaghfirullah, Mah. Aku dan Sabriba tidak pernah melakukan hal terlarang," ucap Zidan yang sempat tersentak mendengar perkataan ibunya.
"Mamah, aku tidak hamil. Aku masih perawan ting-ting! Dijamin 100%," kata Sabrina di waktu bersamaan.
"Lalu, kenapa kamu menikahi wanita seperti ini? Apa tidak ada yang lebih baik darinya lagi?" tanya Bu Maryam merasa tidak rela kalau putranya menikah dengan perempuan berotak kosong.
Zidan menghela napas ketika melihat mimik muka Sabrina yang terlihat bersedih. Dia pun menggenggam tangan sang istri dengan lembut dan membuat perempuan itu tersenyum.
"Karena aku yakin Sabrina adalah wanita yang tepat untuk dijadikan pasangan hidup. Dia wanita yang memiliki hati yang baik dan tulus, Mah. Aku juga yakin dia akan menjadi menantu yang sayang sama Mamah," jawab Zidan dengan lembut, tetapi sarat akan keyakinan. "Hanya saja, kita memerlukan kesabaran dalam membimbing Sabrina."
Ada perasaan haru dan bangga yang dirasakan oleh Sabrina ketika Zidan berbicara tentang dirinya. Dia tidak pernah marah kepada orang yang mengatai bo-doh atau tol-ol. Karena perempuan itu menyadari kekurangannya.
"Mohon bimbingannya, Mamah, agar aku bisa menjadi istri yang hebat dan menantu yang baik," ujar Sabrina yang tersenyum manis.
Walau di dalam hati Bu Maryam tidak suka kepada Sabrina, dia tidak lagi berkata apa-apa. Dia tahu Zidan itu seperti apa. Putranya tidak akan bertindak serampangan atau berbuat sesuatu dengan main-main, apalagi menyangkut kehidupannya.
***
"Neng, ayo sholat!" ajak Zidan.
"Oke!" Sabrina sangat antusias.
"Kita wudhu dulu, ya! Nanti aku ajarkan, Neng perhatikan dengan baik dan ingat bagian mana saja yang harus dibasuh," jelas Zidan dan sang istri mengangguk.
Dengan perlahan Zidan mempraktekkan wudhu dan Sabrina melihat dengan penuh konsentrasi. Wanita itu kemudian melakukan apa yang diintruksikan oleh suaminya. Dia juga diajarkan membaca doanya.
Zidan menjadi imam dan Sabrina mengikuti gerakannya. Sang suami mengajari ilmu agama secara perlahan-lahan dan menyesuaikan kemampuan istrinya.
"Sekarang kita belajar bacaan salat," kata Zidan setelah mereka salat.
Kedekatan Zidan dan Sabrina baru sekitar tiga bulan. Hal itu juga karena tidak disengaja. Sang wanita langsung jatuh cinta pada pandangan pertama ketika di rumah sakit. Dia selalu agresif mendekati pujaan hatinya.
Zidan yang takut tidak bisa menahan diri, mencoba menjauh. Karena di sadar diri siapa dirinya dan siapa Sabrina. Namun, keteguhan dan perjuangan wanita itu membuat hatinya luluh. Laki-laki itu pun menawarkan pernikahan karena tidak ingin jatuh ke dalam lubang dosa.
Dengan perasaan senang, Sabrina menerima pinangan Zidan. Dia sudah bucin akut kepada laki-laki baik hati yang sudah menolong dari kematian. Tidak perduli dengan penolakan keluarganya, bahkan sampai dicoret dari daftar ahli waris keluarga Wijaya. Dunianya sudah dipenuhi oleh Zidan.
Bu Maryam yang hendak menyuruh anak dan menantunya makan, dibuat terdiam ketika mendengar Zidan sedang mengajarkan surat Al-fatihah kepada Sabrina. Walau terbata-bata perempuan itu terus mengulang apa yang diajarkan oleh sang suami.
"Alhamdulillah, akhirnya sudah bisa membaca surat Al-fatihah," kata Zidan senang setelah dua jam mengajari ayat per ayat.
"Mana hadiahnya? Kan, aku berhasil bisa!" Kebiasaan Sabrina sering mendapatkan hadiah dari kedua orang tuanya atau kedua saudaranya jika berhasil meraih atau bisa melakukan sesuatu.
Zidan terdiam dan berpikir sebentar. Lalu, dia berkata, "Ini hadiah yang bisa aku berikan kepadamu." Lalu, dia mencium kening Sabrina cukup lama.
Jantung Sabrina berdebar kencang ketika merasakan kelembutan dan kehangatan bibir Zidan di keningnya. Ini kedua kalinya dia mendapatkan ciuman dari sang suami.
"Lagi!" pinta Sabrina ketika Zidan menjauhkan kepalanya.
"Nanti lagi. Sekarang kita makan, lalu sholat Ashar," balas Zidan karena sekitar 15 menit lagi memasuki waktu salat.
Zidan dan Sabrina jalan bergandengan tangan menuju dapur. Tidak ada siapa-siapa di sana. Namun, makanan sudah tersaji di meja.
"Mamah ke mana?" gumam Zidan mencari sosok ibunya.
Rupanya Bu Maryam sedang memberi pakan ayam di belakang. Suaranya terdengar sayup-sayup.
"Mah, ayo, kita makan!" ajak Zidan yang mencari keberadaannya.
"Mamah sudah makan tadi. Lama nungguin kamu," balas Bu Maryam.
Akhirnya Zidan dan Sabrina makan berdua. Perempuan itu belajar mengambilkan makanan untuk sang suami, tidak lupa dengan air minum.
Menu makanan sederhana itu terasa nikmat di lidah Sabrina. Dahulu, makanan yang dibuat koki di rumah sangat banyak dan beragam. Namun, dia langsung dibuat jatuh cinta sama masakan ibu mertuanya.
Selama makan Sabrina banyak bertanya tentang makanan yang sedang mereka makan. Bagaimana cara membuatnya dan bahan apa saja yang digunakan.
Dengan sabar Zidan memberi tahu dan menjelaskan. Walau banyak yang masih tidak dipahami atau tidak diketahui oleh Sabrina. Karena wanita itu tidak pernah memasak, jadi tidak tahu jenis bumbu dapur.
***
"Kang, apa aku boleh lepas jilbab-nya?" tanya Sabrina.
"Jika di rumah dan tidak ada orang lain, boleh tidak memakai jilbab. Kalau ada tamu, harus pakai jilbab-nya lagi," jawab Zidan setelah Sabrina mandi di sore hari dan kepalanya basah habis berkeramas.
"Oh, gitu, ya!" Sabrina mengangguk paham.
Zidan mengajak Sabrina untuk memasak di dapur. Dia mengenalkan jenis-jenis bumbu dapur. Seperti biasa laki-laki itu begitu sabar menjelaskan satu persatu. Lalu, melakukan perbandingannya jika sang istri tidak juga paham. Sabrina tidak bisa membedakan mana, jahe, kunyit, laja, dan lengkuas. Mana uyah dan mana gula pasir, juga micin.
"Hah, kamu ini benar-benar bodoh! Apa ibumu tidak pernah mengajarkan sesuatu kepadamu? Kok, hal begini saja tidak tahu," celetuk Bu Maryam ketika Sabrina melihat Sabrina sedang belajar bumbu-bumbu yang berjajar memenuhi meja.
"Mamiku tidak pernah mengari aku memasak, Mah," balas Sabrina dengan tatapan mimik wajah sendu.
Zidan pun menjelaskan kepada ibunya kalau keluarga Sabrina menggunakan jasa koki dan pelayan dalam mengurus bebutuhan makanan dan kebersihan serta kerapihan rumah.
"Jadi, dia beneran menak?" Bu Maryam semakin tidak suka karena di matanya Sabrina itu wanita bodoh dan manja.
"Iya, Mah. Masakan Mamah sungguh enak," kata Sabrina memuji sambil mengacungkan jempol.
"Bukan enak, Neng, tapi menak," kata Zidan. "Menak itu bangsawan."
"Walau menak, jika sudah menjadi istri, tetap harus bisa melakukan banyak hal. Misal mengurus suami dan rumah. Apalagi jika sudah punya anak harus pintar-pintar dalam melakukan segala sesuatu. Masa nanti akan mengandalkan suami dan mertua," lanjut wanita paruh baya itu lagi.
"Baik, Mah. Mohon bimbingannya, Mah, agar aku bisa melakukan semua tugas sebagai seorang istri," balas Sabrina.
Inilah salah satu yang membuat hati Zidan luluh. Sabrina orangnya mau belajar dan pantang menyerah. Baginya tidak ada yang mustahil tidak bisa dilakukan, selagi mau terus belajar dan berusaha.
Malam itu Zidan mengajari Sabrina masak telur dadar. Mulai dari cara menyalakan kompor gas sampai makanan itu matang.
"Kamu berhenti bekerja. Lalu, mau kamu kasih makan apa istrimu itu?" tanya Bu Maryam sambil melirik sekilas kepada Sabrina.
"Aku tidak akan muluk-muluk, Mah. Aku makan nasi juga, kok!" celetuk Sabrina dan itu membuat Bu Maryam mengangakan mulutnya.
"Aku akan buka usaha di kampung saja, Mah," jawab Zidan menahan tawa karena mendengar ucapan istrinya.
Bu Maryam memijat kepalanya yang mendadak sakit. Dia berharap penyakit darah rendahnya tidak kambuh karena menghadapi sang menantu model begini.
"Usaha apa? Di sini sulit mendapatkan pekerjaan dan kalau pun ada gajinya sedikit. Kenapa kamu tidak kembali bekerja di kota saja?" tanya Bu Maryam.
Sabrina melirik ke arah Zidan. Dia tidak mau jika ditinggal oleh laki-laki itu.
bukan musuh keluarga Sabrina
jangan suudhon dl mamiiii