Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Pernikahan di Ruang ICU
"Nggak ada penghulu! Nggak ada wali! Kita nggak bisa nikah sekarang, Kek!"
Kiana nyaris berteriak, suaranya pecah di antara kepanikan dan rasa frustasi. Tangannya mencengkeram besi ranjang rumah sakit dengan kuat, seolah ingin meremukkan logam dingin itu. Air matanya sudah menganak sungai, merusak maskara mahalnya, membuat wajah boss lady-nya yang biasa garang kini terlihat rapuh dan berantakan.
Di atas ranjang, Kakek Adijaya hanya merespons dengan tarikan napas yang berat dan bunyi ngiiik yang menyayat hati dari dadanya. Matanya terpejam rapat, seolah menolak mendengar alasan logis cucunya.
"Waktu... habis..." desis Kakek lemah, tangannya terkulai lemas di sisi tubuh.
"Dokter Gunawan! Lakukan sesuatu! Suntik adrenalin atau apa kek!" perintah Kiana pada dokter tua yang berdiri mematung di sudut ruangan.
"Kami sudah melakukan segalanya, Bu Kiana. Medis punya batas," jawab Dokter Gunawan dengan wajah duka yang dipasang sempurna. "Bapak menolak merespons obat. Ini masalah keinginan hidup. Beliau sudah menyerah... kecuali..."
Dokter itu menggantung kalimatnya, melirik penuh arti ke arah Gavin yang berdiri diam di samping Kiana.
Gavin menghela napas panjang. Dia melihat kekacauan di mata Kiana. Wanita yang beberapa jam lalu begitu percaya diri menyiram kopi ke wajah mantan pacarnya, kini terlihat seperti anak kecil yang tersesat.
Gavin melepas kancing manset kemejanya, menggulung lengan kemeja putihnya hingga siku dengan gerakan tenang. Dia melangkah maju, mengambil alih situasi.
"Dok, panggil penghulu rumah sakit yang Dokter bilang tadi. Sekarang," perintah Gavin, suaranya bariton dan berwibawa, memotong histeria Kiana.
"Tapi Gavin... persyaratannya? Berkas-berkas?" Kiana menoleh, matanya merah.
"Persetan dengan berkas. Kita urus administrasinya belakangan. Yang penting sah secara agama dulu biar orang tua ini tenang," potong Gavin tegas.
Dia merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet kulit hitam, dan mengambil beberapa lembar uang merah serta jam tangan Rolex-nya. "Saya nggak bawa mahar seperangkat alat sholat. Uang tunai dan barang berharga saja. Cukup kan?"
Dokter Gunawan mengangguk cepat. "Sangat cukup, Pak. Kebetulan Pak Ustadz Rahmat memang standby di musholla bawah."
"Panggil dia. Lima menit. Kalau lebih dari itu, saya beli rumah sakit ini dan pecat kalian semua," ancam Gavin datar, tapi terdengar sangat serius.
Kiana ternganga menatap Gavin. Pria itu tampak berantakan—rambutnya sedikit acak-acakan sisa lari dari parkiran, kemejanya kusut—tapi entah kenapa, di mata Kiana saat ini, Gavin terlihat lebih bisa diandalkan daripada siapa pun yang pernah dia kenal.
Lima menit kemudian, suasana ICU berubah menjadi area akad nikah darurat yang surealis.
Tidak ada dekorasi bunga melati, yang ada hanya bau alkohol dan suara bip-bip monitor jantung yang tidak beraturan. Penghulu yang dipanggil datang dengan napas terengah, langsung memahami situasi darurat itu.
Tanpa banyak basa-basi, prosesi sakral itu dilangsungkan dengan kilat di bawah tatapan redup Kakek Adijaya. Gavin duduk di samping ranjang, menjabat tangan penghulu di atas meja dorong obat yang dialasi kain hijau bedah.
Kiana merasa seperti sedang bermimpi buruk yang absurd. Dia duduk terpaku, telinganya berdenging hebat saat mendengar Gavin mengucapkan kalimat ijab kabul. Suara pria itu terdengar mantap, tegas, dan tanpa keraguan sedikit pun, menggema di ruangan sempit itu memecah ketegangan.
Tidak ada pengulangan. Satu tarikan napas, dan saksi-saksi—termasuk Dokter Gunawan dan perawat—mengangguk serempak menyatakan keabsahan pernikahan itu.
Doa penutup dipanjatkan dengan cepat. Kiana merasa tubuhnya melayang. Dunia seakan berputar lambat saat buku nikah sementara disodorkan padanya. Tangannya gemetar hebat saat memegang pena dan membubuhkan tanda tangan di sebelah nama Gavin Ardiman.
Dia sudah menikah.
Di ruang ICU. Dengan rival bisnisnya. Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit.
Begitu tinta di kertas itu kering, suara biiip panjang dari monitor jantung tiba-tiba berubah.
Bip. Bip. Bip.
Iramanya menjadi kuat. Teratur. Sangat stabil.
Kiana mengangkat kepala, menatap layar monitor itu dengan bingung. Garis-garis grafik yang tadinya naik turun drastis kini bergerak stabil di angka normal. Saturasi oksigen: 99%. Tekanan darah: 120/80.
Angka yang sempurna untuk atlet lari, apalagi untuk orang tua yang katanya 'gagal jantung'.
"Lho?" Kiana bergumam, air matanya mendadak kering.
Di atas ranjang, Kakek Adijaya tiba-tiba menarik napas panjang—sangat lega—lalu melepas masker oksigennya sendiri dengan gerakan tangan yang cukup bertenaga.
Wajah pucat dan abu-abu tadi perlahan memerah segar. Dia menoleh ke arah Kiana dan Gavin, lalu senyum lebar merekah di wajah keriputnya. Senyum penuh kemenangan.
"Alhamdulillah... segar rasanya," ucap Kakek, suaranya lantang dan jelas. Tidak ada lagi desisan 'ngiiiik' di dadanya. "Ternyata obat paling ampuh itu memang lihat cucu nikah."
Kiana mematung. Otaknya memproses situasi dengan cepat.
Sakit kritis.
Harus nikah sekarang.
Gavin setuju.
Sah.
Sembuh total dalam hitungan detik.
Rahang Kiana jatuh. Dia berdiri perlahan, matanya memicing tajam menatap kakeknya, lalu beralih menatap Dokter Gunawan yang tiba-tiba sibuk pura-pura memeriksa infus.
"Kek..." suara Kiana rendah, berbahaya. "Jangan bilang ini..."
"Keajaiban medis!" potong Dokter Gunawan cepat, keringat dingin mengucur di pelipisnya. "Sungguh, Bu Kiana! Kekuatan sugesti pasien itu luar biasa!"
"Sugesti matamu!" sembur Kiana. Dia menunjuk Kakeknya dengan jari telunjuk gemetar karena marah. "Kakek nge-prank Kiana?! Kakek pura-pura sakaratul maut biar Kiana mau nikah sama Gavin detik ini juga?!"
Kakek Adijaya terkekeh tanpa rasa bersalah. Dia bahkan mencoba duduk sendiri tanpa bantuan perawat. "Namanya juga usaha, Kiana. Kalau Kakek nggak begini, kamu bakal ulur-ulur waktu sampai tahun depan. Kakek tahu watak kamu. Kamu itu keras kepala, persis nenekmu."
"Kakek keterlaluan! Kiana hampir jantungan! Kiana pikir Kakek beneran mau ninggalin Kiana!" teriak Kiana. Rasa leganya bercampur aduk dengan rasa ingin mencekik orang tua itu (kalau saja tidak kualat).
Gavin, yang masih duduk di kursi plastik, hanya memijat pangkal hidungnya. Dia tidak terlihat kaget. Dia justru tersenyum tipis, seolah sudah menduga hal ini akan terjadi.
"Luar biasa," gumam Gavin pelan. "Pak Adijaya memang legenda bisnis. Strategi manipulasinya kelas kakap. Saya harus banyak belajar."
"Kamu jangan memuji dia!" bentak Kiana pada Gavin. "Kita dijebak! Kontrak kita... pernikahan ini..."
"Sah secara agama dan negara," sela Kakek riang. "Dan sekarang, saham Adijaya Group aman. Rio nggak bisa sentuh apa-apa. Kalian hebat."
Belum sempat Kiana membalas, pintu ICU kembali terbuka. Kali ini dengan bantingan keras yang membuat engsel pintu berderit.
BRAK!
"MANA DIA?! MANA KAKEK?!"
Seorang pria muda dengan kemeja floral norak yang kancingnya terbuka separuh dada menyerbu masuk. Wajahnya merah padam, napasnya bau alkohol menyengat. Itu Rio, sepupu Kiana. Di belakangnya, Paman Hasan—ayah Rio—mengikuti dengan wajah tak kalah panik.
Rio terhenti mendadak saat melihat pemandangan di depannya.
Kakek Adijaya duduk tegak di ranjang sambil minum air mineral dengan santai. Kiana berdiri dengan wajah garang. Dan Gavin Ardiman duduk dengan tenang sambil melipat lengan kemejanya.
"Lho?" Rio melongo. Matanya mengerjap-ngerjap bodoh. "Katanya... katanya sekarat? Katanya gagal jantung? Kok malah minum Aqua?"
Kakek Adijaya meletakkan gelasnya. Tatapannya pada Rio berubah tajam dan dingin, berbeda 180 derajat dari tatapan jenakanya pada Kiana tadi.
"Kecewa kamu lihat saya masih hidup, Rio?" sindir Kakek.
"B-bukan gitu, Kek!" Rio gagap. "Tadi orang suruhan... eh maksudnya, perawat bilang Kakek kritis! Aku ke sini mau... mau memastikan warisan... eh, kesehatan Kakek!"
"Memastikan warisan maksudmu?" Kiana maju selangkah, menghadang Rio. "Sayang sekali, Rio. Kamu telat. Telat banget."
"Telat apanya?" Paman Hasan menyela, matanya licik memindai ruangan. "Jangan main-main kamu, Kiana. Rapat pemegang saham sebentar lagi. Kalau Kakek lewat, hak suara jatuh ke keluarga besar. Kamu perempuan, kamu nggak bisa..."
"Dia sudah menikah," potong Gavin tenang.
Gavin berdiri perlahan dari kursinya. Tingginya yang menjulang membuat Rio dan Paman Hasan harus mendongak. Kharisma Gavin sebagai CEO perusahaan raksasa langsung mendominasi ruangan kecil itu.
"Apa?" Rio tertawa mengejek. "Menikah? Sama siapa? Hantu rumah sakit? Jangan ngelawak deh lo, Ki. Gue tahu lo jomblo karatan."
Gavin melangkah mendekati Kiana. Dia berdiri tepat di sampingnya, bahu mereka bersentuhan. Dengan gerakan natural, Gavin melingkarkan lengannya di pinggang ramping Kiana, menarik wanita itu merapat ke tubuhnya. Sangat posesif. Sangat intim.
Kiana tersentak kaget, tubuhnya menegang. Dia mendongak menatap Gavin, tapi Gavin tidak melihatnya. Mata tajam Gavin terkunci pada Rio.
"Jaga bicara Anda," ucap Gavin dingin. "Anda sedang berbicara dengan istri saya. Nyonya Kiana Ardiman."
Rio melotot. "Ardiman? Maksud lo... Gavin Ardiman? CEO Ardiman Logistics?!"
"Betul. Dan mulai detik ini, segala urusan yang menyangkut Kiana dan Adijaya Group, juga menjadi urusan saya. Jadi kalau Anda masih berniat mengganggu istri saya atau meributkan soal warisan..." Gavin sengaja menggantung kalimatnya, memberikan efek intimidasi yang maksimal. "...Anda akan berhadapan dengan pengacara saya. Dan percayalah, pengacara saya jauh lebih galak daripada saya."
Rio mundur selangkah, nyalinya ciut seketika. Siapa yang tidak kenal Gavin Ardiman? Melawan Kiana saja Rio sudah kewalahan, apalagi ditambah Gavin. Tamat riwayatnya.
"Sialan..." umpat Rio pelan. "Ayah, ayo cabut. Kita kalah set."
Paman Hasan menatap Kiana dan Gavin dengan tatapan benci, lalu berbalik tanpa kata, menarik Rio keluar dari ruangan.
Pintu tertutup kembali. Keheningan turun.
Kiana menghela napas panjang, bahunya merosot lemas. Adrenalinnya habis. Kakinya terasa seperti jeli.
"Mereka sudah pergi," kata Kiana pelan, berusaha melepaskan diri dari rangkulan Gavin. "Oke, makasih aktingnya. Kamu bisa lepasin tangan kamu sekarang."
Tapi Gavin tidak melepaskannya.
Cengkraman di pinggang Kiana justru sedikit mengerat.
"Siapa bilang mereka sudah pergi jauh?" bisik Gavin. "Mereka pasti masih mengintip dari kaca pintu. Rio itu paranoid."
Kiana menoleh ke arah pintu. Benar saja, bayangan kepala Rio masih terlihat samar di kaca kecil pintu ICU.
"Terus kita harus ngapain? Joget?" tanya Kiana sarkas, meski jantungnya mulai berdebar aneh karena jarak wajah mereka yang terlalu dekat.
Gavin menunduk, menatap mata Kiana dalam-dalam. Di jarak sedekat ini, Kiana bisa melihat bulu mata lentik Gavin dan warna cokelat gelap di iris matanya yang menghipnotis. Wangi tubuh Gavin—campuran keringat, musk, dan aroma rumah sakit—entah kenapa terasa menenangkan.
"Kita harus meyakinkan penonton, Kiana," bisik Gavin, suaranya serak dan rendah, membuat bulu kuduk Kiana meremang. "Kontrak kita bilang kita harus terlihat meyakinkan, kan?"
"Gavin, ini rumah sakit..." cicit Kiana, nyalinya yang besar mendadak hilang entah kemana.
"Akting dimulai," bisik Gavin tepat di depan bibir Kiana. "Tersenyumlah, Istriku."
Kiana menahan napas.
Gavin tidak mencium bibirnya. Dia mendaratkan kecupan hangat dan lembut di kening Kiana. Lama. Sangat lama.
Bibir Gavin terasa lembut di kulitnya. Tangan besarnya mengusap punggung Kiana pelan.
Itu hanya akting. Kiana tahu itu hanya akting. Itu tertulis jelas di kontrak pasal sepuluh. Dilarang jatuh cinta.
Tapi kenapa?
Kenapa jantung sialan di dalam rongga dadanya ini berdetak begitu kencang, seolah ingin melompat keluar dan menari? Kenapa ada desiran hangat yang mengalir dari keningnya ke seluruh tubuhnya, membuat lututnya makin lemas?
Di ranjangnya, Kakek Adijaya tersenyum lebar sambil mengacungkan jempol ke arah Dokter Gunawan.
"Rencana A sukses besar," gumam Kakek pelan.
vote untuk mu