seorang anak perempuan bercita-cita untuk sukses bersama sang ayah menuju kehidupan yang lebih baik. banyak badai yang dilalui sebelum menuju sukses, apa saja badai itu?
Yok baca sekarang untuk tau kisah selanjutnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica Wulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kerja
Jam menunjukkan pukul satu siang. Aisyah, dengan seragam putih abu-abu yang masih rapi, bergegas mengayuh sepedanya. Rambutnya yang panjang diikat kuncir kuda, tergerai sedikit tertiup angin. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di warung Bude Rita, warung kecil namun ramai di dekat sawah di desanya. Detak jantungnya berdebar, campuran antara rasa gugup dan antusias.
Sesampainya di warung, suasana masih sepi. Hanya terdengar suara cicit jangkrik dan gemerisik daun-daun. Warung Bude Rita sederhana, namun bersih dan tertata rapi.
"Assalamu'alaikum bude... " ucap aisyah
"Waalaikumsalam, loh udah pulang sya ? Masuk, masuk! Alhamdulillah, kamu sudah datang," sapa Bude Rita, suaranya hangat
Aisyah tersenyum malu, "Iya Bude. Maaf kalau Aisyah telat."
"Tidak apa-apa, Nak. Lagian masih sepi. Ayo, duduk dulu. Bude akan menjelaskan pekerjaanmu." Bude Rita menepuk kursi kosong di sampingnya. Aisyah duduk, sedikit canggung.
"Jadi begini, Aisyah. Kerjamu di sini sederhana. Kamu akan membantu melayani pembeli, menata barang, dan menghitung uang. Bude sudah menyiapkan buku catatan harga barang ini," Bude Rita memberikan buku kecil berwarna biru muda kepada Aisyah. "Di sini tercatat harga semua barang dagangan. Jangan sampai salah, ya. Kalau ada yang tidak kamu mengerti, tanyakan saja sama bude."
"Selain itu, kamu juga harus menjaga kebersihan warung. Sapu lantai kalau sudah kotor, bersihkan meja setelah pembeli selesai. Mudah, kan?"
"Mudah, Bude," jawab Aisyah mantap.
"Bagus. Gaji kamu akan dibayar setiap hari ya dya. Tidak banyak, tapi cukup untuk jajan dan sedikit tabungan. Yang penting rajin dan jujur," Bude Rita menatap Aisyah dengan penuh perhatian.
"Terima kasih, Bude. Saya akan bekerja dengan jujur dan rajin," Aisyah berkata dengan sungguh-sungguh. Ia merasa nyaman dengan keramahan Bude Rita.
"Nah, sekarang coba kamu pelajari buku catatan harga ini dulu. Nanti kalau sudah hafal, kita latihan melayani pembeli," Bude Rita menunjuk beberapa barang di rak.
Aisyah mengangguk, matanya fokus pada buku catatan itu. "Baik, Bude. Saya akan berusaha sebaik mungkin."
...----------------...
Mentari sudah benar-benar tenggelam, memunculkan langit malam yang gelap bertabur bintang. Bude Rita telah masuk ke rumahnya, meninggalkan Aisyah sendirian menjaga warung. Tiba-tiba, terdengar suara motor berhenti di depan warung. Ustadzah Ela, guru mengaji Aisyah yang dikenal ramah dan baik hati, turun dari motornya. Ia hendak membeli beras.
Melihat Aisyah yang sedang membereskan beberapa barang, Ustadzah Ela tersenyum. "Assalamu'alaikum, loh aisyah? Kamu yang jaga warung malam ini?" tanyanya lembut.
Aisyah sedikit terkejut, lalu tersenyum malu. " Wa'alaikumussalam Iya, Ustadzah. Baru hari ini untuk bantu Ayah," jawabnya.
"Oh, begitu. Baru hari ini? Rajin sekali kamu, Nak," puji Ustadzah Ela. "Ibu ingin membeli beras, ada yang 5 kg dan 3 kg?"
"Ada, Ustadzah. Sebentar ya," Aisyah mengambil dua karung beras, satu berukuran 5 kg dan satu lagi 3 kg. Ia menimbangnya kembali untuk memastikan beratnya.
Setelah Ustadzah Ela membayar, ia menyerahkan kantong yang berat 3kg "Ini untukmu, Aisyah," kata Ustadzah Ela, sambil memberikan kantong itu pada aisyah
Aisyah kaget. "Ustadzah, ini nggak perlu. aisyah tidak enak menerima ini," tolaknya.
Ustadzah Ela tersenyum hangat. "Ambil saja, Nak. Anggap saja ini hadiah untukmu. Semoga kamu semangat bekerja dan selalu rajin. Beras ini bisa kamu masak untuk keluarga di rumah."
Aisyah masih ragu, tetapi melihat senyum tulus Ustadzah Ela, ia akhirnya menerima pemberian tersebut. "Alhamdulillah Terima kasih banyak, Ustadzah. Saya akan selalu berusaha bekerja dengan baik," katanya dengan hati yang penuh syukur. Ustadzah Ela kembali tersenyum, lalu pamit pulang. Aisyah kembali menatap karung beras 3 kg di tangannya, hatinya terasa hangat dan terharu atas kebaikan Ustadzah Ela. Ia merasa beruntung memiliki guru mengaji yang begitu perhatian dan baik.
Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Aisyah mulai membereskan warung, bersiap untuk pulang. Saat Bude Rita keluar dari rumahnya, Aisyah segera menghampirinya. Wajahnya sedikit cemas.
"Bude," panggil Aisyah. "Tadi... Emm Ustadzah Ela beli beras 8 kg, 5 kg dan 3 kg. Terus Ustadzah Ela ngasih saya 3 kg nya, Bude." Aisyah menjelaskan dengan terbata-bata, takut Bude Rita salah paham.
Bude Rita tersenyum, "Oh, begitu? Tidak apa-apa, Nak. Ustadzah Ela memang orangnya baik hati. Kamu nggak perlu khawatir, bude percaya sama kamu kok aisyah. "
Rasa lega memenuhi hati Aisyah. "Alhamdulillah, Bude. Saya takut Bude mengira saya mengambil beras itu," ucapnya.
Bude Rita tertawa kecil. "Kamu ini, jujur sekali. Itulah yang bagus, Nak. Kejujuran itu lebih berharga daripada apapun." Bude Rita kemudian mengeluarkan uang dari dompetnya. "Ini gajimu hari ini, 25 ribu. Kerjamu hari ini sudah bagus."
Aisyah menerima uang itu dengan senang hati. "Terima kasih, Bude!"
Bude Rita menambahkan, "Oh iya, tadi bude masak ayam terlalu banyak. Ini, bawa pulang untuk kamu ya aisyah. Buat lauk makan malam." Bude Rita menyerahkan tiga potong ayam goreng yang masih hangat dan harum.
Mata Aisyah berbinar. "Alhamdulillah Terima kasih banyak, Bude! Saya pulang dulu, ya assalamu'alaikum."
" Wa'alaikumussalam Iya, Nak. Hati-hati di jalan!" Bude Rita melambaikan tangan.
Aisyah tersenyum lebar, hatinya dipenuhi rasa syukur dan kebahagiaan. Ia mengayuh sepedanya pulang, membawa uang, ayam goreng, dan beras pemberian Ustadzah Ela. Cahaya bulan malam itu seakan lebih terang, menyertai langkahnya pulang ke rumah.
Sepeda Aisyah berhenti di depan rumah kecil mereka. Begitu masuk, ia melihat Ramlan, ayahnya, baru selesai sholat Magrib. Ramlan tersenyum hangat menyambut putrinya.
"Assalamu'alaikum Ayah!" seru Aisyah, segera menunjukkan beras dan ayam goreng yang dibawanya. "Ayah, lihat! Ini hadiah dari Ustadzah Ela dan Bude Rita!" Wajahnya berseri-seri.
Ramlan tersenyum bangga melihat putrinya. "Alhamdulillah, nak ini namanya rezeki dari allah. Ini semua hasil kerja kerasmu, ya?"
Aisyah mengangguk, kemudian mengeluarkan uang 25 ribu dari sakunya dan memberikannya pada siang ayah "Ini juga, Yah, gaji pertamaku dari Bude Rita."
Ramlan menggeleng lembut. "Tidak usah, Sayang. Simpan saja uangnya. Itu hasil jerih payahmu. Untuk jajan dan tabunganmu ya. "
"Tapi, Yah…" Aisyah masih ragu.
"Tidak apa-apa, Nak. Ayah senang kamu sudah bekerja keras hari ini. Yang penting kamu istirahat yang cukup. Jangan sampai kelelahan." Ramlan mengusap lembut kepala Aisyah. Ia melihat putrinya tampak sedikit lelah, tetapi matanya berbinar dengan kebahagiaan.
Aisyah tersenyum, merasakan kasih sayang ayahnya. Ia menyimpan kembali uang itu, merasakan kehangatan keluarga yang begitu berarti. Aroma nasi dan ayam goreng yang baru dimasak tercium harum, menambah kebahagiaan malam itu.
Di dapur kecil mereka yang sederhana, Aisyah dan Ramlan makan malam bersama. Aroma ayam goreng yang harum memenuhi ruangan. Aisyah makan dengan lahap, sesekali ia melirik ayahnya.
"Enak sekali, Yah," kata Aisyah, gigitan ayamnya terdengar renyah. "Sudah lama sekali kita nggak makan ayam."
Ramlan tersenyum getir, "Iya, Sayang. Ayah masih belum bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu." Suaranya terdengar lesu.
Aisyah berhenti makan, melihat wajah ayahnya yang tampak sedih. "Ayah, jangan sedih. Aisyah senang kok. Hari ini Aisyah dapat gaji pertama, dan ada beras serta ayam dari Ustadzah Ela dan Bude Rita. Aisyah bersyukur yah."
Ramlan mengusap lembut tangan Aisyah. "Ayah sedih karena belum bisa membahagiakanmu sepenuhnya, Nak. Ayah ingin kamu bisa hidup lebih nyaman, bisa sekolah dengan tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan tapi.... ayah malah membuat kamu merasakan hidup susah nak..maafkan ayah. "
"Ayah jangan nangis yah, aisyah ikut sedih hiks hiks.... Aisyah tidak apa-apa. Selama Ayah masih ada, Aisyah tetap bahagia. Ayah tidak perlu memikirkan hal itu. Aisyah senang bisa membantu Ayah. Kerja di warung Bude Rita menyenangkan, dan Bude Rita sangat baik padaku. Teman-teman di sekolah juga baik. Ayah jangan banyak pikiran, ya?" Aisyah berkata dengan lembut, mencoba menghibur ayahnya.
Ramlan menatap mata putrinya yang bersinar. "Ayah bangga padamu, Sayang. Kamu anak yang baik, rajin, dan selalu berpikir positif. Ayah bersyukur memiliki anak sepertimu." Ia meraih tangan Aisyah dan menggenggamnya erat.
"Ayah, sebenarnya Aisyah juga ingin sekali bisa membantu Ayah lebih banyak lagi. Aisyah ingin Ayah tidak terlalu lelah bekerja. Aisyah akan terus berusaha belajar dengan rajin, agar kelak bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dan bisa membahagiakan Ayah," kata Aisyah dengan suara yang sedikit bergetar.
Ramlan mendekap pundak Aisyah, "Ayah tahu, Sayang Ayah percaya padamu. Kamu anak yang hebat. Teruslah belajar, teruslah berjuang. Ayah selalu mendukungmu." Ia tersenyum, rasa sedihnya sedikit berkurang. Melihat semangat dan kasih sayang putrinya, ia merasa kekuatan baru dalam dirinya. Mereka melanjutkan makan malam dalam suasana yang lebih hangat dan penuh cinta. Meskipun hidup mereka sederhana, kasih sayang di antara mereka menjadi harta yang tak ternilai harganya.
...****************...
Hari Minggu pagi, mentari bersinar cerah. Aisyah berniat membantu ayahnya di sawah. Langkahnya ringan, mengharapkan hari yang baik. Namun, takdir berkata lain.
"Aisyah tunggu...... "
Saat ia hampir sampai di sawah, Alya, anak paman dan bibinya, berlari menghampirinya. Alya memamerkan ponsel baru yang berkilauan di tangannya.
"Lihat, Aisyah! Ponselku baru! Keren, kan?" Alya berkata dengan nada mengejek. "Kamu pasti nggak mampu beli kayak gini, kan? Makan aja masih susah hahaha. "
Aisyah ingin marah, tapi ia sudah terbiasa dengan hinaan Alya. Ia hanya menjawab dengan tenang, "Iya, Alya. Keren."
Melihat Aisyah yang tidak menunjukkan rasa iri, Alya malah semakin menjadi-jadi. Ia mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam video Aisyah.
"Hai, guys! Lihat nih, anak miskin pakai baju lusuh! Kasian banget, ya? Gak punya duit buat beli baju bagus! Apa ada yang mau kasih barang bekas? UPS sorry hihi! ." Alya tertawa mengejek, mengarahkan kamera ke Aisyah yang berusaha menahan air matanya.
"Alya, berhenti!" pinta Aisyah, suaranya bergetar. "Hapus videonya!"
Namun, Alya semakin menjadi-jadi. Ia terus merekam dan menghina Aisyah. Setelah puas merekam, Alya melakukan hal yang lebih kejam.
*Byurrrrrh*
Ia mengambil lumpur sawah yang ada di dekatnya dan menyiramkan ke tubuh Aisyah. Kemudian, ia tertawa terbahak-bahak dan pergi meninggalkan Aisyah yang basah kuyup dan berlumuran lumpur.
"*Ya allah, kenapa aisyah selalu di hina. Apa salah aisyah ya allah sampai sampai semua orang seperti ini, apa salah menjadi orang miskin? aisyah ngga meminta takdir seperti ini ya allah hiks hikss*... "
Aisyah menangis sebentar, air matanya membasahi pipinya yang kotor. Namun, ia segera menghapus air matanya. Ia tidak ingin ayahnya melihatnya sedih. Dengan langkah gontai, ia menuju sungai kecil di dekat sawah untuk membersihkan diri. Ia harus tetap kuat, untuk dirinya sendiri dan untuk ayahnya.