"Di bawah lampu panggung, mereka adalah bintang. Di bawah cahaya bulan, mereka adalah pemburu."
Seoul, 2025. Industri K-Pop telah berubah menjadi lebih dari sekadar hiburan. Di balik gemerlap konser megah yang memenuhi stadion, sebuah dimensi kegelapan bernama The Void mulai merayap keluar, mengincar energi dari jutaan mimpi manusia.
Wonyoung (IVE), yang dikenal dunia sebagai Nation’s It-Girl, menyimpan beban berat di pundaknya. Sebagai pewaris klan Star Enchanter, setiap senyum dan gerakannya di atas panggung adalah segel sihir untuk melindungi penggemarnya. Namun, kekuatan cahayanya mulai tidak stabil sejak ancaman The Void menguat.
Di sisi lain, Sunghoon (ENHYPEN), sang Ice Prince yang dingin dan perfeksionis, bergerak dalam senyap sebagai Shadow Vanguard. Bersama timnya, ia membasmi monster dari balik bayangan panggung, memastikan tidak ada satu pun nyawa yang hilang saat musik berkumandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 : The Eternal Vow
Malam di Seoul tahun 2025 tidak pernah benar-benar gelap. Cahaya neon dari papan reklame raksasa di distrik Gangnam memantul di permukaan gedung-gedung kaca, menciptakan fatamorgana warna-warni yang menipu mata. Namun, bagi Wonyoung, semua gemerlap itu hanyalah lapisan tipis yang menutupi kebusukan yang lebih dalam.
Ia berdiri di balkon ruang tunggunya yang mewah di lantai sepuluh gedung Global Disc Awards. Angin malam yang kencang mempermainkan rambut hitam panjangnya yang telah ditata sempurna selama tiga jam. Wonyoung menghirup udara malam, namun bukan aroma polusi kota yang ia rasakan, melainkan bau amis yang samar—seperti besi berkarat yang bercampur dengan bau tanah basah.
Bau itu adalah tanda bahwa portal The Void sedang aktif.
Wonyoung menunduk, menatap telapak tangannya. Kulitnya begitu pucat, hampir transparan di bawah sinar bulan. Ia adalah seorang Star Enchanter, keturunan terakhir dari klan bangsawan vampir yang bersumpah untuk menjaga dunia dari kegelapan abadi. Baginya, kehidupan sebagai idola nomor satu di Korea hanyalah sebuah penyamaran yang sempurna. Di panggung, ia dipuja sebagai dewi; di balik panggung, ia adalah pemburu yang tak pernah tidur.
"Sudah tiga ratus tahun," bisik Wonyoung pada dirinya sendiri. Suaranya tenggelam oleh deru mesin mobil di kejauhan. "Dan sumpah itu masih terasa mencekik."
Ia memejamkan mata, dan seketika itu juga, memori masa lalu menghantamnya seperti gelombang pasang.
Tahun 1725 – Era Joseon.
Langit malam itu berwarna merah darah. Wonyoung remaja, mengenakan hanbok sutra berwarna putih yang telah ternoda oleh debu pertempuran, berdiri di atas bukit yang menghadap ke desa yang terbakar. Di hadapannya, sebuah piringan hitam yang terbuat dari batu obsidian kuno melayang di udara, mengeluarkan suara dengungan yang menyakitkan telinga. Itu adalah The Genesis Vinyl yang asli.
Di sampingnya, berdiri seorang pemuda dengan jubah hitam bersulam perak. Wajahnya tertutup bayangan caping, namun aura dingin yang terpancar darinya sanggup membekukan rumput di sekitar mereka.
"Jika kita melakukan ini, kita tidak akan pernah bisa beristirahat," suara pemuda itu terdengar datar, namun ada getaran keraguan di dalamnya.
"Dunia ini butuh penjaga, bukan pecundang yang takut pada keabadian," jawab Wonyoung tajam. Ia mengambil belati peraknya dan menggores telapak tangannya. Darah berwarna merah keunguan menetes ke atas piringan obsidian tersebut. "Aku bersumpah, demi darah murni yang mengalir di nadiku, aku akan memburu kegelapan ini hingga ke ujung waktu. Meski aku harus terlahir kembali dalam ribuan wajah, tujuanku tetap satu: kehancuran The Void."
Pemuda itu melakukan hal yang sama. Saat darah mereka menyatu di atas Vinyl, sebuah ledakan energi cahaya dan es menyapu seluruh bukit, menyegel portal besar yang menganga di langit. Sejak saat itu, waktu bagi mereka berhenti. Mereka tidak akan pernah menua, tidak akan pernah mati, dan tidak akan pernah benar-benar mencintai karena hati mereka telah menjadi bagian dari segel tersebut.
Kembali ke Seoul, 2025.
Ketukan keras di pintu membuyarkan lamunan Wonyoung.
"Wonyoung-ah! Lima menit lagi! Tim keamanan sudah menunggumu di lorong," teriak managernya, seorang pria paruh baya yang tidak pernah tahu bahwa artis yang ia kelola bisa membunuhnya dalam satu kedipan mata.
Wonyoung menarik napas panjang, mengubah tatapan matanya yang tajam menjadi tatapan lembut yang biasa ia tunjukkan di depan kamera. Ia berjalan menuju pintu, mengenakan gaun perak yang beratnya hampir sepuluh kilogram, namun ia membawanya seolah itu adalah seringan bulu. Kekuatan fisiknya sebagai vampir jauh melampaui manusia mana pun.
Saat ia menyusuri lorong artis yang sibuk dengan staf yang berlari ke sana kemari, indra penciumannya kembali menajam. Di ujung lorong, sekelompok pemuda dengan setelan jas hitam elegan sedang bersiap-siap. Mereka adalah ENHYPEN.
Wonyoung berusaha tetap tenang, namun saat ia berpapasan dengan Sunghoon, langkahnya mendadak berat.
Ada yang salah. Atmosfer di sekitar Sunghoon terasa sangat dingin—bukan sekadar dingin dari AC gedung, tapi dingin yang murni, seolah-olah pria itu membawa badai salju di dalam nadinya. Wonyoung merasakan kulitnya meremang. Ia menatap mata Sunghoon selama satu detik yang terasa seperti selamanya. Pupil mata Sunghoon yang hitam pekat sejenak berkilat dengan cahaya biru kristal yang sangat familiar.
“Mustahil,” batin Wonyoung, jantungnya yang beku seakan bergetar. “Aura ini... aroma salju dan obsidian ini... apakah dia?”
Sunghoon tidak memberikan reaksi apa pun. Ia hanya menatap lurus ke depan, wajahnya yang dijuluki Ice Prince oleh jutaan penggemar tampak tanpa ekspresi. Namun, saat mereka bersisihan, Sunghoon membisikkan sesuatu yang hampir tidak tertangkap oleh telinga manusia.
"Jangan biarkan cahayamu padam malam ini, Wonyoung-ssi. Monster-monster itu sedang lapar."
Wonyoung tersentak, namun Sunghoon sudah melangkah pergi bersama grupnya menuju panggung. Kalimat itu bukan sekadar peringatan; itu adalah kode. Hanya seorang Hunter yang tahu bahwa malam ini adalah malam puncak aktivitas The Void.
Wonyoung mengepalkan tangannya di balik gaunnya. "Jadi benar," gumamnya pelan. "Aku bukan satu-satunya yang tersisa."
Wonyoung berdiri di atas lift panggung yang perlahan bergerak naik. Suara riuh rendah ribuan penonton mulai terdengar, seperti suara ombak yang menghantam tebing. Ketika kepalanya mulai melewati batas lantai panggung, ia disambut oleh lautan lightstick yang bersinar terang.
Musik dimulai. Dentuman bass yang kuat mengguncang stadion. Wonyoung mulai bergerak, koreografinya begitu presisi dan penuh tenaga, namun matanya terus mengamati langit-langit stadion. Di sana, di antara rangka-rangka besi penyangga lampu, ia melihatnya.
Sesosok makhluk berwujud asap hitam dengan mata merah menyala sedang merayap. Makhluk itu adalah Larva Void, pengintai yang bertugas mengumpulkan energi negatif dari ketakutan atau kegugupan manusia.
Wonyoung melakukan gerakan berputar, seolah-olah itu adalah bagian dari koreografi. Di tangannya, ia membentuk segel cahaya kecil. Saat ia melayangkan tangannya ke udara, sebuah panah cahaya tipis melesat—tersamar sempurna di antara ratusan sinar laser panggung.
Zzap!
Panah itu mengenai si monster, namun makhluk itu tidak langsung hancur. Ia justru mengeluarkan pekikan yang hanya bisa didengar oleh telinga Hunter, dan tiba-tiba, tiga monster lainnya muncul dari bayang-bayang stadion.
Wonyoung mulai panik. Ini terlalu banyak untuk ia tangani sambil tetap menjaga penampilannya di atas panggung. Jika ia mengeluarkan kekuatan penuh, identitasnya akan terbongkar. Namun jika ia diam saja, monster-monster itu akan menyerang fans di barisan depan.
Tepat saat salah satu monster bersiap terjun ke arah penonton, sebuah ledakan kristal es muncul dari arah kursi VIP artis. Kristal-kristal itu melesat seperti peluru, membekukan monster-monster itu di udara hingga mereka pecah menjadi debu dalam hitungan detik.
Wonyoung melirik ke arah kursi VIP. Di sana, Sunghoon duduk dengan tenang, menyilangkan kakinya. Tangannya tampak santai memegang sebotol air mineral, namun jari telunjuknya masih sedikit terangkat, mengarah ke langit-langit.
Sunghoon menatap Wonyoung dari kejauhan. Tatapannya seolah berkata: “Lanjutkan pertunjukanmu, biar aku yang mengurus sampah-sampah ini.”
Kemarahan dan kelegaan bercampur di hati Wonyoung. Ia benci harus dibantu, apalagi oleh seseorang yang selama ini ia anggap sebagai saingan di tangga lagu. Namun, ia tidak bisa memungkiri bahwa kekuatan es itu adalah satu-satunya hal yang bisa mengimbangi cahaya bintangnya.
Penampilan berakhir. Wonyoung berdiri di tengah panggung dengan napas terengah-engah, melakukan pose akhir (ending fairy) ke arah kamera. Jutaan orang di rumah melihatnya sebagai idola yang lelah namun bahagia, tanpa tahu bahwa ia baru saja menyaksikan pertempuran hidup dan mati.
Saat turun dari panggung, Wonyoung tidak langsung menuju ruang tunggunya. Ia berbelok ke arah koridor belakang yang sepi, tempat di mana ia yakin Sunghoon akan lewat untuk menuju panggung ENHYPEN.
Ia menunggu di balik bayangan pilar beton besar. Benar saja, beberapa saat kemudian, langkah kaki yang tenang terdengar.
"Menunggu seseorang, Wonyoung-ssi?" Sunghoon muncul dari kegelapan, tangannya dimasukkan ke saku celana.
Wonyoung melangkah keluar, matanya kini berkilat ungu sepenuhnya. "Siapa kau sebenarnya? Dan bagaimana kau bisa memiliki kekuatan klan Frost di masa modern ini?"
Sunghoon berhenti, hanya berjarak dua meter dari Wonyoung. Ia melepaskan masker hitamnya, memperlihatkan garis rahang yang tajam dan bibir yang pucat. "Pertanyaan yang sama juga berlaku untukmu, Tuan Putri. Cahaya bintangmu terlalu mencolok untuk ukuran tahun 2025. Kau menarik perhatian monster-monster itu seperti laron pada lampu."
"Aku sudah menjaga kota ini selama tiga abad," desis Wonyoung. "Aku tidak butuh bantuan dari vampir es yang hanya tahu cara bersembunyi di balik kursi VIP."
Sunghoon tertawa pendek, suara tawanya sedingin angin musim dingin. "Tiga abad? Mengesankan. Tapi sepertinya kau lupa satu hal tentang sumpah abadi kita, Wonyoung."
Sunghoon mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah pecahan kecil piringan obsidian yang bersinar redup. Mata Wonyoung membelalak. Itu adalah bagian dari The Genesis Vinyl—bagian yang selama ini ia cari-cari untuk melengkapi segel yang mulai retak.
"Kau memilikinya..." bisik Wonyoung.
"Aku memilikinya, dan aku tahu di mana sisa-sisanya berada," ucap Sunghoon, wajahnya kembali menjadi serius. "Portal The Void tidak hanya retak karena waktu. Seseorang sedang membukanya dari dalam. Dan jika kita tidak bekerja sama, panggung encore terakhir kita tidak akan pernah terjadi."
Tiba-tiba, suara alarm gedung berbunyi. Bukan alarm kebakaran, melainkan alarm frekuensi tinggi yang hanya bisa didengar oleh para Hunter. Tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat.
"Mereka datang," ucap Sunghoon sambil mengeluarkan sebuah pedang es tipis dari udara kosong. "Dan kali ini, mereka bukan sekadar larva."
Wonyoung memanggil busur cahayanya, tali busur itu berdenging dengan kekuatan energi bintang. "Jangan menghalangi jalanku, Sunghoon-ssi."
Sunghoon tersenyum tipis, matanya kini berubah biru sepenuhnya. "Cobalah untuk tetap hidup, Wonyoung-ah. Dunia masih butuh idola sepertimu."
Di luar sana, langit Seoul yang cerah tiba-tiba tertutup awan hitam pekat. Gerhana bulan yang tidak terjadwal mulai menutupi sang surya. Pertempuran yang telah tertunda selama ratusan tahun akhirnya pecah di jantung kota paling sibuk di dunia.
Dan di antara kilatan cahaya dan es, sumpah lama itu kembali bergema di nadi mereka.