Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: Lorong Gelap, Jejak Ibuku
Udara pengap dan dingin langsung memeluk Risa, seolah ia baru saja melangkah ke dalam paru-paru bumi yang sudah lama tidak bernapas. Kegelapan mutlak menyelimuti, menelan setiap inci cahaya yang mungkin masih menempel di retinanya dari dunia luar. Pintu rahasia itu benar-benar tertutup, tanpa celah sedikit pun, menjebak Risa dalam keheningan yang memekakkan telinga. Hanya detak jantungnya sendiri yang terdengar begitu keras, memukul-mukul rusuknya seolah ingin melarikan diri.
Bau apek yang menusuk hidung bercampur dengan aroma aneh. Manis. Busuk. Seperti bunga layu yang sudah lama membusuk di dalam vas, tapi ada sentuhan lain, sesuatu yang logam dan basi. Risa mengangkat tangannya, mencoba meraba-raba di depannya, mencari pegangan atau setidaknya bayangan bentuk. Jari-jarinya menyentuh dinding yang terasa lembap dan kasar, seperti batu yang ditumbuhi lumut kering.
"Halo?" Bisikannya sendiri terdengar begitu asing, lemah, dan menyedihkan di tengah kegelapan pekat itu. Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang semakin dalam, seolah kegelapan itu sendiri adalah makhluk hidup yang sedang mengawasinya.
Indra keenamnya yang samar kini berteriak-teriak, merindingkan bulu kuduknya. Ada energi di sini. Energi yang familiar namun juga menakutkan. Energi ibunya. Tapi juga ada yang lain, sesuatu yang dingin, berat, dan jahat. Seperti bayangan yang bersembunyi di balik bayangan, mengintai dari sudut yang tak terlihat.
Risa mencoba mengambil napas dalam-dalam, menenangkan detak jantungnya yang menggila. Ini bukan saatnya untuk takut. Ini adalah kesempatannya. Kesempatan untuk menemukan kebenaran yang selama ini terkubur. Ibunya membimbingnya. Ia harus percaya itu.
Ia merogoh saku celananya, mencari ponselnya. Sial, tidak ada sinyal. Layarnya menyala redup, menjadi satu-satunya sumber cahaya di lorong itu. Cahaya kecil itu nyaris tidak membantu, hanya cukup untuk menunjukkan bahwa lorong ini sangat sempit, hanya cukup untuk satu orang, dan dindingnya dipenuhi kelembapan yang menetes. Di lantai, ia bisa melihat jejak kaki samar di tanah liat yang lembap, seolah ada seseorang yang sudah sering lewat sini. Bukan hanya satu jejak, tapi beberapa, bercampur aduk, beberapa lebih baru dari yang lain.
Dengan ponsel di tangan sebagai senter darurat, Risa melangkah maju perlahan. Setiap langkahnya menimbulkan suara *krek* pelan dari tanah di bawah sepatunya. Udara terasa semakin berat, semakin dingin. Beberapa meter ke depan, lorong itu sedikit melebar. Dindingnya tidak lagi berupa batu kasar, melainkan kayu. Kayu-kayu tua yang sudah lapuk, berlumut, dan mengeluarkan bau apak yang menyengat.
"Ibu...?" panggil Risa lagi, suaranya lebih berani kali ini. Tidak ada sahutan, tapi ia bisa merasakan kehadiran. Sebuah kehadiran yang lembut, penuh kasih, seolah mengelus pipinya dalam kegelapan. Ia tidak sendirian.
Pandangannya menyapu dinding kayu. Di sana, di salah satu balok kayu yang lebih besar, ada ukiran. Ukiran bunga mawar. Sama persis seperti ukiran di lemari jati yang menyembunyikan pintu rahasia tadi. Ukiran itu diukir dengan detail, namun entah kenapa, terasa lebih tua, lebih usang, dan seperti menyimpan cerita yang lebih kelam.
Risa mendekat, menyentuh ukiran mawar itu. Dingin. Di bawah ukiran mawar itu, ada beberapa goresan samar, seperti tulisan yang sengaja diukir dengan terburu-buru. Ia menyalakan senter ponselnya lebih dekat. Goresan itu membentuk huruf-huruf yang nyaris tak terbaca, seolah ditulis dengan ujung kuku yang tajam atau pisau kecil.
*“Jaga… Risa… Rahasia… Jangan…”*
Kalimat itu terputus, tidak lengkap. Jari-jari Risa gemetar saat menyentuh ukiran itu. Itu tulisan ibunya. Ia yakin. Goresan kasar, cepat, seolah dalam keadaan terdesak. Jaga Risa. Rahasia. Jangan. Jangan apa? Jangan sampai terungkap? Jangan sampai ketahuan? Jangan sampai Risa tahu?
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ibunya. Ibunya mencoba meninggalkan pesan untuknya. Bahkan di saat-saat terakhirnya, ibunya memikirkannya, mencoba melindunginya. Tapi siapa yang harus Risa waspadai? Siapa yang dimaksud dengan 'jangan'?
Sebuah bisikan halus, sejuk, seperti napas yang berembus di telinganya. *“Teruslah… maju…”*
Risa tersentak, menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Tapi suara itu… itu suara ibunya. Jelas sekali. Seperti dulu, saat ibunya membisikkan dongeng pengantar tidur. Kini bisikan itu membimbingnya dalam kegelapan yang penuh misteri.
Dengan semangat yang baru, Risa melanjutkan langkah. Lorong itu berbelok tajam ke kanan, lalu ke kiri, seperti labirin yang dirancang untuk membingungkan. Setiap belokan, bau apek dan lembap semakin pekat. Ia mulai merasa sedikit pusing, napasnya terasa berat. Udara di sini benar-benar tipis.
Tiba-tiba, ia mendengar suara. Suara samar, seperti tetesan air yang jatuh di permukaan logam. *Ting… ting… ting…*
Risa menghentikan langkahnya. Ia mematikan senter ponselnya, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara itu berasal dari depan. Tiga ketukan teratur. *Ting… ting… ting…*
Jantungnya kembali berdebar. Bukan detak air, tapi seperti… kode. Ia menyalakan senternya lagi, mempercepat langkah, rasa takutnya kini bercampur dengan urgensi yang kuat. Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang penting.
Lorong itu berakhir di sebuah ruangan kecil. Bukan lagi lorong sempit, tapi sebuah ruangan berukuran sekitar dua kali dua meter, dengan langit-langit rendah yang membuat Risa harus sedikit menunduk. Dindingnya masih dari kayu lapuk. Di tengah ruangan, ada sebuah meja kecil yang juga terbuat dari kayu, dan di atasnya, sebuah kotak perhiasan kuno. Kotak itu terbuat dari perak, dengan ukiran bunga mawar yang sama persis seperti yang ia lihat. Kotak itu sedikit terbuka, dan dari celah itulah suara *ting… ting… ting…* itu berasal. Sebuah bandul kalung yang terbuat dari perak, dengan ukiran kunci kecil yang persis sama dengan liontin yang Risa pakai, berayun pelan di dalam kotak itu, menabrak sisi kotak, menciptakan suara ritmis yang aneh.
Di sekeliling kotak itu, berserakan beberapa lembar kertas yang sudah menguning, terlihat seperti surat atau catatan. Risa mendekat, tangannya gemetar. Ia mengenali tulisan itu. Tulisan ibunya. Ini adalah harta karun. Harta karun yang selama ini tersembunyi.
Ia mengambil salah satu lembaran kertas, matanya menyapu baris demi baris, jantungnya berpacu secepat kuda yang berlari.
*“Lastri… tidak bisa dipercaya… ia tahu… segalanya…”*
Kalimat itu, seperti petir menyambar di siang bolong, menghempaskan Risa. Lastri. Bibi Lastri. Wali yang selama ini merawatnya, yang selalu tersenyum ramah. Wali yang, menurut catatan ibunya, tidak bisa dipercaya.
Rasa dingin merambat dari ujung kaki hingga ubun-ubunnya. Selama ini, Risa selalu merasa ada sesuatu yang aneh dari Bibi Lastri, tapi ia tidak pernah benar-benar mencurigainya. Tidak sampai sejauh ini. Ibunya menulis ini. Ibunya memperingatkannya.
Ia mengambil lembaran lain. Tulisan tangan ibunya semakin terlihat tergesa-gesa, bahkan sedikit basah, seolah ibunya menulisnya sambil menangis atau dalam keadaan ketakutan yang luar biasa.
*“Mereka… ingin mengambil semuanya… rumah ini… warisan… bahkan… nyawa…”*
Risa terkesiap, napasnya tercekat. Warisan? Nyawa? Apa maksudnya? Siapa 'mereka'? Apa yang terjadi pada ibunya sepuluh tahun lalu? Apakah ini lebih dari sekadar kecelakaan? Apakah ibunya dibunuh?
Pandangannya beralih ke kotak perak di atas meja. Bandul kalung kunci kecil itu masih berayun, seolah memanggilnya. Ia mengulurkan tangan, mengambil kotak itu, dan mengangkat bandul kunci itu. Dingin. Persis seperti liontin kuncinya. Seolah kunci ini adalah duplikat, atau bagian dari sepasang yang sama.
Di dasar kotak, tersembunyi sebuah lembaran kertas terakhir, paling kecil, dan paling kusut. Risa membukanya dengan hati-hati. Tulisan ibunya nyaris tak terbaca, coretan-coretan acak, namun ada satu kalimat yang jelas, yang membuat darah Risa seolah membeku di dalam nadinya.
*“Risa… mereka akan… datang… untuk… mengambil… KAU…”*
Risa menjatuhkan kertas itu, tangannya gemetar hebat. Sebuah rasa takut yang luar biasa mencengkeramnya. Bukan hanya ibunya yang dalam bahaya, tapi dirinya juga. Selama ini, ia hidup dalam bayang-bayang kematian ibunya, tanpa menyadari bahwa ia sendiri adalah target. Mengapa? Apa yang mereka inginkan darinya? Siapa 'mereka' itu?
Tiba-tiba, suara derit pelan terdengar dari arah pintu masuk lorong. Pintu rahasia itu, yang tadi tertutup rapat, kini perlahan terbuka. Sebuah celah tipis muncul, dan dari sana, cahaya senter yang tajam menyapu kegelapan, menusuk mata Risa. Lalu, sebuah bayangan tinggi kurus muncul di celah itu, diikuti oleh suara langkah kaki yang berat dan menyeret.
Jantung Risa serasa berhenti berdetak. Ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa bicara. Ia terperangkap. Bayangan itu semakin dekat, dan di ambang pintu, siluet wajah yang selama ini selalu tersenyum ramah di depannya, kini tampak dingin, kejam, dan dipenuhi seringai mengerikan.
Bibi Lastri. Dengan mata yang memancarkan kegilaan, dan sebilah pisau dapur yang berkilat di tangannya.