Sabrina rela meninggalkan status dan kekayaannya demi menikah dengan Zidan. Dia ikut suaminya tinggal di desa setelah keduanya berhenti bekerja di kantor perusahaan milik keluarga Sabrina.
Sabrina mengira hidup di desa akan menyenangkan, ternyata mertuanya sangat benci wanita yang berasal dari kota karena dahulu suaminya selingkuh dengan wanita kota. Belum lagi punya tetangga yang julid dan suka pamer, membuat Sabrina sering berseteru dengan mereka.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
“Kamu dijadikan babu sama si Zidan!” serunya, seperti komandan perang yang baru tahu pasukannya menyerang musuh.
Lengkingan suara Mami Martha di ujung telepon nyaris memecahkan gendang telinga. Sabrina spontan menjauhkan ponsel sejauh lengan. Telinganya berdenging seperti habis nonton konser rock 'n roll di barisan paling depan.
Sabrina mengusap telinga kanan sambil memiringkan kepala. “Aduuuuuh, ini, sih, teror audio. Bisa-bisa telinga aku punya masalah nanti,” gumamnya lirih.
“Tidak, Mami,” sahut Sabrina cepat. Suaranya pelan, tetap mencoba bertutur kata dengan lembut. “Mami salah paham. Aku di sini banyak belajar agar bisa menjadi istri yang baik—”
“Menjadi istri yang baik bukan berarti kamu dijadikan babu!” potong Mami Martha dengan suara yang bisa membelah kelapa. “Seumur-umur Mami atau Papi nggak pernah nyuruh kamu nyapu, ngepel, apalagi cuci piring!”
Sabrina terdiam sejenak, lalu mengangkat alis sambil mencibir kecil. “Tuh, Shaka suka nyuruh-nyuruh aku! Berarti aku udah jadi babu dari kecil, dong, sama saudara sendiri.”
“Ya, beda, dong, Sabrina! Shaka itu keluarga kamu—”
“Mamah Maryam dan Kang Zidan juga keluarga aku,” balas Sabrina, dengan nada seperti petugas debat pemilu yang siap menyerang balik.
Mami Martha langsung mendesah panjang. Karena merasa putrinya sudah banyak berubah.
“Aduuuuuh. Kepala Mami sakit!” rengek Bu Martha di sebrang sana, seperti tensian darahnya langsung naik.
Sabrina sontak panik. “Mami? Mami kenapa? Jangan bilang Mami pingsan. Jangan dulu, ya, Mi!”
Mami Martha tersedu di ujung sana. “Sekarang kamu suka melawan .…”
“Melawan apanya, Mami? Aku cuma bicara sesuai fakta,” tukas Sabrina sambil mengusap pelipis. “Udah deh, Mami jangan nangis begitu! Nanti cepat tua, lho.”
Mami Martha langsung terdiam. “Apa hubungannya menangis sama cepat tua?”
Sabrina terkikik, semangat menyala. “Lho, ya jelas ada! Kulit wajah ketarik saat nangis, kan? Di mata, bibir, pipi … nah, dari situ muncul kerutan-kerutan halus pada wajah. Bukannya Mami selalu mau kelihatan awet muda, kan?”
Seketika sunyi. Hanya terdengar napas berat Mami Martha di balik telepon, seperti kucing kesal yang ditutupin selimut.
“Mana suami kamu?” tanyanya, ketus namun penasaran.
Sabrina melirik Zidan yang duduk santai di sebelahnya sedang diam memerhatikan dirinya. Lalu, dia menyerahkan ponsel itu.
“Ini, Mi. Katanya mau bicara sama Akang.”
Zidan menerima ponsel seperti menerima surat panggilan dari polisi. Dia menegakkan badan, menelan ludah.
“Assalamualaikum … Ma-mi,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan, tapi tetap sopan. Matanya melirik Sabrina, minta doa agar selamat dari amukan sang ibu mertua.
“Eh, Zidan! Jangan jadikan Sabrina sebagai pembantu di rumah kamu, ya! Dia, tuh, seumur hidup nggak pernah tahu rasanya bersihin rumah, apalagi bersihkan kamar mandi!” serang Mami Martha, nyerocos cepat seperti kereta api Shinkansen yang lewat.
Zidan menarik napas dalam-dalam. Dia mencoba bersikap tenang seperti ustaz di acara dakwah.
“Maafkan aku, Mami,” ucapnya kalem. “Aku nggak pernah memperlakukan Sabrina sebagai pembantu. Kami saling berbagi, dalam semua hal—”
“AWAS SAJA! Tunggu kedatangan kami ke sana. Mami akan memberi kamu pelajaran!”
Sambungan telepon terputus. Mami Martha mengakhiri pembicaraan mereka.
Zidan mendesah pelan. Dia menoleh pada Sabrina dan tersenyum hangat. Lalu mengusap pipi istrinya yang mulus dan lembut seperti marshmallow.
“Pasti Mami marah sama Akang, ya?” tanya Sabrina lirih.
Sabrina mengangguk sambil menahan tawa. “Mami belum tahu keadaan Neng di sini. Tapi, nanti kalau sudah tahu, insya Allah Mami bakal paham … dan bangga. Apalagi kalau tahu Neng udah bisa bikin sambal terasi.”
Zidan menatap Sabrina penuh takzim. “Tapi, Neng … ridho, nggak, melakukan semua pekerjaan rumah yang selama ini Neng kerjain?”
Sabrina menjawab tanpa ragu. “Tentu saja, Neng ridho illahi ta’ala. Bukannya kata Akang, kalau melakukan sesuatu karena Allah, nanti dapat pahala?”
Zidan mengangguk, terharu. Di dalam hatinya, dia berdoa semoga apa yang dilakukan oleh sang istri menjadi ladang amal dan mendapatkan pahala.
Sementara itu, Bu Maryam berbaring malas di ruang keluarga, berselimutkan sarung yang digulung asal, dan sebotol minyak kayu putih berada di dalam genggaman tangan. Wajahnya menatap langit-langit rumah seperti sedang memikirkan rencana jangka panjang membangun masa depan. Padahal, biasanya jam segini dia sudah sibuk mengatur toko dan merapikan rak barang.
“Aduh, aku nggak bisa diam begini!” pekik Bu Maryam sembari mendadak duduk. Suaranya terdengar seperti bunyi alarm yang keras dan tiba-tiba, sehingga mengagetkan. Tanpa pikir panjang, dia bangkit, mengambil sendal jepit yang satu di dapur, satu lagi entah kenapa berada di dekat jemuran, lalu melenggang ke halaman belakang.
Di tangan kanan, dia membawa ember berisi pelet ikan, dan di kiri ada segenggam nasi basi untuk ayam-ayamnya yang lebih cerewet suaranya daripada grup WhatsApp arisan.
“Sini, sini, sini, anak-anak Mami!” panggil Bu Maryam, pada ikan dan ayam peliharaannya. Dia melempar pelet ke kolam dengan gaya seperti melempar bunga ke pengantin. Ikan-ikan langsung muncul seperti tahu saat jam makan, membuatnya tersenyum bangga.
Namun, momen tenangnya langsung bubar ketika terdengar suara Ceu Romlah, tetangga samping rumah, menyapa dengan nada tinggi seperti komentator pertandingan bulu tangkis.
“Ceu Maryam! Tadi aku ketemu bapaknya Zidan di depan. Katanya si Niken sakit dan harus dioperasi, ya?” teriaknya, tanpa salam, tanpa intro, langsung saja pada tujuan isi pembicaraan.
Bu Maryam mengangkat wajah dengan alis menyatu. Ia menyipitkan mata ke arah pagar bambu yang memisahkan rumah mereka. “Memangnya kenapa?” tanyanya, setengah kaget, setengah malas menanggapi gosip di tengah hari, mana cuaca sedang panas-panasnya.
Ceu Romlah muncul dari balik pagar, hanya kelihatan setengah badan. Tangan kirinya masih menggenggam centong nasi, seolah baru saja berhenti mengaduk magic com demi menyampaikan kabar penting ini.
“Kasihan aja dia harus dioperasi dan nggak punya uang,” ujar Ceu Romlah dengan gaya dramatis. “Katanya minta ke Zidan, tapi ditolak. Walau dulu bapaknya selingkuh dan nikah lagi sama si Neken, ya tetep aja Zidan wajib bantu. Masa sesama umat sakit nggak ditolong?”
Bu Maryam mendadak mengernyit. Tangannya berhenti menebar nasi ke ayam, yang kini protes dengan mencakar tanah dengan tidak sabar.
“Hmmm,” gumamnya panjang. “Ceu, itu bukan umat, itu mantan selingkuhan bapaknya Zidan. Kalau itu dibilang kewajiban, nanti saya juga bisa suruh Zidan untuk minta warisan ke mereka. Eh, asal jangan warisan utang saja.”
Ceu Romlah tergelak, setengah kaget setengah ngakak. “Ih, Ceu Maryam ada-ada aja. Tapi bener juga, sih ....”
Ceu Romlah mengangguk-angguk. “Dasar Ceu Maryam, kalau urusan dendam, ingatannya tajam kayak parutan kelapa.”
“Kamu kira saya minum jamu pelupa?” sahut Bu Maryam dengan nada sengit tapi jenaka, sambil melemparkan pakan ke tanah. Ayam-ayam di halaman pun tampak senang, karena akhirnya nasi basi kembali dibagikan secara merata, walau sempat tertunda karena gosip antar pagar.
Dalam hati Ceu Romlah senang karena ada bahan gosip buat digoreng nanti di grup WA bersama member biang gosip lainnya.
***
bukan musuh keluarga Sabrina
jangan suudhon dl mamiiii