Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Roomate Sialan
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Gue kangen banget lari pagi.
Butuh waktu empat minggu buat benar-benar pulih, sampai akhirnya dokter mengizinkan gue olahraga lagi. Secara fisik, gue udah balik normal.
Tapi secara mental?
Itu cerita lain.
Gue masih sering kebangun gara-gara mimpi buruk, mimpi di mana gue dihajar habis-habisan sama cowok-cowok itu, gak ada habisnya. Dan sekarang, tiap kali hujan turun, mood gue langsung hancur.
Jam setengah tujuh pagi, pas gue masuk ke apartemen. Gue tutup pintu lalu jalan masuk ke lorong yang masih remang-remang karena matahari belum nongol. Begitu sampai dapur yang lumayan luas, gue nyalain lampu.
Dari ujung lorong kamar, kepala Dino yang masih acak-acakan muncul, matanya masih setengah melek. "Ngapain lo udah bangun sepagi ini?"
"Baru habis lari."
"Jam..." Dia menyipitkan mata, mencoba baca jam di microwave. "Jam enam pagi?"
"Setengah tujuh."
"Anjir, bahkan kakek gue aja gak bangun sepagi itu buat lari."
"Kakek lo gak pernah lari," gue nyeletuk santai sambil taruh kunci di atas meja dapur.
"Nah, benar."
"Lo sendiri ngapain udah bangun?" tanya gue sambil buka kulkas dan ambil sebotol air. "Eh..."
"Selamat pagi!"
Tiba-tiba suara cewek heboh menggema di apartemen. Seorang cewek yang udah cukup sering gue lihat lewat di samping Dino dengan energi yang gak ada habisnya.
Namanya?
Vey.
Dia itu apa-nya Dino?
Gue juga gak punya jawaban. Kadang mereka kayak pasangan normal, kadang kayak orang asing yang gak saling kenal. Gue gak ngerti, karena gue bukan tipe orang yang kepo. Yang penting buat gue, Dino asik diajak nongkrong, meski awalnya gue kenal dia gara-gara Kakak gue, Anan, sekarang dia jadi salah satu teman dekat dan juga roommate gue di sini.
Jujur aja, punya dia sebagai roommate di minggu-minggu pertama kuliah itu berkah banget. Setidaknya gue gak merasa sendirian. Dino selalu punya cara buat bikin gue sibuk, jadi gue gak kebanyakan waktu sendiri buat kangen sama rumah. Gue kangen banget sama Kakek, Antari dan istrinya, Ellaine, sama anjing-anjing gue. Tapi yang paling bikin kangen adalah Ailsa, keponakan gue. Gue gak pernah nyangka bisa sekangen ini sama dia.
"Asta?"
Gue kedip-kedip, sadar Vey sekarang ada di sebelah gue, mengibaskan tangannya di depan muka gue.
"Masih tidur, nih?"
Gue senyum tipis. "Pagi, Vey."
Dino menguap lebar, terus jalan ke arah dapur buat gabung sama kita.
"Ya udah, mumpung kita udah bangun semua, sarapan yuk?"
Gue langsung angkat kepalan tangan buat tos sama dia. Dino jago masak, dan itu skill yang baru lo hargai setelah lo harus tinggal sendirian.
Gue?
Masak?
Jangan harap.
Satu-satunya yang gue bisa cuma bikin dessert, dan gak mungkin juga gue hidup cuma dari kue sama roti manis tiap hari.
"Lo mau sarapan apa?" tanya Dino sambil mainin matanya. "Mau yang ala-ala Eropa? atau yang full American breakfast?"
Dino membungkuk buat ngeluarin wajan dari laci. Tapi Vey malah ambil kesempatan buat berdiri di belakangnya, merangkul pinggangnya, terus goyang-goyangin badannya dengan gerakan yang… ya, lo tahu lah.
"Udah, stop!" bisik Dino sambil balik badan dan langsung cium Vey dengan penuh semangat, membantingnya pelan ke meja dapur.
Gue melipat tangan, merasa geli sendiri.
Mata gue langsung pindah ke arah lain, fokus memperhatikan lukisan buah pir yang tergantung di tembok dapur. Gue udah biasa sih sama kelakuan mereka, tapi tetap saja, bisa gak, sih, cari waktu dan tempat yang lebih pas?
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢