Perselingkuhan antara Kaivan dan Diana saat tiga hari menjelang pernikahan, membuat hati Alisa remuk redam. Keluarga Kaivan yang kepalang malu, akhirnya mendatangi keluarga Alisa lebih awal untuk meminta maaf.
Pada pertemuan itu, keluarga Alisa mengaku bahwa mereka tak sanggup menerima tekanan dari masyarakat luar jika sampai pernikahan Alisa batal. Di sisi lain, Rendra selaku kakak Kaivan yang ikut serta dalam diskusi penting itu, tidak ingin reputasi keluarganya dan Alisa hancur. Dengan kesadaran penuh, ia bersedia menawarkan diri sebagai pengganti Kaivan di depan dua keluarga. Alisa pun setuju untuk melanjutkan pernikahan demi membalas rasa sakit yang diberikan oleh mantannya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Alisa dan Rendra? Akankah Alisa mampu mencintai Rendra sebagai suaminya dan berhasil membalas kekecewaannya terhadap Kaivan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Murka Rendra
"Rendra, terimakasih sudah berlapang hati dan bantuin Ibu buat membiayai pernikahan adikmu. Ibu senang, kamu bisa bantuin saudara saat kesusahan," tutur Bu Ani, ibunda dari Rendra dan Kaivan. Tangannya dengan lembut menepuk bahu lebar putra sulungnya.
"Nggak usah berterimakasih, Bu. Sejak Bapak meninggal, keluarga kita ini sudah menjadi tanggung jawab serius buatku. Lagi pula, Kaivan baru setahunan menjadi karyawan di perusahaan BUMN, pasti uang untuk keperluan pernikahan belum tentu mencukupi," sanggah Rendra, memegang kedua tangan ibunya.
Di tengah percakapan mereka, Kaivan muncul membawa Diana sambil membuka pagar. Kedatangan mereka tentu saja mengundang pertanyaan besar di benak Rendra dan Bu Ani. Segera ibu dan anak itu beranjak dari tempat duduk di beranda rumah, lalu berjalan menghampiri si bungsu Kaivan.
"Kaivan? Ka-kamu bawa siapa? Di mana Alisa?" tanya Bu Ani, memandang putranya dengan tatapan menyelidik.
Kaivan yang tertunduk malu, berusaha menghindari tatapan ibu dan kakaknya. Tangannya gemetar dan semakin mengeratkan genggamannya di lengan Diana.
"A-Anu, Bu ... Alisa ... Alisa," ucap Kaivan tergugu-gugu.
Rendra menatap wajah adiknya dengan intens, berusaha menggali jawaban dari Kaivan yang semakin gugup saja. "Mana Alisa? Kenapa kamu datang ke sini dengan membawa perempuan lain? Apa kamu sudah mengkhianati kekasihmu sendiri?"
Seketika napas Kaivan tercekat mendengar rentetan pertanyaan dari sang kakak. Ia yang semula tertunduk gugup, akhirnya mengangkat wajah dan menatap Rendra dengan mata membesar.
"A-Aku ... Aku bisa jelaskan semuanya, Kak," lirih Kaivan dengan suara bergetar.
Rendra mendesah kasar sambil melipat kedua tangannya. Tatapannya yang semula penuh tanya, berubah tajam menusuk seperti anak panah.
"Kaivan ... Apa kamu lupa kalau pernikahanmu dengan Alisa tinggal tiga hari lagi? Ah, atau jangan-jangan, kamu selama ini cuma mau memanfaatkan kebaikan dan menguras harta kakakmu ini demi bersenang-senang dengan banyak wanita? Katakan!" cecar Rendra, sambil berusaha mengendalikan amarahnya di depan ibu dan wanita simpanan sang adik.
"T-Tidak, Kak. Aku nggak bermaksud seperti itu. Hanya saja ... aku ... aku merasa belum siap untuk menjadi suami dari perempuan independen seperti Alisa," jelas Kaivan, masih dengan nada bicaranya yang tergagap-gagap.
Tercengang Bu Ani dan Rendra mendengar jawaban Kaivan. Keduanya menggeleng pelan, seakan tak habis pikir dengan kelakuan si bungsu yang di luar dugaan. Bu Ani mengusap muka sembari menggeleng pelan, tak sanggup ia membayangkan betapa sakit Alisa mengetahui calon suaminya memilih untuk mundur.
Adapun Rendra, tak bisa lagi menahan kemarahannya. Ia menampar wajah Kaivan sekeras mungkin sampai meninggalkan luka lebam di pipinya.
Tak mau kedua putranya berkelahi, Bu Ani segera menarik paksa Rendra untuk menjauh dari Kaivan. Sementara itu, Diana yang merasa kasihan pada kekasihnya, segera mengusap pipi Kaivan dengan penuh kecemasan.
"Sudah, Rendra. Nggak baik kalau pertengkaran kalian dilihat tetangga," bujuk Bu Ani, sembari memegang bahu putra sulungnya.
Alih-alih mendengar bujukan ibunya, Rendra meluapkan segala kekecewaan pada sang adik. "Brengsek kamu, Van! Kalau dari awal kamu merasa minder, lalu kenapa nggak putus saja sama Alisa? Bukan malah merencanakan pernikahan dan melamarnya. Ini sudah tiga hari menjelang hari pernikahan kalian, tapi kamu malah menggandeng perempuan lain?! Disimpan di mana otak kamu itu, ha?" bentaknya sambil menoyor kepala adiknya.
"Kak, aku mohon, maafkan Kaivan," pinta Diana, berusaha menengahi perselisihan antara kakak beradik itu sambil memasang wajah memelas.
"Kak, Kakak nggak tahu bagaimana rasanya jadi aku. Aku benar-benar nggak sanggup dibanding-bandingkan terus sama Alisa. Dia mandiri, punya toko kue dan mendapat jabatan bagus di kantor. Sedangkan aku? Aku cuma pegawai baru," dalih Kaivan, merasa sungkan menatap mata kakaknya.
"Tapi Alisa masih mau menerima kamu, kan? Apa kamu nggak bisa sedikit saja menghargai pengorbanan dia? Dia sudah sangat serius buat menjalani rumah tangga sama kamu, tapi nyatanya? Kamu malah selingkuh sama perempuan ini, merasa minder karena Alisa jabatannya bagus lah, punya toko kue lah. Kamu ini laki-laki, Kaivan! Sudah seharusnya kamu bertanggung jawab sama pilihanmu sendiri, bukan malah lari dari kenyataan!" cerocos Rendra bersungut-sungut, sambil sesekali menunjuk muka sang adik.
"Cukup, Kak! Kakak ini saudaranya Kaivan, kan? Apa Kakak nggak bisa menghargai perasaan dia sedikit saja? Aku dan Kaivan saling mencintai. Kita juga sama-sama nyaman satu sama lain," tukas Diana, mencoba membela kekasihnya di depan Rendra.
Pandangan Rendra seketika beralih pada gadis di sebelah adiknya yang memiliki postur lebih pendek dari Alisa. "Begitu, ya? Apa sebelumnya kamu nggak tahu kalau adikku ini akan menikah dengan Alisa? Atau jangan-jangan kamu sengaja merebut Kaivan dari dia?"
"Kak, sebenarnya Diana ini bersahabat dengan Alisa," kata Kaivan menyela. Kepalanya menunduk, seakan berusaha menutupi kegugupan yang mendera batinnya begitu hebat.
Mengetahui fakta mengejutkan itu, Rendra dan Bu Ani semakin terperangah. Rendra segera melepaskan tangan sang ibu yang menahan bahunya, lalu melangkah ke depan dan mendorong Kaivan dengan kasar. Pria itu menatap tajam adiknya dan Diana secara bergantian, sambil menghela napas dalam-dalam demi meredam amarahnya.
"Kalian berdua memang tak tahu diri! Cepat, pergi dari sini! Aku bahkan benar-benar malu menganggap kamu sebagai adikku sendiri, Kaivan!" hardik Rendra, menunjuk-nunjuk Kaivan dan Diana.
"Tapi, Kak ... bagaimana dengan biaya pernikahanku? Apa Kakak bakal menuntut ganti rugi?" Kaivan bertanya dengan suara gemetar.
"Apa? Kamu sudah berbuat sejauh ini, tapi baru kepikiran soal biaya yang sudah aku keluarkan untuk pernikahanmu?" Rendra mengernyitkan kening sambil tersenyum sinis. "Dengarkan aku, Kaivan! Uang bisa dicari lagi, tapi bagaimana dengan harga diri? Kamu sudah merusak harga diri Alisa, harga diri keluarga kita! Apa kamu bisa memperbaikinya, hm? Katakan!"
Kaivan membuang muka sembari mengusap tengkuk. Sadar akan kesalahan fatal yang telah diperbuatnya, pemuda itu ketakutan tatkala menatap lagi wajah kakaknya.
"Maaf, Kak," lirih Kaivan.
Rendra berkacak pinggang sambil memutar bola matanya. Untuk terakhir kalinya, ia mendorong Kaivan seraya berkata, "Enyahlah dariku dan Ibu. Kamu ini memang memalukan, Kaivan!"
Tanpa memedulikan tanggapan Kaivan, Rendra menggandeng tangan ibunya, kemudian berlalu dari pasangan sejoli yang masih tertekan itu. Rendra mempersilakan ibunya masuk lebih dulu, sebelum dirinya menyusul dan menutup pintu.
Sementara itu, Kaivan masih tergugu-gugu berdiri di halaman rumah. Diana yang mengetahui kekasihnya sedang dalam tekanan, membelai lembut wajah Kaivan sampai pemuda itu menoleh.
"Sayang, sebaiknya kita kembali lagi ke kos aku. Mereka juga butuh waktu untuk menenangkan diri dan menerima kita," usul Diana, menatap lembut wajah Kaivan.
Dirasa tak punya pilihan lain, Kaivan mengangguk dan berbalik badan meninggalkan kediamannya bersama Diana. Sesekali ia menoleh ke belakang, berharap sang kakak berlari menyusul dan memaafkan kesalahannya.
Di dalam rumah, Rendra masih tampak gusar memandang adik dan wanita jalang itu meninggalkan rumahnya. Pria berusia tiga puluhan itu menggeleng pelan, lalu mengusap muka dan mendesah kasar.
"Rendra, kenapa kamu begitu keras pada adikmu sendiri? Kita bisa bicarakan baik-baik masalah ini tanpa perlu mengusirnya," kata Bu Ani menatap sendu putra sulungnya.
Rendra menoleh dan memegang kedua pundak ibunya. "Ini sudah tidak bisa dimaafkan, Bu. Harga diri kita sudah rusak. Coba Ibu bayangkan jika sampai Alisa tahu kalau Kaivan berselingkuh. Pasti dia merasa hancur, Bu," jelasnya.
"Lalu ... Apa yang harus kita lakukan? Keluarga Alisa pasti merasa sakit hati mendengar kenyataan ini. Ibu juga sebenarnya malu, Rendra," keluh Bu Ani.
"Mau tidak mau, kita harus datang ke rumah Alisa untuk meminta maaf. Pernikahan Alisa dan Kaivan tidak bisa dilanjutkan," tegasnya, dengan mata memandang lurus ke luar jendela rumah.
lanjut thorrrr.