Di kehidupan sebelumnya, Duchess Evelyne von Asteria adalah wanita paling ditakuti di kerajaan. Kejam, haus kekuasaan, dan tak ragu menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Namun, semuanya berakhir tragis. Pengkhianatan, pedang yang menembus perutnya yang tengah mengandung besar itu mengakhiri segalanya.
Namun, takdir berkata lain. Evelyne justru terbangun kembali di usia 19 tahun, di mana ia harus menentukan jodohnya. Kali ini, tekadnya berbeda. Bukan kekuasaan atau harta yang ia incar, dan bukan pula keinginan untuk kembali menjadi sosok kejam. Dia ingin menebus segala kesalahannya di kehidupan sebelumnya dengan melakukan banyak hal baik.
Mampukah sang antagonis mengubah hidupnya dan memperbaiki kesalahannya? Ataukah bayangan masa lalunya justru membuatnya kembali menapaki jalan yang sama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Perbedaan Sikap
Pinter von Zisilus akhirnya sampai berhadapan dengan Duke Astria. Mereka kini tengah duduk di ruang tamu Kediaman Duke Astria. Suasana di antara mereka tampak tegang, hingga helaan napas kasar terdengar dari Duke Astria.
"Tuan, bagaimana jika Anda menikah dengan putri saya, Alena? Putri saya, Evelyne, adalah penerus keluarga ini," ucap Duke Astria dengan berat hati.
Pinter terkekeh sumbang. "Apakah Anda berniat melakukan konfrontasi dan menjadikan anak di perut putri Anda sebagai anakku?"
Deg!
Seketika itu juga, Duke Astria terdiam. Tentang kehamilan Alena, tak ada satu pun yang mengetahuinya. Jika Duke Zisilus bersedia menjadi suami Alena, ia berencana menggugurkan anak yang dikandung Alena. Bagaimanapun, Evelyne adalah penerus keluarga Duke Astria.
"Saya tak pernah berniat menyinggung hal pribadi seperti ini, Tuan Duke. Namun, kehormatan keluarga kami sangat dijunjung tinggi. Anda tak perlu cemas mengenai pengganti Anda di masa depan. Saya berjanji, anak pertama kami akan bermarga Astria," ucap Pinter, berusaha menenangkan Duke Astria.
Namun, kekhawatiran Duke Astria bukan hanya itu. Ada konsekuensi lain, setiap putra atau putri Zisilus pasti akan memakan korban nyawa, yaitu ibunya sendiri. Itu sudah menjadi rahasia umum, dan semua orang mengetahuinya.
"Saya senang mendengarnya. Namun, ada hal lain yang saya harapkan dalam aliansi ini, Tuan Duke," ujar Duke Astria, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Alena hanyalah anak haramnya dan tak sebanding dengan Evelyne, yang memiliki darah bangsawan murni, pendidikan tinggi, serta kecerdasan luar biasa. Selain itu, Evelyne juga sudah mampu menggunakan kekuatan suci dan bisa menyembuhkan keluarga kerajaan.
"Katakan apa yang Anda harapkan?" tanya Duke Zisilus dengan tenang.
"Bisakah Evelyne melahirkan tanpa mempertaruhkan nyawanya?"
Hening. Ruangan itu terasa sesak dalam keheningan yang menyesakkan.
"Itu bisa saya lakukan. Namun, semuanya tergantung pada Lady Evelyne sendiri, sejauh mana kekuatan sucinya dapat digunakan," jawab Duke Zisilus.
Duke Astria tertegun dan menundukkan kepala. Kini tak ada lagi jalan mundur, semua telah terbentuk dan harus dilakukan.
"Malam ini, upacara kedewasaan Evelyne akan dilaksanakan, sekaligus pemilihan suami. Oleh karena itu, saya berharap Anda datang sebagai salah satu pria yang akan dipilih Evelyne," ucap Duke Astria.
Duke Zisilus terdiam. Ia tak yakin akan dipilih oleh Evelyne, mengingat banyak pria rupawan dan berpendidikan menginginkannya malam ini. Namun, teringat kembali ucapan Evelyne beberapa saat lalu, ia menyunggingkan senyum dan mengangguk setuju. Dia tau akan perasannya sendiri pada Evelyne yang sudah tertanam sejak dia kecil, namun kebernainya tak pernah sebesar saat ini.
.
.
Sementara itu, Duchess Astria tengah berbincang dengan putrinya. Evelyne tampak menggenggam setangkai bunga dan duduk berhadapan dengan sang ibu.
"Ibu, bisakah Anda berhenti mengonsumsi teh ini?" Evelyne menunjuk cangkir teh di hadapan sang ibu.
Duchess Astria terdiam sejenak. "Memangnya ada apa sampai putriku tampak begitu cemas?" tanyanya, bingung.
Evelyne mengambil beberapa kertas tipis selebar 1 cm dan sepanjang 5 cm, lalu mencelupkan satu per satu ke dalam teh. Dari hampir 25 kertas, satu di antaranya berubah warna menjadi kuning kecoklatan.
"Teh ini beracun, Ibu," bisik Evelyne.
Seketika itu juga, Duchess Astria terbatuk keras dan menjatuhkan cangkir di atas meja.
"Jangan panik, Ibu, saya mohon. Sejak awal, saya memang curiga ada sesuatu yang aneh dalam teh ini. Meski aroma dan rasanya sangat memikat, teh ini seakan mendapat campuran dari daun lain yang mirip dengan daun teh," lanjut Evelyne.
Duchess Astria menggenggam tangannya sendiri, perasaan takut dan amarah bercampur aduk. Ia tak sadar selama ini telah mengonsumsi sesuatu yang mencurigakan. Bahkan, ia tak tahu siapa yang bermain di balik layar. Melihat sedikit bukti ini, jelas bahwa di dalam kediaman Astria ada mata-mata, atau lebih buruk lagi, ada seseorang yang menginginkan kematiannya.
"Bawa ini ke mana pun, Ibu. Ini akan sangat membantu," ujar Evelyne, menyerahkan kertas uji racun itu pada ibunya.
"Dan saya berharap Ibu merahasiakan kejadian ini terlebih dahulu. Saya juga akan mencari penawar yang tepat," lanjutnya.
Duchess Astria hampir menangis mendengar ucapan putrinya. Ia langsung merengkuh Evelyne dan menahan tangisnya.
"Terima kasih banyak, Nak."
Evelyne mengangguk pelan. Namun, sebelum pembicaraan mereka berlanjut, seorang tamu tak diundang tiba-tiba datang di tengah-tengah mereka.
"Lady Evelyne, kecantikan Anda mengalahkan bunga di taman ini," ucap pria itu, menyerahkan setangkai mawar putih.
Evelyne menatap sosok pria yang baru saja menyapanya, Laksa Aragont. Evelyne bangkit dari duduknya, namun alih-alih menerima bunga itu, ia langsung menunduk memberi hormat layaknya seorang Lady yang terhormat.
"Senang berjumpa dengan Anda, Tuan Laksa. Adakah alasan yang membawa Anda ke sini?" tanyanya sopan.
Seketika itu juga, Laksa mengepalkan tangannya, mencengkeram batang mawar, lalu menatap Evelyne dengan sedikit sinis.
"Malam ini adalah acara pertunangan kita, Lady. Haruskah kita berbicara seformal ini?" tanyanya, berusaha menebarkan pesonanya. Namun sayang, hal itu tak mempan pada Evelyne.
"Memang demikian. Menghormati dan menghargai berlaku dalam hubungan suami-istri. Bagaimana mungkin saya, yang bahkan belum masuk tahap perkenalan, harus berbicara tidak sopan pada Anda, Tuan Laksa?"
Duchess Astria mengangguk pelan. Apa yang dikatakan putrinya memang benar.
Di tengah ketegangan itu, seorang pria bertubuh tinggi dan tegap datang. Ia menunduk memberi salam kepada Duchess Astria, menunjukkan perbedaan sikap antara dirinya dan Laksa.
"Senang berjumpa lagi dengan Anda, Duchess Astria. Akankah saya mendapat waktu seperti yang saya minta beberapa jam lalu?"
Duchess Astria terkekeh dan berdiri. "Senang juga bertemu dengan Anda, Tuan Duke. Tentu saja."
Pinter menoleh ke arah Evelyne dan mengulurkan tangannya. "Bolehkah saya meminta waktu Anda, Lady Evelyne?"
Evelyne menerima uluran tangan itu sebelum akhirnya digandeng oleh Pinter. "Sesuai permintaan Anda, Tuan Duke," jawabnya dengan hormat.
Mereka berjalan menuju taman yang lebih sunyi. Percakapan mereka mungkin akan sedikit lebih pribadi dan tak layak didengar orang lain.
"Anda suka minum teh?" tanya Pinter, berusaha mengalihkan kegugupannya.
"Ya, saya suka beberapa jenis teh. Tuan Duke, apakah Anda gugup?" goda Evelyne, terkekeh kecil. Karena tanpa sengaja Evelyne merasakan bila tangan Piter sedikit bergetar.
"Apakah saya bisa berbohong saat ini? Bukankah sudah sangat jelas?" Pinter menghela napas panjang. Dia sama sekali tak dapat menyembunyikan kegugupannya, Evelyne ingin terbahak, mendapatkan kejujuran dari Duke Zisilus yang terkenal sebagai pedang Kerjaan itu.
"Saya memang pandai menilai orang, dan mata saya cukup jeli melihat tingkah seseorang. Ah, lupakan. Saya lelah bersandiwara. Cepat katakan apa yang Anda inginkan," ujar Evelyne, langsung ke inti pembicaraan. Karena dia yakin bila Piter bukan hanya akan melakukan omong kosong belaka saat ingin bertemu dengannya, selain itu. Evelyne juga ingin tahu apa yang ingin dibicarakan oleh Piter.