NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:245
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tamu yang Tak Pernah Pulang

Pagi datang bukan dengan semburat matahari emas yang hangat, melainkan dengan warna abu-abu pucat yang menyedihkan.

Elara adalah orang pertama yang "bangun", jika kondisi berbaring kaku dengan mata terbuka selama enam jam bisa disebut tidur. Cahaya suram merembes masuk dari celah tirai yang semalam ditutupnya rapat-rapat. Badai di luar belum reda. Angin masih melolong, meski tidak segarang tadi malam.

Perlahan, Elara merasakan kram di tangan kanannya. Ia menunduk. Tangannya masih tergenggam erat di tangan Rian yang tertidur di lantai, di samping tempat tidur. Jemari pria itu menaut di sela-sela jemarinya, sebuah ikatan yang bertahan sepanjang malam penuh teror.

Ada desiran hangat yang menjalar di dada Elara, kontras dengan dinginnya suhu kamar. Untuk sesaat, ia membiarkan dirinya menikmati pemandangan itu: Rian yang tertidur pulas, bulu matanya yang panjang, dan dadanya yang naik turun teratur. Wajah itu begitu damai, jauh dari bayangan mengerikan di foto polaroid semalam.

"Egh..."

Suara erangan dari sofa memecahkan momen hening itu. Elara buru-buru melepaskan tautan tangannya, menariknya kembali ke balik selimut dengan pipi memerah.

Bobi menggeliat di sofa sempit itu seperti ulat nangka kepanasan. "Aduh... leher gue. Fix, ini leher pasti bentuknya udah kayak huruf Z."

Bobi bangun dan duduk, memegang lehernya dengan wajah meringis. Rambutnya mencuat ke segala arah. "Gila, ini sofa apa batu nisan? Keras banget."

Suara Bobi membangunkan Rian dan Sarah. Rian mengerjap, tampak bingung sesaat sebelum kesadarannya kembali penuh. Matanya langsung mencari Elara.

"Pagi," sapa Rian dengan suara serak khas bangun tidur. "Gimana tidurmu?"

Elara hanya mengangguk kaku, tidak berani menceritakan tentang senandung dari kolong tempat tidur. "Lumayan."

Sarah bangun dengan gaya efisien, langsung mengecek ponselnya. "Sial. Masih no service. Dan baterai gue tinggal 20 persen." Dia menekan sakelar lampu tidur. Tidak menyala. "Bagus. Listrik mati total."

"Selamat datang di zaman batu, kawan-kawan," gumam Bobi sambil berjalan terhuyung menuju pintu, masih memegang lehernya. "Gue butuh kopi. Kalau nggak ada kopi, gue bakal mulai gigitin furnitur."

Mereka berempat turun ke dapur. Suasana villa di siang hari terasa sedikit lebih 'jinak', meski bayang-bayang di sudut ruangan masih terlihat mengancam. Ruang tengah dengan piano besar itu mereka lewati dengan langkah cepat, seolah-olah piano itu adalah binatang buas yang sedang tidur dan tidak boleh dibangunkan.

Di dapur, Rian mengambil alih kompor gas. Untungnya, kompor itu menggunakan tabung gas LPG, bukan listrik. Dia menjerang air dalam panci untuk menyeduh kopi bubuk.

"Kita terjebak," kata Rian setelah kembali dari mengecek pintu depan. Wajahnya serius. "Salju di luar numpuk sampai setengah pintu mobil. Jalan setapak ke bawah ketutup total. Pohon tumbang di mana-mana."

Keheningan menyelimuti meja makan. Uap kopi yang baru diseduh mengepul di antara wajah-wajah cemas mereka.

"Jadi kita nggak bisa pulang?" tanya Elara pelan.

"Nggak untuk hari ini, atau mungkin dua hari ke depan," jawab Rian jujur. "Kecuali ada tim SAR yang lewat, yang mana kemungkinannya kecil karena nggak ada yang tahu kita di sini selain penjaga villa yang udah kabur itu."

"Oke, survival mode on," kata Bobi, mencoba mencairkan suasana meski tangannya yang memegang cangkir kopi sedikit gemetar. "Kita punya stok mie instan buat seminggu, kerupuk satu kaleng, dan... Sarah, lo bawa camilan diet lo yang rasanya kayak kardus itu kan?"

Sarah tidak membalas candaan Bobi. Dia menatap ke arah lorong yang menghubungkan ruang tengah dengan sayap barat villa. "Daripada kita duduk diam nungguin sinyal yang nggak pasti, mending kita cari tahu soal tempat ini. Gue penasaran sama foto yang Elara temuin."

"Maksud lo, kita main detektif-detektifan di rumah hantu ini?" tanya Bobi skeptis. "Ide buruk, Sar. Di film horor, ini fase di mana karakter mulai mati satu-satu."

"Kita berempat. Jangan pisah," tegas Rian. Dia menatap Elara. "Kamu mau ikut keliling, El? Atau mau istirahat di sini?"

"Aku ikut," jawab Elara cepat. Dia tidak mau ditinggal sendirian sedetik pun di ruangan mana pun di villa ini. Apalagi di dapur yang dekat dengan pintu belakang.

Mereka memutuskan untuk mengecek ruangan di sayap barat yang belum sempat mereka lihat kemarin. Pintu ganda dari kayu ek menyambut mereka. Tidak terkunci.

Saat Rian mendorongnya terbuka, bau kertas tua dan debu menyeruak keluar.

Itu adalah perpustakaan.

Ruangan itu dindingnya dipenuhi rak buku setinggi langit-langit. Ada tangga geser kayu untuk menjangkau rak atas. Di tengah ruangan, terdapat meja kerja mahoni besar yang berantakan, penuh dengan kertas-kertas yang berserakan.

"Wow," gumam Elara. Sebagai penulis, tempat ini seharusnya menjadi surga baginya. Tapi aura di sini terasa berat.

Mereka mulai menyebar, tapi tidak terlalu jauh, untuk memeriksa. Bobi meniup debu dari sebuah ensiklopedia tua, membuatnya terbatuk-batuk. Sarah memeriksa laci-laci katalog.

Elara berjalan menuju meja kerja di tengah ruangan. Di sana, tergeletak sebuah buku besar bersampul kulit hitam. Buku Tamu.

Dengan tangan gemetar, Elara membukanya. Halaman-halaman awal berisi catatan tahun 1950-an, tulisan tegak bersambung yang rapi. Nama-nama Belanda, lalu berganti nama-nama lokal.

Jari Elara membalik halaman demi halaman dengan cepat, menuju tahun yang tertera di foto itu.

1980.

Halaman itu sedikit sobek di ujungnya. Tulisannya berbeda dari halaman sebelumnya. Tulisannya lebih kasar, ditekan kuat-kuat seolah penulisnya sedang emosi.

Desember 1980

Tamu: Tuan Adrian & Nona Elena.

Keterangan: Bulan Madu.

"Adrian..." bisik Elara. "Rian, sini."

Rian, Sarah, dan Bobi mendekat.

"Namanya Adrian," kata Elara menunjuk tulisan itu. "Mirip nama kamu, Yan. Ad-Rian."

Rian menatap nama itu. Rahangnya mengeras. "Adrian... Papa pernah sebut nama itu sekali. Kakak laki-lakinya Kakek. Paman buyutku. Tapi katanya dia hilang di gunung waktu muda."

"Hilang?" tanya Sarah tajam. "Atau nggak pernah pulang?"

Elara membalik halaman berikutnya. Kosong. Tidak ada catatan kepulangan.

Tapi ada satu hal lagi yang membuat napas Elara tercekat. Di kolom Keterangan pada tanggal 24 Desember, Malam Natal, tulisan tangannya berubah menjadi cakar ayam yang berantakan, tintanya meleber ke mana-mana.

Hanya ada satu kalimat di sana:

DIA TIDAK SUKA MUSIKNYA. DIA INGIN GANTI PIANIS.

"Apa maksudnya?" tanya Bobi, suaranya mencicit. "Siapa yang nggak suka musiknya?"

BRAK!

Sebuah buku tebal jatuh dari rak paling atas di ujung ruangan, membuat mereka berempat melonjak kaget.

"Kucing! Itu pasti kucing!" teriak Bobi panik, meski tidak ada kucing yang terlihat.

Sarah berjalan mendekati buku yang jatuh itu. Itu adalah sebuah album foto besar. Terbuka tepat di tengah-tengah karena benturan saat jatuh.

Sarah memungutnya, lalu wajahnya berubah pucat pasi. Dia mundur selangkah, nyaris menabrak rak di belakangnya.

"Guys..." panggil Sarah, suaranya bergetar hebat. Skeptisisme wanita itu runtuh seketika. "Kalian harus lihat ini."

Mereka bertiga mendekat.

Di halaman album yang terbuka itu, ada sebuah foto hitam putih berukuran besar.

Foto itu menampilkan interior ruang tengah villa ini. Piano hitam itu ada di sana. Dan di sekeliling piano, berdiri lima orang yang berpose kaku menghadap kamera. Wajah mereka dicoret dengan tinta hitam sampai tidak bisa dikenali.

Tapi pakaian mereka...

Salah satu sosok di foto itu mengenakan jaket hoodie yang persis, sangat persis, dengan jaket yang sedang dipakai Bobi sekarang.

Sosok di sebelahnya memakai syal rajut bermotif rusa. Syal yang sama yang melilit di leher Elara saat ini.

Dan sosok di tengah... mengenakan kemeja flanel kotak-kotak. Kemeja yang sama yang sedang dipakai Rian.

"Itu... itu kita?" bisik Bobi, matanya melotot ngeri. Dia melihat jaketnya sendiri, lalu melihat foto itu lagi. "Tapi ini foto tua! Kertasnya udah kuning! Gimana mungkin ada foto kita di album tahun 80-an?!"

"Ini bukan foto kita," kata Rian, suaranya berat dan rendah. Dia menunjuk ke sudut kanan bawah foto.

Ada tanggal yang tertera di sana, dicetak oleh kamera analog.

25 Desember 1980.

"Ini foto mereka," lanjut Rian, menatap Elara dengan tatapan yang sulit diartikan. "Mereka memakai pakaian yang sama... atau kita yang tanpa sadar dipaksa memakai pakaian yang sama dengan mereka?"

Elara merasakan dingin yang menusuk tulang belakangnya. Dia baru sadar, semua pakaian yang mereka pakai, jaket Bobi, syal Elara, kemeja Rian, adalah barang-barang yang mereka temukan di lemari kamar masing-masing karena pakaian mereka sendiri basah kuyup kemarin sore.

Mereka sedang cosplay menjadi orang-orang mati.

Dan di sudut ruangan perpustakaan yang hening itu, sayup-sayup, terdengar suara senandung lirih yang sama seperti yang didengar Elara semalam.

Datang dari balik rak buku yang gelap.

"Selamat datang kembali..."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!