Kehidupan Elena awalnya baik-baik saja, tapi semuanya berubah saat dia melihat adiknya--Sophia berselingkuh dengan kekasihnya.
Tak hanya itu, Sophia juga memfitnahnya dengan tuduhan pembunuhan terhadap Kakek mereka. Hal itu membuat Elena harus mendekam di dalam penjara selama 5 tahun. Dia kehilangan semuanya dalam sekejap mata.
Elena akhirnya menyadari bahwa Sophia telah merencanakan semuanya sedari awal. Sang adik menggunakan kepribadian yang manis untuk menjebaknya dan mengambil alih harta keluarga mereka.
Setelah keluar dari penjara, dia bertemu dengan seorang pria yang membawa perubahan besar dalam hidupnya. Apakah Elena bisa memulihkan namanya dan membalaskan dendamnya pada sang adik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHIBEL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 - Papa itu apa?
"Mama, kapan kita pulang?" tanya Ken, bocah itu duduk di pangkuan Ibunya dengan tatapan sendu.
Elena tersenyum, tangan kanannya memegang sendok, sedangkan tangan kirinya memegangi mangkuk kecil berisi bubur. "Secepatnya, jika kamu makan dengan lahap dan rajin meminum obatmu, kamu akan cepat sembuh, dan kita bisa pulang ke rumah," jawabnya.
"Ayo buka mulutmu," ucapnya, dia memasukkan sendok yang berisi bubur ke dalam mulut putranya.
Ken menguyah dan menelan makanannya. "Ken maw pulang, di sini banyak olang tidak kenal, Ken tidak suka." ucapnya dengan nada takut.
Elena berpikir, anaknya biasanya sangat ceria dan suka tersenyum kepada banyak orang yang dia temui. Tetapi setelah insiden ini dia menjadi lebih penakut, dia sering duduk sendiri di ranjang inapnya dengan keadaan linglung, meskipun ada beberapa anak yang di rawat bermain bersama. Sekarang Ken juga menjadi lebih manja dari sebelumnya, dia akan langsung menangis jika tangannya tidak di pegang.
Elena menaruh mangkuk yang masih menyisakan sedikit bubur di atas nakas, dia menatap anaknya yang menunduk dengan mata berkaca-kaca.
"Mama janji, Mama akan membawamu pulang secepatnya begitu kamu sembuh. Dan kita tidak akan pernah kembali ke tempat buruk ini, okay?"
"Tapi jika kamu ingin segera pulang, kamu harus bekerja sama agar kita bisa keluar dari sini dengan cepat," ucapnya.
"Benalkah?" balas Ken dengan ekspresi yang lebih cerah.
Elena mengangguk, "Tentu saja," ucapnya. Tangannya meraba ke bawah bantal dan mengambil sesuatu di sana dan menunjukkannya pada Ken.
"Lihat! Paman Matt membawakan mobil-mobilan kesukaanmu, dia akan menemanimu tidur di sini," ujarnya dengan senyum lebar.
Melihat mainan kesukaannya, Ken langsung tersenyum lebar dan memeluk mobil-mobilan itu. Tapi senyum itu tak bertahan lama, wajahnya kembali menampilkan ekspresi murung.
"Mama, Paman Matt dan mobilku semuanya datang ke sini. Kenapa Paman An tidak datang?" tanya anak itu.
Andreas berada di rumah sakit hampir 24 jam saat Ken belum sadar. Tetapi saat Ken sudah bangun dia tidak pernah datang ke sini, dia juga tidak menghubungiku sama sekali, dan itu sudah 3 hari lamanya. Apa yang terjadi? batin Elena.
"Dia pasti sibuk, tidak sepertimu yang hanya makan, tidur dan merengek," jawabnya dengan nada bercanda.
Tok! Tok! Tok!
Pintu ruang rawat Elena diketuk dari luar, seorang perawat masuk dengan membawa nampan. "Ken, apa kamu sudah selesai sarapan?" tanyanya dengan senyum lembut.
Begitu melihat perawat itu Ken langsung berteriak kencang. "AAAAA"
"Jangan mendekat!" ucapnya, dia menyembunyikan wajahnya di dada sang Ibu. "Mama, tidak maw suntik.... huuu huuu huuu. Paman An, Paman Matt, tolong Ken! AAAAAAA!"
Tanpa disangka, Andreas muncul di belakang perawat, Elena yang melihatnya melongo kaget. Andreas mendekat dengan memelankan langkahnya, dia menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya, tanda agar Elena diam.
Saat sampai di samping ranjang, pria itu menarik celana Ken. "AAAA! Jangan lepas celanaku! Jahat.... Pelawat olang jahat!" teriak Ken dengan air mata yang membanjiri wajahnya, tangan kecilnya berusaha menggapai celana yang perlahan melorot ke bawah.
"AAAAAAA!"
Celanannya berhasil di lepas Andreas, anak itu menangis dengan keras. Elena langsung memberikan tatapan tajam kepada pria di sampingnya, sedangkan Andreas tersenyum lebar sembari mengangkat celana si kecil.
Dia menunduk dan menoel pantat lembut Ken, "Hei anak kecil, berhenti menggerakkan pantatmu. Aku akan menyuntikkan jarum ini, jadi kamu harus bekerja sama. Jika aku gagal di percobaan pertama, maka aku akan terus mencobanya hingga jarumnya menancap di pantatmu."
Setelah mengatakan itu, Andreas mengangkat Ken dan kembali membuat anak itu berteriak keras. Rasa takut yang menghantuinya membuatnya tidak sadar jika yang berbicara padanya bukanlah perawat.
Andreas kembali memakaikan celana pada Ken. "Dasar, apa kamu tidak mengenali suaraku?" ujarnya.
Ken mengangkat kepalanya, saat itu juga dia melihat perawat tersenyum dan melambaikan tangan padanya. "Mama, aku tidak maw....." ucapnya dan kembali menangis keras.
Elena memutar bola matanya malas, dia berdiri dan mengambil alih Ken ke dalam gendongannya. "Cukup, kamu itu sudah tua, kenapa masih mengganggu anak kecil? Perhatikan juga sekarang ada di mana," ucapnya.
Andreas tidak menjawab, sejak tadi dia selalu mengembangkan senyum. Ada apa dengan pria ini, pikir Elena dengan tatapan bingung.
Wanita itu kemudian menatap perawat yang sejak tadi tidak berubah posisinya. "Oh iya, Sus. Apakah Ken masih harus di infus?" tanyanya.
Perawat itu tersenyum dan menghelas napas lega. Akhirnya mereka menyadari keberadaanku, begitulah pikirnya.
"Tidak perlu lagi, kedatangan saya ke sini ingin memberitahu jika dosis obatnya dikurangi separuh," jelasnya, kemudian dia meletakkan bungkusan obat di atas nakas.
"Obatnya saya taruh di sini, saya akan pergi sebelum si kecil melihat saya lagi dan menangis," ucapnya lalu melangkah keluar.
Ken sudah berhenti menangis, tetapi masih menyembunyikan wajahnya di pundak Ibunya. Setelah beberapa menit, anak itu mengangkat kepalanya karena ruangan yang terasa sunyi. Dia menoleh ke kanan ke kiri, begitu dia menghadap depan, ekspresinya menjadi sumringah.
"Paman An!" panggilnya dengan bahagia, dia menjulurkan kedua tangannya meminta untuk di gendong Andreas. "Ada olang jahat, aku takut! Peluk, peluk!"
Begitu Andreas menggendongnya, bocah itu langsung memeluknya dengan erat. Elena melipat kedua tangannya di depan dada dan membatin, "Apa ekspresi sedihnya tadi hanya acting? Begitu dia melihat Andreas dia langsung tersenyum lebar!"
"Paman An, aku sangat melindukanmu," ucap Ken.
"Paman juga sangat sangat merindukanmu. Hanya beberapa hari Paman tidak melihatmu, dan saat ini kamu terlihat sangat keren," balas Andreas.
Mendapat pujian itu, Ken kembali melebarkan senyumnya. "Apakah kelen lebih baik dari tampan?" tanyanya.
Andreas menurunkan Ken di atas kasur, "Iya, tapi kamu juga tampan seperti Paman," jawabnya.
Ken lalu menatap Ibunya, "Mama, kata Paman Matt aku tidak milip Mama. Apakah aku tampan sepelti Paman An?" tanyanya.
Elena mencubit pipi anaknya, "Berhenti berbicara konyol, anak nakal."
Tanpa di sangka Ken menjulurkan lidahnya pada sang Ibu. "Wlekkkk."
"Oh, kamu ingin menjadi anak pembangkang?" tanya Elena, dia ingin memegang bocah itu tetapi Ken lebih dulu bergelayut di lengan Andreas.
"Jangan banyak bergerak, lukamu belum sembuh," ucap Andreas saat Elena berusaha mengambil alih Ken. "Apakah kamu ingin di rawat di sini lagi?"
"Benangnya sudah di lepas, lukanya juga sudah mulai mengering dan tidak akan terbuka lagi. Kenapa sekarang kamu cerewet seperti ibu-ibu?" jawab Elena.
Andreas mendekatkan wajahnya, "Aku hanya khawatir pada istriku, tidak boleh?" ucapnya dengan senyum miring.
"Enyahlah, siapa yang kau sebut istri?!"
Elena berbalik dan mengambil mangkuk serta sendok bekas bubur, "Aku akan mencuci mangkuk ini, tetaplah di sini dan jaga Ken. Aku akan segera kembali," ujarnya.
Begitu Elena keluar, Andreas dan juga Ken duduk di atas ranjang pasien. "Anak manis, kamu harus mengganti panggilanmu padaku mulai sekarang," ucapnya.
Dia mengelus rambut Ken dengan sayang, "Jika di depan Mama mu, kamu boleh memanggilku Paman. Tapi jika tidak ada Ibumu, kamu harus memanggilku Papa, mengerti?"
Ken menatap Andreas saat mendengar kata Papa. "Papa itu apa?" tanyanya.
Andreas mengelus dagunya, mencari kalimat yang pas agar sang anak langsung paham. "Papa itu? Papa itu aku, orang yang menjadi pacar ibumu, jadi mulai sekarang kau harus memanggilku Papa."
"Ayo panggil aku Papa," desak Andreas.
Ken menatap Andreas dengan diam, dia masih mencoba mencerna kalimat itu. Tiba-tiba dia berdiri dan memeluk leher Andreas. Bocah itu diam sejenak sebelum membisikkan kata di telinga Andreas.
"Papa."
Bersambung
Terima kasih sudah membaca 🤗