NovelToon NovelToon
Mawar Merah Berduri

Mawar Merah Berduri

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nur Aini

Mawar merah sangat indah, kelopak merah itu membuatnya tampak mempesona. Tapi, tanpa disadari mawar merah memiliki duri yang tajam. Duri itulah yang akan membuat si mawar merah menyakiti orang orang yang mencintainya.

Apakah mawar merah berduri yang bersalah? Ataukah justru orang orang yang terobsesi padanyalah yang membuatnya menjadi marah hingga menancapkan durinya melukai mereka??!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

2 Hampir saja!

"Gue gak bisa bang, cari yang lain aja."

Adit bicara melalui panggilan telepon, sementara Inne duduk di kursi ruang ganti, mengelap wajahnya yang basah dengan handuk kecil yang tadi diberikan Adit padanya.

"Ini kompetisi besar, Dit. Rugi kalau kamu menolak tawaran ini. Papa kamu juga mensponsori acara ini."

"Gue gak tertarik buat ikut ajang seperti itu bang. lagian bulan depan gue mau ujian tengah semester."

"Acaranya mulai pertengahan minggu ini, Dit. Finalnya juga masih tiga bulan lagi. Abang jamin gak akan ganggu kuliah kamu."

"Gue benaran gak bisa, bang. Cari yang lain ajalah."

Saat mengatakan itu Adit menoleh kearah kekasihnya yang malah mengangguk seakan memberi isyarat agar Adit menerima saja tawaran itu.

"Gini aja deh, kamu datang dulu ke kantor. Nanti kita bicarakan lagi."

"Hmm, lihat nanti deh, bang."

Panggilan berakhir, lalu Adit mendekati Inne dan duduk di samping Inne, sementara kepalanya dia rebahkan di pundak kekasihnya itu.

"Bang Romi mau aku ikut ajang pemilihan Idol boys."

"Bagus dong, kok malah nolak?"

"Males ah."

"Kenapa?"

"Nanti jadi sibuk. Kamu kan tahu sendiri, aku gak bisa kalau seharian gak ketemu kamu, sayang."

Inne tersenyum senang mendengar pengakuan Adit barusan.

"Tapi papa kamu sponsor terbesar di acara ini loh, Dit."

"Iya aku tahu, sayang. Tapi, nanti aku jadi sibuk terus gak ada banyak waktu buat kita ketemu, gimana?"

"Ya gak apa apa. Malah bagus dong."

"Kamu tu kok gitu sih, In. Kamu risih ya karena aku ngajak ketemuan setiap hari?!" tuduhnya mulai merajuk lagi.

"Bukan begitu, Dit. Aku gak pernah berpikir seperti..."

"Udah lah. Kamu emang cuma peduli sama orang lain dibanding aku." Adit merajuk.

Dia membanting pintu loker sangat kuat setelah mengambil bajunya, lalu dia berlalu pergi masuk keruang ganti.

Inne hanya bisa menarik napas dalam dan mencoba untuk lebih sabar menghadapi emosi kekasihnya yang begitu mudah terpancing.

"Aku lapar. Aku mau makan di rumah kamu." ucapnya begitu keluar dari ruang ganti dengan sudah berpakaian rapi dan wangi tentu saja.

Inne hanya diam menyentuh pakaian dibadannya yang masih sangat basah. Telinganya pun terasa pengap karena jilbabnya juga basah.

"Tunggu!" ujar Adit saat menyadari itu.

Dia pun langsung menelpon seseoarang untuk membawakan pakaian ganti buat Inne.

Tidak berselang lama, seorang pelayan hotel datang memberikan paper bag pada Adit yang akhirnya dia berikan pada Inne.

"Ganti baju dulu, sana. Nanti kamu masuk angin."

"Hmm." angguk Inne sambil tersenyum lega karena Adit sudah tidak semarah tadi.

Inne pun bergegas mengganti pakaiannya. Adit membelikannya baju baru lagi dan harganya tentu saja sangat mahal bagi Inne.

Dia keluar dari ruang ganti dengan suasana hati yang tidak begitu baik.

"Dit..."

Adit menoleh kearah Inne. Tatapannya tampak kagum melihat betapa cantik dan anggunnya kekasihnya memakai pakaian sesuai pilihannya.

"Pacarnya aku memang selalu cocok memakai pakaian seperti ini." pujinya yang langsung menghampiri Inne.

"Dit, jangan sering membelikan barang barang yang harganya mahal. Aku keberatan."

"Kenapa sih sayang, tinggal terima aja kok susah."

"Tapi, Dit..."

"Sudah sayang, aku gak mau berdebat sama kamu sekarang. Suasana hati aku sudah sangat bahagia saat ini dengan melihat betapa cantiknya kamu, sayangku."

Adit merangkul pinggang Inne dan membawanya untuk ikut melangkah.

Mereka akan menuju rumah Inne untuk makan siang. Adit ketagihan masakan bundanya Inne yang selalu lezat dan sangat cocok dilidahnya.

"Bunda sepertinya mulai curiga sama kita, Dit."

"Bagus dong."

"Loh kok bagus..."

"Lah iya sayang. Kalau nanti bunda tiba tiba tanya hubungan kita, ya tinggal jawab aja kita saling mencintai. Masalah selesai, kamu tidak perlu repot menyusun rencana untuk memberitahu bunda tentang kita."

"Adit ih, kamu mah susah mengerti."

"Iya sayang, aku mengerti. Wajar sih bunda curiga, karena aku selalu mampir untuk makan siang saat hari sabtu dan hanya kita berdua. Tapi, selama bunda gak nanya tentang hubungan kita, ya kita biarin aja. Kita anggap saja bunda gak curiga sama kita."

Adit mengatakan itu sambil mengusap kepala Inne. Adit tahu kekasihnya itu sangat gugup saat ini. Tapi, tidak ada pilihan lain saat perut Adit lapar, karena dia sudah tidak tahan mau segera makan masakan bunda.

"Tapi, kenapa sih kamu masih mau merahasiakan hubungan kita dari bunda? Kita udah hampir setahun loh, In." Adit mulai penasaran.

Inne tampak bingung harus menjelaskan seperti apa.

"Bunda selalu membanggakan aku saat bunda bicara dengan teman teman dan rekan kerjanya, Dit. Bunda bilang sama mereka kalau aku tu anak yang sholehah, penurut, gak pernah pacaran, hanya sibuk belajar dan mengajar les. Aku gak kebayang gimana kecewanya bunda nanti saat bunda tahu tentang hubungan kita, Dit."

Inne menatap sendu kearah Adit, dia ingin Adit mengerti alasannya yang masih merahasiakan hubungan mereka pada bunda.

"Maaf ya sayang, aku malah jadi maksa kamu buat ngasih tau hubungan kita. Tapi, sekarang aku paham." Adit mengelus lembut punggung kekasihnya untuk menenangkan perasaannya yang sedang tidak baik baik saja.

Tidak terasa kini mereka tiba di rumah Inne. Bunda menyambut Adit dengan ramah seperti biasanya. Tidak di pungkiri, bunda tampak curiga mengenai hubungan keduanya. Karena, beberapa bulan terakhir, Adit selalu datang sendiri ke rumah, tidak seperti biasanya yang kalau datang selalu dengan tiga orang teman lainnya.

"Obi, Timo sama Dinda kok gak ikut?" tanya bunda yang membuat raut wajah Inne dan Adit seketika menciut.

"Biasa bunda, mereka kalau mau dekat ujian tu susah di ajak main. Mau fokus belajar gitu." Sahut Adit.

"Lah kalian berdua kenapa gak ikut belajar bareng mereka?"

"Aku kan sibuk ngajar les, bunda. Kalau Adit mah, gak usah belajar juga nanti nilai ujiannya tetap yang paling bagus."

"Begitukah?"

"Iya bunda."

"Ya sudah, ayo kita makan. Bunda sudah masak banyak loh Dit. Tadi bunda kira yang lain ikut gabung."

Adit dan Inne ikut bunda menuju meja makan. Benar saja, meja makan penuh dengan berbagai macam jenis masakan yang tentunya tampak lezat seperti biasanya.

"Bunda harusnya sih buka rumah makan." puji Adit.

"Begitu? Ah tapi nanti pelanggan protes karena masakannya gak enak."

"Masakan bunda bikin ketagihan, bun. Aku saja suka makan disini karena masakan bunda tu enak banget gak kalah sama masakan restoran. Iya kan saya..."

Inne menginjak kaki Adit di bawa meja saat Adit hampir saja keceplosan memanggilnya dengan sebutan sayang. Inne juga melihat jelas raut wajah bunda yang terkejut mendengar Adit memanggil Inne seperti itu.

"Iya kan, In?" Dengan cepat Adit kembali bicara dengan memanggil Inne hanya dengan nama seperti biasanya.

"Iya dong. Masakan bunda emang yang terbaik. Dinda juga suka, apa lagi Timo sama Obi." sambung Inne cepat untuk mengalihkan suasana yang sempat terasa mencengkam.

Bunda pun tersenyum, lalu dia mengambil sepotong telur dadar andalannya yang dia letakkan kedalam piring Adit. Adit pun merasa terkejut karena ini kali pertama bunda melakukan itu padanya. Adit menahan senyum bahagia karena dia merasa seperti baru saja mendapat restu dari bunda.

"Bunda, telur dadarnya kan tinggal satu potong kok malah di kasih Adit sih?!" Rengek Inne manja pada bundanya.

"Kamu kan sudah sering makan telur dadar buatan bunda. Adit kan jarang." sahut bunda.

"Nah dengar tu kata bunda. Telur dadar ini membuktikan bahwa yang sebenarnya anak kandung itu adalah aku. Kamu tu anak adopsi." Adit menggoda Inne.

"Bunda lihat tu Adit..." adunya pada bunda.

"Sudah sudah, kalian itu sukanya bertengkar gak tau tempat seperti bocah SD saja."

"Habisnya Adit ngeselin sih."

"Ye, kamu nya aja yang baper."

"Tuh kan bunda, Adit ngatain aku baper."

Bunda hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala saja saat dua anak muda itu saling berdebat tidak ada habisnya.

*Tampilan Inne dg baju pilihan Adit*

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!