Ardan Kael tumbuh di Akademi Aetherion — sekolah elit bagi para pengguna kekuatan elemental.
Tapi di usia 16 tahun, hasil ujiannya menunjukkan “nol energi.” Ia dicap Reject, dibuang dari akademi, dan diusir dari keluarganya sendiri.
Namun, pada malam ia hendak bunuh diri di tebing Aetherion, ia mendengar suara aneh dari bayangannya sendiri:
“Kau gagal bukan karena lemah... tapi karena kekuatanmu terlalu kuat untuk dunia ini.”
Suara itu membangkitkan sesuatu yang telah lama tersegel dalam dirinya — Void Energy, kekuatan kegelapan yang bisa menelan seluruh elemen.
Dari situ, Ardan bersumpah untuk kembali ke akademi, bukan sebagai murid...
Tapi sebagai mimpi buruk bagi semua orang yang pernah merendahkannya.
“Kalian menyebutku gagal? Baiklah. Aku akan menunjukkan arti kegagalan yang sebenarnya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 – Hari Ujian Terakhir
Lantai marmer putih Akademi Aetherion memantulkan cahaya kristal sihir di langit-langit, menjadikannya sebuah panggung yang diselimuti kemegahan dingin. Aula Ujian Tiga Elemen adalah jantung dari seluruh sistem kekuasaan di Afterlight Era, dan bagi Ardan Kael, tempat itu terasa lebih seperti ruang eksekusi yang disamarkan.
Udara kental oleh ketegangan. Ratusan pasang mata, mulai dari guru besar berjubah emas hingga murid-murid seusianya yang berpakaian rapi, terpusat pada satu benda di tengah ruangan: Crystal of Origin.
Kristal itu, seukuran kepala manusia, berdenyut pelan. Warnanya akan berubah sesuai elemen terkuat yang dimiliki seseorang: merah menyala untuk Api, biru tenang untuk Air, hijau cerah untuk Angin, cokelat pekat untuk Tanah, atau putih murni untuk Cahaya.
Di hadapan kristal, berdiri satu per satu remaja yang baru menginjak enam belas tahun. Nama yang dipanggil, beranjak dengan langkah mantap, menyentuh kristal, dan menanti pengakuan takdir.
"Rion Valcrest!"
Nama itu, yang disebut oleh Grandmaster Solan Caelum—pria kharismatik dengan jubah terbuat dari benang kristal—menghentikan sejenak napas Ardan.
Rion, dengan rambutnya yang dicukur pendek dan tatapan arogan yang selalu mengganggu Ardan, maju. Ia tidak sekadar berjalan, ia berparade. Tangan kanannya yang kekar menyentuh permukaan kristal, dan dalam sepersekian detik, seluruh aula dibanjiri cahaya merah membara. Panasnya terasa sampai ke barisan belakang.
"Api Neraka... elemen tingkat tinggi! Rion Valcrest, terkonfirmasi sebagai penyihir Elemen Api. Level: Elite-A. Selamat!" Suara Grandmaster Solan terdengar bangga.
Tepuk tangan bergemuruh. Rion menoleh ke belakang, tatapannya menyapu Ardan dan Lyra, dan senyumnya yang penuh kemenangan seolah berkata, Lihat? Kalian memang di bawahku.
Lyra Edevane, yang berdiri tepat di samping Ardan, menggenggam tangannya erat. Kehangatan kulitnya terasa nyata di tengah dinginnya marmer. "Kau pasti bisa, Ardan. Kau keturunan Klan Caelum. Klan Angin. Kau akan lebih kuat dari Rion."
Lyra adalah satu-satunya alasan mengapa Ardan masih bisa bernapas dengan normal di lingkungan yang penuh tekanan ini. Wajahnya yang lembut namun dipenuhi tekad adalah satu-satunya cahaya dalam dunia yang menghargai kekuatan di atas segalanya. Ardan hanya bisa tersenyum kecil.
"Tentu saja," jawab Ardan, berusaha meyakinkan Lyra, tapi suaranya bergetar tipis. Sejak kecil ia tahu ia berbeda. Ia tidak pernah merasakan 'panggilan' elemen seperti yang dirasakan teman-temannya. Sementara yang lain bisa menyalakan percikan api dari ujung jari, Ardan hanya bisa... hampa.
"Lyra Edevane!"
Giliran Lyra. Begitu ia maju dan menyentuh kristal, cahaya putih yang lembut, nyaris menyerupai kabut pagi, menyelimuti aula.
"Lightbound! Elemen Cahaya. Level: Elite-B! Luar biasa, Lyra!"
Lyra tersenyum lega. Ia memang pantas. Ia selalu yang paling gigih, paling cerdas, paling berhati murni. Ia menoleh ke arah Ardan, matanya bersinar penuh harap.
Dan kemudian, nama yang paling ia takuti disebut.
"Ardan Kael!"
Ardan melangkah maju. Setiap langkah terasa seperti memanggul beban seluruh Klan Caelum—klan Angin yang terkenal akan kecepatan dan keanggunannya. Ia merasakan tatapan ayahnya, yang duduk di barisan kehormatan, yang seolah menusuknya: Jangan buat malu kami.
Ia meletakkan tangannya di atas Crystal of Origin.
Ia menunggu.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Seluruh aula hening. Keheningan yang lebih memekakkan telinga daripada tepuk tangan paling keras.
Tidak ada cahaya merah. Tidak ada biru, hijau, cokelat, apalagi putih.
Kristal itu hanya... diam. Benda mati. Tidak bereaksi sedikit pun.
Ardan menarik napas, mencoba sekali lagi. Ia memejamkan mata, memfokuskan semua energi—yang ia yakini ada di dalam dirinya—ke telapak tangannya. Ia mendorongnya keluar, memohon agar setidaknya ada sepercik cahaya Angin yang menjadi kebanggaan klannya.
Nihil.
Grandmaster Solan, yang sejak tadi tersenyum, perlahan-lahan meredupkan ekspresinya. Ia mendekati kristal itu, memeriksanya, lalu menghela napas panjang—suara yang cukup keras untuk didengar semua orang di aula.
"Crystal of Origin telah memberikan hasilnya," kata Solan, suaranya kini dingin dan tanpa emosi. "Ardan Kael. Energi terukur..."
Ia berhenti sejenak, membuat detak jantung Ardan terasa seperti genderang perang di dadanya.
"...Nol. Tidak ada elemen. Tidak ada bakat. Reject."
Satu kata itu—Reject—membuat seluruh dunia Ardan runtuh.
Aula yang hening tadi kini dipenuhi bisikan, tawa tertahan, dan gumaman merendahkan. Ardan melihat Ayahnya, Grandmaster Caelum, menutup wajahnya dengan tangan—bukan karena sedih, tapi karena malu. Ia melihat Lyra, yang matanya dipenuhi air mata dan keraguan. Dan ia melihat Rion, yang kini tertawa terbahak-bahak.
"Anak dari klan terhormat, nol energi? Bahkan murid dari desa kumuh punya sedikit bakat. Benar-benar aib!" teriak Rion, dan tawa lain mengikuti.
Ardan merasakan panas di matanya. Bukan panas dari elemen api, melainkan panas dari rasa malu yang menghanguskan.
"Akademi Aetherion tidak menerima sampah," ujar Grandmaster Solan. "Kau dicoret. Kau diusir. Kau bukan bagian dari tatanan kami. Bawahan, bawa dia keluar dari sini."
Ardan hanya berdiri mematung. Dalam sedetik, dua penjaga sihir berwajah datar mencengkeram lengannya.
"Lepaskan aku!" Ardan meronta.
"Diam, sampah," bisik salah satu penjaga.
Saat ia diseret keluar, Ardan berjuang untuk terakhir kalinya, menatap Lyra.
"Lyra!" panggilnya, suaranya serak.
Lyra hendak berlari ke arahnya, tapi Rion segera menahan lengannya.
"Jangan, Lyra. Dia bukan siapa-siapa lagi," desis Rion.
Lyra menatap Ardan, air mata mengalir di pipinya, tapi ia tidak bergerak. Pilihan moralnya sudah dibuat:
memilih kenyamanan dan status di Aetherion, atau membela sahabat yang baru saja dicap aib. Lyra memilih diam.
Melihat itu, sesuatu dalam diri Ardan terasa mati. Bukan hanya harapan, tapi juga cinta, kepercayaan, dan segala bentuk kehangatan manusia. Rasa sakit itu bertransformasi menjadi sesuatu yang baru, sesuatu yang keras dan dingin.
Ia menoleh ke belakang, ke arah Ayahnya dan Grandmaster Solan yang menontonnya tanpa ekspresi.
"Kalian akan menyesal," bisik Ardan pada dirinya sendiri, sebuah janji yang terukir dari kebencian.