Shanna Viarsa Darmawan melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan kehormatannya pada Rivan Andrea Wiratama. Kepercayaannya yang begitu besar setelah tiga tahun berpacaran berakhir dengan pengkhianatan. Rivan meninggalkannya begitu saja, memaksa Shanna menanggung segalanya seorang diri. Namun, di balik luka itu, takdir justru mempertemukannya dengan Damian Alexander Wiratama—paman Rivan, adik kandung dari ibu Rivan, Mega Wiratama.
Di tengah keputusasaan, Damian menjadi satu-satunya harapan Shanna untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi apa yang akan ia temui? Uluran tangan, atau justru penolakan yang semakin menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kita
Ini pertama kalinya Shanna menginjakkan kaki di rumah Damian. Rumah yang kini akan mereka tempati berdua.
Shanna terdiam sejenak di depan pintu, menatap bangunan megah itu dengan perasaan campur aduk. Ada keraguan, ada juga rasa penasaran.
"Ayo masuk," ajak Damian, membuka pintu lebih lebar.
"Ini rumah Om?" tanya Shanna, ragu-ragu.
"Rumah kita," jawab Damian singkat, namun entah kenapa jawaban itu terasa begitu dalam bagi Shanna. Lelaki ini… kenapa bisa sekarismatik ini?
Shanna mengumpulkan keberanian untuk bertanya lagi. "Sejak kapan Om punya rumah di sini? Bukannya Om tinggal di apartemen yang kemarin aku tempati?" Kali ini, suaranya terdengar lebih santai.
"Apartemen itu pun jarang saya tempati. Saya lebih sering tinggal di rumah keluarga," jawab Damian sambil melepas jasnya.
"Lalu ini?" Shanna melirik ke dalam rumah, mengagumi interior yang tampak mewah namun tetap terasa nyaman.
"Saya beli sehari sebelum kita menikah. Hari yang sama juga saya minta orang untuk mengisi interiornya," ucap Damian santai.
Shanna terbelalak. "Serius, Om?"
Damian menoleh, menatapnya sekilas. "Kita butuh rumah untuk membesarkan anak. Apartemen terlalu sempit, tidak ada halaman untuk bermain dan mengeksplorasi lingkungan sekitar. Lihat, meski di pusat kota, rumah ini punya banyak area hijau. Halamannya luas, ada kolam renang. Nanti kita bisa buat mini playground di sana."
Shanna terpaku, bukan hanya karena ucapan Damian yang begitu visioner, tapi juga karena—tunggu, sejak kapan pria itu bisa bicara sebanyak ini?
Shanna melangkah masuk, matanya mengamati setiap sudut rumah yang kini akan menjadi tempat tinggalnya. Nuansa modern dengan sentuhan kayu membuatnya terasa hangat, tidak sekaku yang ia bayangkan sebelumnya.
"Kamu suka?" tanya Damian, memperhatikan ekspresi Shanna yang terlihat kagum.
Shanna mengangguk pelan. "Rumahnya nyaman. Aku kira Om lebih suka sesuatu yang… minimalis dan kaku."
Damian terkekeh kecil. "Saya bukan robot, Shanna. Saya juga butuh tempat yang nyaman untuk pulang."
Shanna terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Damian yang membuatnya merasa… tenang.
"Kamu mau lihat-lihat dulu atau langsung istirahat?" Damian kembali bertanya.
"Aku lihat-lihat dulu, boleh?"
"Tentu. Saya tunjukkan kamarmu."
Shanna mengerutkan kening. "Kamar… ku?"
Damian mengangguk, melangkah lebih dulu ke lantai dua. Shanna mengikutinya dengan sedikit ragu. Mereka akhirnya sampai di sebuah ruangan dengan jendela besar yang menghadap langsung ke halaman belakang. Tempat tidurnya luas, dengan dekorasi yang lembut dan elegan.
"Kamu bisa atur ulang kalau tidak suka," kata Damian, menyadari Shanna hanya berdiri di ambang pintu tanpa berkata apa-apa.
"Bukannya aku tidur sekamar dengan Om?" tanyanya tanpa sadar.
Damian menoleh, menatapnya dalam. "Kamu nyaman tidur sekamar dengan saya?"
Shanna menggigit bibir. Itu bukan pertanyaan yang mudah dijawab.
"Saya akan tetap di kamar saya," lanjut Damian. "Tapi kalau kamu butuh sesuatu, kamar saya di sebelah."
Shanna mengangguk pelan, tidak yakin apa yang ia rasakan saat ini. Namun satu hal yang pasti—hidupnya kini benar-benar berubah.
Shanna melangkah masuk ke dalam kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil membiarkan matanya menyapu setiap sudut ruangan. Semua terasa begitu asing, tapi sekaligus menenangkan.
Damian masih berdiri di ambang pintu, memperhatikannya dalam diam. "Kalau kamu butuh sesuatu, tinggal panggil saya," katanya akhirnya.
Shanna mengangguk pelan. "Om..."
"Hm?"
Shanna menggigit bibir, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kenapa Om melakukan semua ini?"
Damian menatapnya, matanya sulit ditebak. "Semua ini apa?"
"Menikahi aku, membelikan rumah, memastikan aku nyaman..." Shanna menunduk, memainkan ujung selimut dengan gelisah. "Aku tahu aku membawa masalah besar ke hidup Om."
Damian menghela napas pelan. Ia melangkah masuk, bersandar pada dinding sambil menyilangkan tangan di dada. "Shanna, saya bukan orang baik. Saya tidak melakukan ini karena kebaikan hati atau karena saya ingin jadi pahlawan."
Shanna mengangkat wajah, menatap Damian yang kini menatap balik dengan ekspresi serius.
"Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar." Damian melanjutkan, suaranya datar namun tegas. "Saya tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi saya bisa memastikan kamu dan anakmu punya kehidupan yang layak."
Shanna terdiam. Ada sesuatu dalam cara Damian berbicara yang membuat dadanya terasa hangat, tapi sekaligus bingung.
"Sekarang, istirahatlah," kata Damian lagi. "Besok kita akan mulai menata hidup kita yang baru."
Setelah mengatakan itu, Damian berbalik dan melangkah keluar, membiarkan Shanna dengan pikirannya sendiri.
Shanna menghela napas panjang, membiarkan pikirannya mencerna kata-kata Damian. Lelaki itu selalu berbicara dengan nada datar, tapi ada sesuatu di balik sikap dinginnya yang perlahan mulai bisa ia pahami—Damian bukan orang yang suka berbasa-basi, tapi setiap tindakannya selalu penuh perhitungan.
Shanna berbaring, mencoba tidur, namun pikirannya terus mengembara. Rumah ini, kehidupannya yang baru, masa depan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi secepat ini. Ia mengusap perutnya yang masih datar, menyadari bahwa sebentar lagi, akan ada kehidupan kecil yang bergantung padanya.
Entah kapan matanya mulai terasa berat, tapi akhirnya ia tertidur.
Pagi datang dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah tirai. Shanna mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada.
Bunyi ketukan halus di pintu membuyarkan pikirannya.
"Shanna, kamu sudah bangun?" Suara Damian terdengar dari luar.
Shanna bergegas duduk. "Iya, Om. Masuk aja."
Pintu terbuka, memperlihatkan Damian yang sudah berpakaian rapi, mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga siku. Lelaki itu membawa nampan berisi sarapan.
"Kamu pasti lapar," katanya, meletakkan nampan di atas meja kecil di samping ranjang. "Makan dulu sebelum kita pergi ke dokter kandungan."
Shanna mengerjap, terkejut dengan perhatian kecil itu. "Om nyiapin ini sendiri?"
Damian mengangkat alis. "Menurutmu?"
Shanna tersenyum kecil. "Kayaknya lebih masuk akal kalau Om suruh orang buat nyiapin."
Damian tidak membantah, hanya mengambil kursi dan duduk di dekatnya. "Makan sekarang, jangan banyak berpikir."
Shanna menurut, mulai menyendok nasi ke mulutnya. Tapi rasa hangat di dadanya tetap ada—perasaan aneh yang semakin sulit ia abaikan setiap kali melihat sisi lain dari Damian.
Shanna mengunyah pelan, sesekali melirik Damian yang kini sibuk dengan ponselnya. Meski terlihat acuh, lelaki itu tetap duduk di sana, menemaninya sarapan tanpa terburu-buru.
"Om nggak kerja hari ini?" tanya Shanna hati-hati.
"Saya sudah atur jadwal. Hari ini prioritasnya kamu," jawab Damian santai.
Shanna terdiam. Lagi-lagi, lelaki itu menunjukkan perhatian dengan caranya sendiri.
"Kalau udah selesai, siap-siap. Kita ke dokter setelah ini," tambah Damian.
Shanna mengangguk, menyadari satu hal—meski pernikahan mereka bukan karena cinta, Damian tidak pernah mengabaikannya. Dan entah kenapa, itu membuat hatinya sedikit lebih tenang.