NovelToon NovelToon
Rengganis Larang

Rengganis Larang

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri / Hantu / Roh Supernatural / Fantasi Wanita
Popularitas:903
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.

Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.

Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nama Yang Membakar

“Uuuh… daging… manis… anak daraaa…”

Suara itu masih mendengung di ujung sawah yang diselimuti kabut tipis. Tapi bagi Sasmita, itu bukan sekadar bisikan. Itu undangan kematian.

Ia refleks berdiri.

Cekrekk!

Shotgun tua bercorak ukiran Sunda kuno yang disandang di punggungnya langsung berpindah ke tangan.

> “Kalau mau ngemil, salah tempat, Bangke.”

DUAR!!

Tembakan pertama menghantam semak gelap di tepi sawah. Api kecil menyambar seperti lidah neraka.

> “Satu buat pembuka…”

DUARR!!

Tembakan kedua menyusul. Siluet babi besar berkaki empat muncul sejenak. Matanya merah, lidah menjulur, tubuhnya setengah membusuk—tapi larinya cepat. Napasnya berat, penuh lendir.

> “Dua buat salam kenal…”

DUARRR!!

Tembakan ketiga menabrak tubuh siluman babi itu tepat di dada. Percikan mantra dalam peluru menyala hijau, lalu berubah jadi kobaran merah yang menghanguskan daging siluman itu dalam sekejap.

Makhluk itu menjerit… lalu lenyap jadi abu.

> “Tiga buat… selamat jalan, bangsat.”

Sasmita meniup sisa asap dari moncong shotgun-nya, lalu menyampirkannya kembali ke punggung. Gerakannya santai, tapi matanya tetap awas.

Yuyun yang dari tadi membeku di pojok gubuk hanya bisa melongo. Jantungnya masih berdetak cepat.

> “K… Kak, itu barusan…”

> “Siluman kelas rendahan. Biasanya kayak semut. Kalau satu udah muncul, berarti ada ribuan lagi yang nunggu giliran.”

Yuyun mengangguk kaku. Masih syok, tapi sorot matanya mulai berubah. Ada rasa kagum di sana.

Sasmita duduk kembali di tikar bambu. Kali ini dengan posisi lebih nyaman. Dia melirik gadis muda itu sambil menyulut rokok barunya.

> “Dari tadi kita udah ngobrol, tapi lo belum tahu siapa gue.”

Dia menghembuskan asap ke langit-langit gubuk.

> “Nama gue… Rengganis Larang.”

Yuyun terdiam. Matanya menyipit sedikit, mengerutkan kening.

> “Aku… aku pernah dengar nama itu.”

> “Pasti. Nama ini suka muncul di laporan-laporan kasus siluman. Di pojokan jurnal supranatural, atau kalau lo iseng baca-baca forum orang kerasukan.”

Yuyun memejamkan mata. Mencoba mengingat lebih dalam. Tapi hanya rasa tidak asing yang muncul, tak ada detail.

Sasmita berdiri.

> “Yuk, kita ke rawa yang lo bilang. Gue butuh tahu tempat itu. Kadang… jawaban bukan di kepala, tapi di tanah yang kita injak.”

Yuyun bangkit perlahan, masih agak goyah. Mereka berdua meninggalkan gubuk itu, menyusuri sawah mati menuju arah barat. Angin malam membawa aroma lumpur, busuk dan basah.

Langkah kaki mereka tak cepat, tapi pasti. Cahaya bulan menembus kabut tipis, menciptakan bayangan panjang yang bergoyang seperti arwah penasaran.

---

Rawa itu… bukan sekadar rawa.

Permukaannya berwarna gelap pekat. Bukan hitam alami air, tapi hitam kental seperti oli bekas. Lumpur yang mengelilinginya membentuk pola retakan aneh. Seperti bekas pertempuran. Atau… ritual gagal.

Sasmita berdiri di tepi, memandangi air itu. Lalu membuka tas kulit hitamnya. Mengeluarkan sebuah buku tua berisi catatan dan diagram.

Kitab Siluman Tanah Sunda.

Jurnal warisan keluarganya. Buku itu tebal, penuh tulisan tangan dan darah kering di beberapa sudut halaman. Ia membukanya dengan hati-hati, mencari entri: BABIANG KURAP.

> Siluman gabungan jenis Babi, Anjing, Kambing dan Sapi. Tercipta dari hasil ritual terlarang masa Mataram Kuno. Memiliki desahan halusinatif, regenerasi daging busuk, taring pemecah jiwa dan pasukan pengganggu kulit manusia.

Tapi tak ada asal-usul. Tak ada nama pencipta. Tak ada alasan kenapa ia lahir.

Sasmita mengerutkan kening.

> “Biasanya, jurnal ini lengkap. Tapi bagian Babiang Kurap… kosong.”

Yuyun berdiri di sampingnya.

> “Kakek pernah bilang, di tengah rawa ini dulunya ada batu besar. Tempat duduk Dukun Natawirya saat narik siluman itu keluar. Tapi batunya tenggelam.”

Sasmita menatap permukaan air lumpur itu. Lalu memejamkan mata.

"Kasih aku tanda, ya Allah..."

Tangannya meraih satu jimat dari sabuknya. Ia lempar ke tengah rawa.

BRUUUUKK!!

Air hitam mendidih di tempat jimat itu jatuh. Dan dari dasar lumpur… muncul gelembung-gelembung darah.

> “Found it.”

Sasmita segera melangkah ke tepi dan mengeluarkan segel pelindung. Dia tempel di tanah sekitar rawa, membuat batas aman agar aura negatif tak menyebar. Yuyun hanya bisa menyaksikan dengan napas tertahan.

Sasmita lalu duduk bersila, membuka halaman kosong di belakang jurnalnya. Ia mulai mencatat ulang:

> Letak bekas segel Babiang Kurap teridentifikasi. Rawa di belakang bukit barat Desa Panawangan. Air menghitam, aroma busuk menyebar, dan pasukan siluman kecil mulai berkeliaran.

> Asal-usul Babiang Kurap masih tidak jelas. Tapi jelas ini bukan siluman biasa. Ini… semacam alat. Atau korban?

Ia mengguratkan satu simbol di kertas, simbol yang terbentuk secara naluriah saat dia melihat air itu mendidih.

Yuyun mendekat pelan.

> “Kalau dia bukan siluman biasa… maksudnya?”

> “Siluman ini… diciptakan. Tapi bukan asal-asalan. Jenisnya gabungan. Anjing buat agresi. Babi buat kerakusan. Sapi buat kekuatan. Kambing buat pengorbanan. Semuanya... penuh makna gelap.”

Sasmita mengunci jurnalnya dan berdiri lagi. Matanya menatap rawa itu, kali ini dengan kecurigaan.

> “Babiang Kurap bukan cuma makhluk. Dia mungkin... sisa eksperimen dari zaman kelam. Mungkin dulu ada upaya buat menciptakan senjata gaib, dan dia… salah satu hasilnya.”

> “Terus, kalau dia belum sepenuhnya bangkit…?”

> “Maka ini kesempatan gue buat cari inti kutukannya. Dan kalau bisa, hancurin sebelum makin parah.”

Tapi saat mereka bersiap meninggalkan tepi rawa…

Permukaan air itu bergejolak.

Glekk... glekkk...

Sesuatu bergerak di bawah sana. Gelembung-gelembung darah muncul lebih banyak, lalu...

SEEKOR KEPALA BABI RAKSASA MUNCUL DI PERMUKAAN.

Mata putih. Kulit melepuh. Dan desahan panjang seperti…

“UUUUHHH....”

Tapi bukan makhluk asli.

Bayangan. Proyeksi. Sebuah pesan kutukan.

Mulut babi itu terbuka.

Dan dari dalamnya… muncul suara seorang manusia tua.

“Yang mengganggu tanahku... akan hancur bersama akar-akar ini.”

Air meledak sejenak, lalu kembali tenang.

Bayangan menghilang.

Sasmita menggertakkan gigi. Ini bukan sekadar pertarungan fisik.

> “Yuyun.”

> “Iya?”

> “Besok pagi... kita turun ke dalam rawa itu.”

> “Ke dalam?!”

> “Iya. Kalau gue mau tahu asal kutukan, gue harus lihat sumbernya langsung. Tapi sebelum itu…”

Ia menoleh, wajahnya serius.

> “Kita harus balik ke desa dan cari sisa keturunan Dukun Natawirya. Dia satu-satunya yang mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi dulu.”

> “Kalau udah gak ada…?”

Sasmita menatap rawa yang bergolak pelan.

> “Gue cari arwahnya.”

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!