“Aku bukan barang yang bisa diperjualbelikan.” —Zea
Zea Callista kehilangan orangtuanya dalam sebuah pembantaian brutal yang mengubah hidupnya selamanya. Diasuh oleh paman dan bibinya yang kejam, ia diperlakukan layaknya pembantu dan diperlakukan dengan penuh hinaan oleh sepupunya, Celine. Harapannya untuk kebebasan pupus ketika keluarganya yang serakah menjualnya kepada seorang mafia sebagai bayaran hutang.
Namun, sosok yang selama ini dikira pria tua berbadan buncit ternyata adalah Giovanni Alteza—seorang CEO muda yang kaya raya, berkarisma, dan tanpa ampun. Dunia mengaguminya sebagai pengusaha sukses, tetapi di balik layar, ia adalah pemimpin organisasi mafia paling berbahaya.
“Kau milikku, Zea. Selamanya milikku, dan kau harus menandatangani surat pernikahan kita, tanpa penolakan,”ucap Gio dengan suara serak, sedikit terengah-engah setelah berhasil membuat Zea tercengang dengan ciuman panas yang diberikan lelaki itu.
Apa yang akan dilakukan Zea selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BEEXY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 - Malam Pertemuan
Zea mencoba melawan ketika dua pria berbadan kekar mendekatinya, masing-masing mencengkeram lengannya dengan kuat. Dia menjerit dan meronta, mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman mereka seperti besi, tak tergoyahkan.
“Lepaskan aku!” Zea berteriak, matanya liar mencari bantuan, tetapi Richard dan Vivian hanya berdiri diam.
Vivian bahkan tersenyum tipis dan sinis. “Sudahlah, Zea. Jangan buat semuanya lebih sulit. Tidak perlu banyak drama, ikut saja dengan mereka.”
Gin berdiri dengan malas, tubuh buncitnya berguncang sedikit saat dia berjalan mendekat. “Jangan buang energi, Sayang. Semakin kau melawan, semakin menyakitkan akibatnya.” Gin mencengkram dagu Zea.
Seketika itu Zea menoleh-tolehkan kepalanya untuk melepaskan tangan Gin, mata penuh kilatan amarah yang menggebu-gebu. “Jangan sentuh aku!”
“Oh, sungguh. Wanita ini benar-benar punya nyali, bos pasti akan sangat menyukaimu.”
Gin lalu memindai Zea dari atas sampai bawah lalu membasahi bibirnya dengan lidah. “Paras dan tubuhmu juga sangat indah.”
“Berhenti menatapku!!”pekik Zea.
Gadis itu merasa risih dengan tatapan mesum Gin, dia sangat tidak nyaman, lalu Zea menatap Richard dengan tatapan penuh kebencian. “Kalian kejam,” suaranya bergetar. “Aku bukan barang! Aku keluargamu!”
Richard mengalihkan pandangannya tidak peduli bahkan berjalan masuk ke dalam dapur, enggan melihat. Sementara Vivian tersenyum sinis. Merasa puas, beban hidupnya telah sirna. Walaupun dia sadar kalau beban hidup keluarga itu sebenarnya bukanlah Zea.
Gin menepuk bahu salah satu anak buahnya. “Bawa dia ke mobil.”
Zea menjerit lagi saat tubuhnya ditarik kasar. Kakinya menendang udara, tangannya berusaha mencakar siapa pun yang bisa dia raih, tetapi sia-sia. Dia diseret keluar rumah seperti seekor binatang yang akan dikorbankan.
Udara malam yang dingin menusuk kulitnya saat dia dilempar ke dalam mobil hitam yang sudah menunggu di depan rumah. Pintu mobil dibanting, mengurungnya dalam kegelapan.
Gin naik ke kursi depan, menyalakan cerutunya sambil menyeringai ke arah Zea melalui kaca spion. “Bersiaplah, Sayang,” katanya dengan nada penuh kesenangan. “Bosku pasti akan sangat senang melihatmu.”
Zea menggigit bibirnya, dadanya naik turun cepat. Ini tidak mungkin. Ini pasti mimpi buruk yang akan segera berakhir.
Tapi saat mobil mulai melaju, meninggalkan rumah yang selama ini dia tinggali, Zea tahu—tidak ada jalan kembali.
Mobil berhenti di depan sebuah gedung tua yang gelap dan terbengkalai. Zea menggigit bibirnya, tubuhnya menegang saat Gin turun lebih dulu, menghembuskan asap cerutunya dengan santai.
“Bawa dia masuk,” perintahnya.
“Tempat apa ini?!” Zea memberontak.
“Kau lihat saja nanti.”
Dua pria bertubuh kekar menarik Zea keluar, menyeretnya ke dalam bangunan itu. Udara di dalam terasa lembap dan berdebu, cahaya remang dari lampu jalan nyaris tak mampu menembus jendela yang kotor. Jantung Zea berdebar kencang, firasat buruk menyelimuti pikirannya.
Gin menatapnya dengan seringai puas. “Bosku pasti suka padamu, tapi sebelum itu … kupikir aku harus mencobamu dulu,” katanya dengan nada licik, matanya mengamati Zea seperti predator melihat mangsanya.
Napas Zea tersentak. “Kau gila!” Dia meronta, mencoba mundur, tetapi Gin melangkah maju dengan penuh percaya diri.
Namun, Zea bukan gadis lemah. Dalam sekejap, dia mengangkat lututnya tinggi dan menghantam perut Gin sekuat tenaga.
“Ugh!” Gin mengerang kesakitan, tubuh buncitnya terhuyung mundur.
Zea mengambil kesempatan itu. Dengan cepat, dia menendang salah satu anak buah Gin yang mencoba menangkapnya, lalu melayangkan siku ke wajah pria lainnya.
Tapi perlawanan Zea tidak bertahan lama. Salah satu anak buah Gin berhasil menarik lengannya dengan kasar, memutarnya hingga punggungnya membentur dinding keras.
Gin menyeka mulutnya yang berdarah, wajahnya merah padam karena amarah. “Dasar gadis liar,” geramnya. “Aku akan membuatmu menyesal telah melawan.”
Zea berusaha melepaskan diri, tetapi kekuatan mereka terlalu besar. Tubuhnya terhimpit di antara dinding dan Gin yang semakin mendekat.
Tiba-tiba—
DOR!
Suara tembakan menggema di dalam gedung kosong itu.
Zea menahan napas saat salah satu anak buah Gin roboh ke lantai, darah merembes dari bahunya.
Gin membelalak. “Siapa—”
Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, seorang pria muncul dari kegelapan. Langkahnya tenang, tapi aura mengintimidasi menyelimuti setiap gerakannya. Mata tajamnya menatap Gin dengan dingin, pistolnya masih terangkat.
“Lepaskan dia,” perintah pria itu, suaranya dalam dan berbahaya.
Zea menatap sosok penyelamatnya dengan mata membesar. Dia tidak tahu siapa pria itu, tapi satu hal yang pasti—dia baru saja diselamatkan dari neraka.
Gin membeku di tempatnya, napasnya memburu saat matanya menangkap sosok pria yang baru saja muncul dari kegelapan. Giovanni Alteza.
Bosnya.
Aura dominasi yang dingin menyelimuti pria itu saat ia melangkah mendekat, sepatu kulitnya berdetak pelan di lantai beton yang berdebu. Pistol di tangannya masih terarah dengan santai, seolah dia tidak tergesa-gesa—karena dia tidak perlu.
Giovanni Alteza tidak pernah terburu-buru. Dia adalah pemilik kekuasaan di ruangan ini, dan semua orang mengetahuinya.
Gin menelan ludah, tangannya yang gemetar terangkat sedikit seolah ingin menjelaskan. “Bos… aku—aku hanya memastikan gadis ini dalam kondisi baik sebelum kau menerimanya.”
Zea terengah berusaha menormalkan detak jantungnya. Tubuh Zea masih menempel di dinding, tetapi matanya menatap Giovanni dengan penuh waspada.
Giovanni mengangkat alisnya sedikit, ekspresinya datar tapi penuh tekanan. “Benarkah?” tanyanya dingin. “Kondisi baik?”
Gin tersenyum canggung, keringat mulai bercucuran di dahinya. “Tentu saja! Aku hanya—”
DOR!
Gin tersentak dan menjerit saat peluru melesat dan menghantam lantai hanya beberapa inci dari kakinya. Zea pun tersentak kaget, napasnya tercekat.
Giovanni masih berdiri santai, seolah tidak peduli baru saja menembakkan pistol di dalam ruangan sempit ini. Dia menghela napas pelan, seolah bosan. “Aku benci kebohongan, Gin.”
Gin tergagap, tubuhnya sedikit gemetar. “Sumpah, Bos! Aku—aku hanya berpikir…”
Giovanni mendekat, dan setiap langkahnya membuat Gin semakin terdesak. Tatapan hitamnya tidak lepas dari bawahannya yang kini tampak seperti tikus ketakutan.
“Aku memberi tugas padamu untuk membawa gadis ini padaku,” Giovanni berkata perlahan, suaranya rendah tapi mengancam. “Bukan untuk menyentuh sesuatu yang bukan milikmu.”
Gin mengangkat kedua tangannya dengan panik. “Aku tidak—Aku tidak menyentuhnya, Bos! Sungguh!”
Giovanni tidak bereaksi seketika. Dia hanya menatap Gin selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya.
Lalu, dengan gerakan cepat dan tanpa ragu, Giovanni menendang perut Gin dengan keras.
“UGH!” Gin terhuyung ke belakang, jatuh berlutut di lantai sambil terbatuk kesakitan.
Giovanni menghela napas muak. “Aku mulai bosan berbicara dengan orang bodoh.” Dia menoleh sedikit ke arah anak buahnya. “Bawa Gin pergi. Aku akan mengurus gadis ini sendiri.”
Anak buahnya segera bergerak, menarik Gin yang masih mengerang kesakitan menjauh.
Zea yang masih berdiri di sudut ruangan merasa tubuhnya kaku. Dadanya naik turun cepat, pikirannya kacau. Dia baru saja lepas dari Gin, tapi sekarang dia berada di hadapan seseorang yang jauh lebih berbahaya.
Giovanni akhirnya mengalihkan pandangannya ke Zea. Dengan tatapan tajam penuh penguasaan, seperti seseorang yang baru saja mendapatkan mainan baru.
“Sekarang,” kata Gio dengan lebih tenang, tapi tetap mengintimidasi. “Apa kau akan melawan, atau kau akan ikut denganku dengan tenang?”
Zea merapat ke dinding, tubuhnya gemetar saat Giovanni Alteza menatapnya dengan mata hitam pekat yang dingin. Dadanya naik turun cepat, pikirannya berteriak untuk lari, tapi tubuhnya terasa berat, seolah kehadiran pria itu saja sudah cukup untuk merenggut seluruh tenaganya.
"Tidak," Zea berbisik, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku tidak mau ikut denganmu."
Giovanni mengangkat alis, ekspresinya tetap datar, tapi ada kilatan ketidaksabaran di matanya. "Menolak?" gumamnya, seolah kata itu sendiri adalah sesuatu yang asing baginya.
Zea menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku bukan barang yang bisa kau bawa sesuka hati!"
Hening sejenak.
Lalu, dalam sekejap mata, Giovanni bergerak.
Zea tersentak saat pria itu tiba-tiba berada tepat di hadapannya, begitu dekat hingga ia bisa mencium aroma maskulin yang tajam dan dingin dari tubuhnya. Sebelum Zea bisa bereaksi, lengan Giovanni melingkar di pinggangnya dan dengan mudah mengangkat tubuhnya ke dalam gendongan.
"Apa—Lepaskan aku!" Zea meronta, tangannya menghantam dada pria itu, tapi Giovanni bahkan tidak bergeming.
Pria itu hanya mendesah pelan, seolah kesal dengan usahanya yang sia-sia. "Aku benci ditolak, Zea Calista." Suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tapi mengandung ancaman yang tak bisa diabaikan.
Zea semakin panik. "Aku bisa jalan sendiri!"
"Terlalu banyak bicara," gumam Giovanni sebelum melangkah keluar dari gedung, membawa Zea dengan mudah di lengannya seperti dia tidak lebih dari boneka kain.
Udara malam menusuk kulit Zea, tapi yang lebih mengerikan adalah kenyataan bahwa dia benar-benar dibawa pergi oleh pria ini. Seorang mafia kejam yang sangat dominan.
Di depan gedung, sebuah mobil mewah berwarna hitam sudah menunggu. Anak buah Giovanni segera membuka pintu untuk bos mereka.
Zea meronta lagi, berusaha kabur, tapi Giovanni hanya mengeratkan cengkeramannya. "Diam." Suaranya datar, tapi cukup membuat Zea membeku.
Tanpa repot-repot menunggu, Giovanni memasukkan Zea ke dalam mobil dengan paksa, lalu duduk di sampingnya. Pintu mobil ditutup dengan bunyi nyaring.
Zea terperangkap.
Jantungnya berdegup kencang saat mobil mulai melaju, membawa dirinya semakin jauh dari kehidupan yang selama ini ia kenal—dan masuk ke dalam dunia milik Giovanni Alteza.