Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 2 Ingin Merubah Takdir
Edwin membuka mata saat merasa ada pergerakan disebelahnya. Mona sedang turun dari ranjang sembari tangannya mengikat rambut keatas. Edwin melihat jam dinding ternyata masih pukul 05.00 pagi.
"Mau ke mana, Sayang, ini masih pagi?" tanya Edwin setelah mendudukkan tubuhnya.
Mona menoleh, lalu tersenyum.
"Kamu nggak lupa kan kalau pagi ini aku mau ke Medan? Aku belum packing baju."
Mona bergegas menghampiri lemari pakaian lalu mengeluarkan koper dari dalamnya. Edwin tersenyum masam, rupanya Mona benar-benar akan berangkat ke Medan padahal tadi malam mereka berdebat karena wanita itu selalu sibuk dengan pekerjaannya.
Edwin turun dari ranjang lalu berjalan menghampiri sang istri yang sedang memilih baju untuk ia bawa. Edwin memeluk Mona dari belakang, mengecup tengkuk wanita itu dan meletakkan dagunya di atas bahu sang istri.
Mona meraih wajah Edwin dengan tangan kirinya, menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" tanyanya dengan tangan kanan masih bergerak mengambil baju yang digantung pada hanger.
"Aku nggak mau kamu pergi," ucap Edwin.
"Kita sudah bahas ini ya, Mas, dan aku akan tetap pergi ke Medan," ucap Mona.
Edwin menjauhkan dagunya dari bahu Mona, mendengus sebal lalu duduk di kursi depan meja rias. Mona meneruskan memilih baju, mengambil beberapa baju yang tergantung di sana lalu membawanya mendekat pada koper yang sudah ia buka di atas karpet.
"Jam berapa pesawat berangkat?" tanya Edwin terus memperhatikan Mona melipat baju lalu memasukkan ke dalam koper.
"Jam 08.00 pagi, Mas, tapi jam 07.00 aku harus sudah ada di sana."
"Aku antar kamu ya, nanti kita berangkat jam 06.00," ucap Edwin.
"Tidak usah, Mas, aku bisa berangkat sendiri, nanti mobilku biar asistenku yang ambil," tolak Mona.
Ini dia sifat Mona yang tidak Edwin sukai, Mona terlalu mandiri sehingga tidak membutuhkan bantuan dari siapapun termasuk Edwin suaminya. Edwin jadi merasa seperti pria tidak berguna karena tidak pernah melakukan sesuatu untuk sang istri.
"Tapi aku ingin mengantar kamu, Mona, sebelum kamu berangkat kita bisa menghabiskan waktu bersama terlebih dahulu termasuk sarapan bersama."
Mona terkekeh. "Bukannya kita memang selalu sarapan bersama ya, kamu bicara seperti itu seolah kita tidak pernah sarapan bersama saja," ucapnya sembari geleng-geleng kepala.
"Aku pergi hanya satu minggu, sayang, jangan khawatir aku tidak kembali, minggu depan aku sudah pulang kok," sambungnya.
"Iya terserahmu lah." Edwin yang malas berdebat memilih untuk mengalah. Dia masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri disana.
Sementara Mona nampak biasa saja, ia terus melipat baju yang akan dibawa lalu memasukkannya ke dalam koper.
Di dalam kamar mandi, Edwin mengguyur tubuhnya di bawah shower, matanya terpejam, kepalanya mendongak membiarkan air shower jatuh langsung mengenai wajahnya.
Sampai kapan ia harus merasakan ini, sakit tidak diprioritaskan istrinya, sakit merasa tidak dibutuhkan oleh sang istri, sakit menanti hadirnya buah hati dalam pernikahannya.
Melihat teman-temannya yang sudah memiliki anak, tentu saja Edwin merasa iri ingin sekali memiliki anak tapi sang istri yang selalu menundanya.
Selesai dengan mandinya Edwin bergegas keluar. Ia melihat sang istri sudah mandi dan rapih, rupanya wanita itu mandi di kamar sebelah. Mona tengah duduk di depan meja rias, memoles sedikit wajahnya, lalu menghampiri Edwin yang sedang berpakaian.
"Aku berangkat, Mas," ucap Mona, berjinjit sedikit lalu mengecup bibir Edwin sekilas.
"Aku antar sampai depan rumah," ucap Edwin.
"Tidak usah, Mas, kamu selesaikan saja bersiapnya."
Edwin mengangguk, melanjutkan mengancing kemeja yang sedang ia kenakan, membiarkan Mona menarik kopernya sendiri keluar dari kamar.
Suara mobil Mona terdengar di telinga Edwin membuat pria itu melangkah menuju balkon melihat mobil sang istri sedang melaju melewati gerbang rumah.
Edwin kembali masuk ke dalam kamar, mengambil ponselnya yang ada di atas nakas lalu mengetik pesan untuk sang istri.
'Hati-hati dijalan, sayang. Kabari aku kalau sudah sampai."
Pesan terkirim, Edwin memasukkan ponselnya kedalam saku celana, menghembuskan nafas kasar, mengambil tas kerja lalu keluar dari kamar.
Edwin mendatangi restoran miliknya dimana restoran itu lah yang telah berjasa menjadikan dirinya sebagai orang kaya.
Restorant Hamara namanya, memiliki 5 lantai dengan berbagai perlengkapan didalamnya. Lantai satu khusus untuk para pengunjung umum, lantai dua private room dan ruang VIP berada, lantai tiga area khusus diadakannya acara formal seperti pernikahan, reuni atau perayaan lainnya. Dan lantai empat area management restorant.
Edwin mendirikan restoran itu sejak 12 tahun yang lalu dimana ia dan Mona belum menikah. Restorant yang awalnya rumah makan kini sudah menjadi restoran bintang 5 dan memiliki cabang di beberapa kota lainnya. Semua itu tentu saja membutuhkan proses yang tidak mudah.
Edwin dulu bekerja sebagai staff marketing di PT. Darwin Properties. Setiap kali gajian ia menyisihkan penghasilannya untuk menabung, membangun rumah makan Hamara. Setelah menikah dengan Mona, Edwin masih bekerja sebagai staff sembari mengurus usaha rumah makannya.
Rumah Makan Hamara semakin lama semakin terkenal dan Edwin mengganti namanya menjadi Restorant Hamara dengan membangunkan gedung 4 lantai untuk restorant tersebut.
Edwin baru resign bekerja sebagi staff marketing 5 tahun yang lalu dan fokus mengurus bisnisnya yang sudah semakin berkembang.
Drrtt.. Drrtt..
Edwin yang tengah memeriksa data retensi pengunjung restoran itu segera menghentikan kegiatannya, merogoh ponsel dan melihat siapa yang menghubungi dirinya.
'Si Cantik Istriku'
Mona melakukan panggilan vidio, Edwin tersenyum lalu menggeser tombol berwarna hijau. Panggilan video itu terhubung dan menampilkan wajah Mona yang sedang duduk dilobby bandara.
"Aku sudah sampai di bandara, Mas, nanti asistenku ngantar mobil ke rumah," ucap Mona memberi tahu Edwin.
Senyum di wajah Edwin seketika menghilang, rupanya Mona menghubungi dirinya hanya untuk memberi tahu bila asistennya akan mengantar mobil kerumah.
"Jam berapa ngantar mobilnya? Aku sudah direstorant."
"Tadi mobilku sudah diambil mungkin tidak lama lagi sampai rumah."
"Ya nanti aku hubungi pelayan untuk menyimpankan kunci mobilmu."
"Terima kasih, Mas. Ya sudah aku matikan panggilan videonya ya, ini sudah diminta segera masuk pesawat. Nanti kalau sudah sampai Medan aku kabari lagi," ucap Mona.
"Iya."
Panggilan vidio berakhir. Edwin bangkit dari duduknya, berjalan menuju rooftop restorant dan berdiri disana, menatap langit yang nampak terang terkena sorot matahari yang baru beberapa jam keluar.
Selama hampir sepuluh tahun menikah inilah yang ia rasakan, ketidak bahagiaan. Edwin ingin merubah ketidak bahagiaan ini menjadi kebahagiaan untuknya. Bahagia bersama dengan wanita yang ia cintai dan juga mencintainya, memiliki buah hati yang ia nantikan kehadirannya.
Tapi ... apakah Edwin bisa merubahnya?