NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berbaikan / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Kantor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.

Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.

Karena

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Janji yang Tak Boleh Mati"

Suasana ruangan yang semula sunyi berubah riang. Ada tawa. Ada nostalgia. Dan di balik itu semua, ada kehangatan masa kecil yang pelan-pelan mencairkan beban batin Johan.

Mbak Keyla duduk bersandar santai di sofa kecil ruangan Johan. Seragam satpamnya sudah dilepas, diganti dengan jaket tipis dan sandal jepit—penanda bahwa peran profesionalnya sudah usai. Kini, dia hanya seorang tetangga yang pulang kerja, kembali jadi sosok penggoda penuh canda, yang menyebut Johan dengan nama kecilnya: Jo.

“Jo, kamu masih ingat nggak waktu kecil aku bilang kalau kucing punya sembilan nyawa, dan kamu langsung percaya?” tanyanya, sambil menahan tawa.

Johan mengernyit, mengeruk memori lamanya. “Lupa-lupa ingat sih, Mbak. Emang gimana ceritanya?”

Keyla menyeringai. “Dengerin baik-baik, biar kamu malu dua kali.”

Dan mulailah kisah itu terurai, perlahan.

Katanya, waktu itu si Enjel, kucing oranye kesayangan Johan, tertabrak motor. Tepat di depan matanya. Tubuh mungil itu menggelepar lalu terdiam. Johan kecil panik, tak mengerti kematian. Ia membawa Enjel ke dalam kamar, memberinya makan dan minum seperti biasa. Ditemani doa anak-anak dan harapan polos bahwa tidur itu hanya sementara.

Malam datang, dan orang tuanya baru menyadari tubuh Enjel yang mulai dikerubuti semut, darah kering masih melekat di bulu-bulunya. Papa Johan bersiap menguburkannya, membungkus tubuh kecil itu dengan kain lusuh.

Tapi Johan kecil berdiri di depan pintu, menghalangi langkah sang ayah.

“Pa, jangan dikubur dulu. Dia sebentar lagi hidup lagi,” ucapnya yakin.

“Lho, kok bisa gitu, Jo?” tanya Papanya heran.

“Kucing kan punya sembilan nyawa, Pa. Ini baru nyawa pertama. Masih ada delapan lagi.”

Papanya terdiam, lalu tertawa pelan. “Siapa yang bilang?”

“Mbak Keyla yang bilang, Pa,” sahut Johan polos.

Keyla, yang kini duduk bersila di sofa, tak sanggup menahan tawa saat mengulang cerita itu. “Demi Tuhan, Jo. Muka kamu waktu itu kayak nabi kecil yang yakin banget mukjizat akan turun malam itu juga!”

Johan menutup wajah, tertawa malu. “Pantes aja sekarang aku agak takut sama kucing. Mbak yang bikin trauma.”

Keyla ikut tertawa. Tapi tawa itu perlahan meredup, digantikan jeda hening yang hangat.

Johan menatap ke luar jendela. Senja sudah benar-benar berlalu. Malam menggantung di langit Padang.

“Tapi ngomongin soal hidup dan mati, Mbak...” suaranya menurun, lebih berat. “Menurut Mbak, janji ke orang yang udah tiada itu... harus ditepati nggak, sih?”

Keyla menoleh. Tatapannya berubah. Ada pemahaman yang muncul, seolah ia tahu persis beban yang kini menggelayuti Johan.

Tapi seperti biasa, dia tak langsung menjawab. “Gini, Jo. Menurut kamu, kenapa laut rasanya asin?”

Johan menatapnya bingung. “Kenapa, Mbak?”

“Karena yang manis itu cuma dua: janji palsumu yang manis... dan senyummu yang manis.” Dia terkekeh sendiri.

“Ihhh, Mbak!” Johan memukul bantal kecil di sofa. “Mode serius dong, please.”

“Hahaha, oke oke.” Keyla mengangkat tangan, menyerah. Lalu berkata dengan nada lebih dalam, “Manusia itu sejati, bukan karena sanggup bikin seribu janji... tapi karena bisa menepati satu janji, meski yang dimintai janji sudah tiada.”

Johan tercenung. Kalimat itu menancap pelan, tapi dalam.

“Biar kamu ngerti lebih jelas, Mbak ceritain sesuatu ya,” ucap Keyla. Nadanya berubah. Tak lagi bercanda.

Johan mengangguk.

Keyla menarik napas panjang, menatap kosong ke sudut ruangan. Suaranya tenang, tapi ada getir yang tertahan.

“Dulu, Mbak kenal seorang anak perempuan. Dia dibesarkan bukan oleh ibu atau ayahnya. Waktu usianya belum genap tiga tahun, keluarganya pecah. Ayahnya—yang katanya orang bertanggung jawab—ketahuan selingkuh. Dan bukan cuma selingkuh, tapi juga menghamili wanita itu.

Ayahnya pergi. Nikah sama selingkuhannya. Pergi ke kampung halaman istri barunya. Nggak pernah nengok balik. Nggak pernah tanya kabar.

Ibunya... juga pergi. Tapi dengan luka yang lebih dalam. Dia nggak kuat lihat wajah anaknya—wajah yang terlalu mirip mantan suaminya. Setiap kali menatap mata anak itu, luka-luka masa lalu kembali terbuka. Akhirnya... dia juga pergi. Meninggalkan anak itu.”

Keyla terdiam sejenak. Johan mendengarkan, tak berani menyela.

“Anak itu... tinggal sama nenek dari pihak ibu. Nenek tua yang mungkin satu-satunya orang yang benar-benar tulus dalam hidupnya. Anak itu tumbuh tanpa tahu wajah orang tuanya. Tanpa tahu kenapa mereka pergi. Tanpa tahu kenapa ia ditinggalkan seperti barang tak berharga.”

Suara Keyla makin lirih.

“Tapi dia nggak pernah marah. Nggak pernah dendam. Dia cuma punya satu rasa... penasaran. Kenapa? Kenapa harus dia?”

Dua puluh tahun telah berlalu. Gadis kecil itu tumbuh menjadi perempuan dewasa yang mandiri, keras hati, dan tak mudah tumbang. Di usia lima belas, nenek yang selama ini menjadi satu-satunya keluarga, pergi untuk selamanya. Dunia menjadi sunyi, tapi tidak lantas membuatnya runtuh. Nenek telah meninggalkan banyak warisan berharga, bukan harta, melainkan kebijaksanaan dan keberanian untuk bertahan dalam hidup yang serba tak pasti. Lewat tangan terampilnya yang piawai membuat kue—keahlian yang diwariskan neneknya—ia menamatkan sekolah menengah atas, bahkan mendapatkan sertifikat satpam demi menyambung hidup.

Dan ya, gadis itu adalah aku.

“Hah!” Johan, yang sedari tadi mendengarkan, tak kuasa menyembunyikan keterkejutannya. Ia tak menyangka arah cerita yang begitu personal itu adalah kisah Mbak Keyla sendiri.

“Yapss,” jawab Keyla, senyum tipis menggantung di bibirnya, seperti mengenang sesuatu yang lama dipendam.

Lalu ia melanjutkan. Tentang hidup yang semula mulai tertata, ketika seorang pria datang dan melamarnya. Mereka merancang masa depan, menyusun hari-hari dengan harapan. Tapi hidup, seperti biasa, tak pernah berjalan seindah rencana. Sebuah kabar mengejutkan datang. Ibunya—yang selama ini dikira telah tiada—ternyata dirawat di rumah sakit.

Tanpa pikir panjang, aku—yang saat itu sudah menjadi perempuan dewasa—bergegas ke sana. Bertahun-tahun aku menyimpan tanda tanya besar dalam hati. Nenek selalu berkata bahwa kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan saat aku masih balita. Tapi dari bisik-bisik tetangga, aku mendengar cerita berbeda. Tentang perselingkuhan, pengkhianatan, dan luka yang terlalu dalam untuk diungkap. Semua itu berputar dalam kepala saat aku melangkah menuju ruang perawatan.

Dan saat aku bertatapan dengan ibuku untuk pertama kalinya, semuanya seperti hening. Tak ada kata. Hanya tatapan yang berbicara. Air matanya mengalir lebih dulu, lalu dengan suara yang gemetar, ia berkata, “Sini, Nak, peluk ibumu.”

Aku sempat terdiam. Tapi itu adalah pelukan yang aku rindukan sepanjang hidupku. Maka aku melangkah maju, memeluknya erat. Pelukan yang bukan sekadar rindu, tapi juga pengampunan.

Dalam diam itu, ibu mulai bercerita. Tentang luka, tentang ayahku yang berselingkuh, tentang dirinya yang pergi bukan karena tidak cinta, tapi karena terlalu takut untuk menyakiti. "Ibu minta maaf, Nak," katanya lirih, "Ibu pergi karena Ibu takut. Takut melukai kamu dengan kebencian yang menggerogoti hati ini. Tapi sekarang, Ibu cuma ingin satu hal. Jangan ulangi kesalahan Ibu. Jangan biarkan hidupmu dikendalikan oleh luka."

Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa mengangguk, air mata mengalir begitu saja. Aku berjanji padanya bahwa aku akan menjalani hidup yang berbeda.

Dua hari setelah itu, ibu pergi. Tenang. Dan meski masih ada pertanyaan yang belum terjawab, aku tahu satu hal pasti: hidup ini milikku. Aku tak bisa terus terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Janji pada ibu akan menjadi kompas yang menuntunku melangkah ke depan.

Johan mengusap sudut matanya diam-diam. Tapi air matanya tetap lolos. Kisah itu terlalu dalam. Ia tidak menyangka, bahwa di balik sosok ceria dan kuat Keyla, ada luka yang begitu besar.

Keyla tersenyum, seolah memahami kekalutan Johan. “Nah, Jo... dari cerita itu, gimana menurutmu soal janji?”

Johan menelan ludah, lalu bertanya pelan, “Mbak... maaf. Tapi... gak ada sedikitpun rasa benci untuk orang tuamu?”

Keyla menarik napas panjang. Matanya menerawang jauh. “Bagaimana mungkin aku membenci orang yang bahkan tak pernah benar-benar aku kenal? Wajah mereka, suara mereka, semuanya asing. Tidak ada ruang untuk kebencian di hatiku.”

Johan mengangguk pelan, menyimpan kata-kata itu dalam dadanya. “Masuk akal, Mbak. Menurutku... janji itu harus ditepati, entah kepada siapa. Kepada orang, kepada hewan, bahkan kepada mereka yang sudah tiada. Apalagi kepada Tuhan.”

Keyla menatapnya dengan mata penuh makna. “Bagus, Jo. Kamu akhirnya mengerti.”

Johan tersenyum kecil, agak malu.

“Jo,” ucap Keyla lebih lembut, “kalau kamu memang masih menyimpan janji itu, jalani. Tuntaskan. Janji yang ditepati akan membebaskanmu dari beban masa lalu.”

Johan diam. Lalu mengangguk. “Iya, Mbak. Terima kasih... kata-kata Mbak menyentuh banget.”

Keyla memiringkan kepala, menatap Johan lebih dalam. “Jo... boleh jujur gak? Selama enam tahun ini, kamu seperti mayat hidup. Terjebak dalam kenangan. Setelah semua ini selesai, bukalah hatimu untuk yang baru. Jangan biarkan hidupmu layu.”

Johan tersenyum. Tapi itu senyum getir. “Aku bakal coba, Mbak...”

Vinda Puti Keysha. Nama itu kembali muncul di benaknya. Dan seperti biasa, setiap kali nama itu disebut, senyum Johan selalu berubah jadi pura-pura. Ada luka yang tak pernah sembuh di balik mata yang tampak tenang.

Ia mengalihkan pandangan ke jendela. “Eh, Mbak. Kayaknya suami Mbak nunggu di bawah tuh.”

Keyla ikut melongok, lalu tertawa pelan. “Iya juga, Jo. Gangguin aja terus. Padahal kita lagi asyik ngobrol.”

Tiba-tiba ponsel berdering. “Kring... kring... kring…”

“Eh, beneran. Dia nelfon. Tau aja kalau kita lagi ngomongin dia,” ujar Keyla sembari tertawa. Johan ikut tertawa, tawa yang jauh lebih ringan dari sebelumnya.

“Ya udah, Jo. Aku pamit ya. Terima kasih udah jadi pendengar yang baik.”

“Iya, Mbak. Terimakasih juga atas sarannya, hati-hati. Sampai ketemu lagi.”

Keyla berjalan pergi. Sementara Johan tetap di tempatnya. Terdiam. Tenggelam dalam pikiran tentang masa lalu, tentang janji yang belum tuntas, dan tentang kemungkinan untuk memulai kembali hidupnya yang tertunda

1
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
Mika
anak mapala ternyata, mantan ku anak mapala juga/Chuckle/
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
Lara12
ditunggu updatenya nya/Grievance/
Mika: iyaa, padahal lagi seru serunya/Smirk/
total 1 replies
Lara12
waduhhhh/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!