Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tibo Loro
"Mbah, buat wanita ini mencintaiku. Buatlah dunianya hanya menatapku, siang malam terbayang-bayang wajahku. Buat dia melupakan apapun kecuali aku! Bila perlu, buat suaminya mati!"
Seorang wanita paruh baya tercengang mendengarkan permohonan pria muda yang baru saja datang itu.
Sedangkan suaminya yang duduk bersila di sampingnya tersenyum sinis. "Apakah kamu sanggup menerima akibatnya?"
"Ya! Apapun itu." jawab pemuda itu cepat, keringat masih mengucur menelusuri pelipisnya yang putih di tumbuhi anak rambut yang ikut melepek.
"Le, Mbah rasa ada banyak gadis yang menyukai mu. Mengapa harus istri orang?" sela istri dukun sakti memandangi wajah tampan si pemuda.
"Aku hanya ingin dia." jawabnya.
Mereka bertatapan tanpa berkedip, saling menyiratkan niat dan keyakinan atas keraguan istri dukun yang di datanginya dengan susah payah.
Pemuda itu telah melewati hutan dan tersesat cukup jauh, berputar di area yang sama hingga lelah letih, sakit lututnya. Dia tidak menyerah bahwa sempat bertemu kuntilanak dan mengikutinya hingga. sampai di gubuk tua sang dukun sakti.
"Aku sudah memikirkannya sejak lama. Aku juga tidak akan main-main, aku ingin menikahinya."
Pria tua itu mengangguk, sedangkan wanita paruh baya yang merupakan istrinya itu menggeleng, gelisah menatap pria muda yang begitu nekat karena cinta.
"Baiklah."
Dukun sakti itu mulai berkomat-kamit sambil memejamkan matanya. Selembar foto yang di berikan pria muda itu mulai di letakkan memutar diatas asap dupa yang berbau menyengat. Dia begitu fokus Hingga beberapa saat kemudian, ritual yang dilakukannya usai, asap yang menyeruak pun kini menyusut dengan sendirinya.
"Bawalah kelopak-kelopak bunga ini, campurkan dengan air ini dan siramkan ke sekitar rumah perempuan yang kau cintai itu." Memberikan botol berisi air dan kelopak bunga di dalam kantong hitam terbuat dari kain.
"Baiklah Mbah." pemuda itu menyimpan botol plastik dan kelopak bunga ke dalam tasnya.
"Bantulah dia, dan bersabar."
Pria bernama Dion itu terdiam, mencerna ucapan dukun sakti yang didatanginya atas rekomendasi temannya itu.
Bukankah dia datang ke sana lantaran tidak sabar ingin mendapatkan wanita pujaannya?
Dion pun mengangguk. "Kalau begitu saya permisi." Dia menyelipkan amplop cukup tebal ke tangan istri Mbah dukun, lalu berpamitan meninggalkan rumah sederhana itu.
"Pak?" panggil istri si dukun, ia terlihat gelisah memandangi pria muda yang terus berjalan menuju jalan raya yang lumayan jauh.
"Biarkan saja." kata suaminya, menoleh istrinya dengan lembut.
"Tapi, perempuan itu punya suami."
Mbah dukun bernama Suropati itu mengelus jenggotnya yang panjang sambil memandangi jalan setapak yang telah kosong di depan rumahnya.
"Biarkan takdir yang bekerja, perempuan itu sedang kelelahan menghadapi serangan tak kasat mata. Lahir batinnya sedang di tindas, orang terdekatnya adalah musuh yang sebenarnya. Aku kasihan. Dan pemuda itu...."
"Kenapa Pak?" tanya perempuan itu lagi.
"Dia tidak akan mampu melupakan perempuan itu meskipun kita menolak niatnya. Dia telah mencintai perempuan yang memiliki pengasihan alami, hatinya sudah terkunci. Perempuan itu adalah pemilik weton Wage, Tibo Loro."
Sang istri pun tersentak hingga matanya terbelalak. Ingatannya menerawang jauh ke masa lalu. Mata tuanya mendadak berkaca-kaca.
***
30 tahun yang lalu.
*
*
*
Oweee....
Oweee....
Oo, oowe...
Suara tangisan bayi terdengar nyaring membelah kegelapan, suara jangkrik dan burung berbisik samar, tidak mengencangkan suara seperti malam sebelumnya. Cahaya rembulan tampak remang dari arah barat, menyinari rumah panggung sederhana berdiri di tengah perkebunan kopi. Dua hektar lahan itu di kelilingi belukar dan hutan, deru sungai pun tak ketinggalan menjadi nada di setiap malam terdengar terang.
"Anak kita perempuan Dek."
Suara seorang pria terdengar bergetar menahan kebahagiaan atas kelahiran sang putri.
"Huh! Aku lelah, Mas." jawab istrinya, sempat membelai wajah bayinya, lalu memejamkan mata sejenak.
Suaminya itu mengangguk, membiarkan sang istri beristirahat setelah ibu mertuanya membersihkan bagian bawahnya. Sedangkan bayi mereka langsung di selimuti dengan kain dan di bawa ke sudut ruangan untuk di bersihkan di dalam baskom berisi air kelapa.
"Mau dimandikan Mbok?" tanya perempuan paruh baya itu mendekati dukun bayi, meletakkan lampu teplok lebih dekat, agar jelas melihat cucunya yang menggeliat.
"Dibersihkan sedikit." jawabnya, mengusap-usap tubuh bayi mungil itu dengan hati-hati. "Sebentar lagi subuh, mandinya setelah ada sinar matahari saja, Adem."
Dukun beranak itu, segera mengangkat bayi mungil itu kemudian menggulung tubuhnya dengan kain jarik, jadilah bayi mungil itu seperti kepompong yang nampak hanya wajahnya saja.
"Sini Mbok, biar saya peluk. Dia pasti kedinginan." pinta Bu Lasmi.
Belum juga di berikan kepada sang nenek, bayi mungil sudah menangis kencang.
"Cup-cup-cup. Sayang, ojo nangis Cah ayu... Jangan nakal ya." begitulah suara sang nenek menghiburnya.
Satu Minggu sudah berlalu, Syukuran kecil-kecilan di laksanakan meskipun hanya dengan bubur merah putih dan nasi bakul berisikan telur beserta bacem tempe, Tak lupa sepotong ayam kampung hasil peternakan sendiri ikut di goreng dengan bumbu khas asin manis.
"Kamu bagikan pada tetangga." titah sang ibu mertua.
Pria bernama Rudy itu mengangguk, meraih beberapa besek nasi yang sudah di tata ke dalam tas besar dari bambu. Ia pun pergi menuju sungai, mengantarkan besek-besek berisi makanan itu kepada tetangga yang berada di seberang sungai.
"Alhamdulillah, dapat rezeki dari cah ayu." sambut seorang ibu menyambut gembira besek berisi makanan itu.
"Mohon doanya, semoga putriku menjadi anak pinter Bude." ucap Rudy dengan wajah sumringah bahagia.
"Pasti, Bude doakan yang baik-baik. Jenenge sopo Le?" tanya ibu tersebut.
"Wulan, Bude. Lahirnya subuh Minggu kemarin." jawab Rudy.
"Minggu kemarin?" tiba-tiba suami Bude Mar itu keluar dan menyela.
"Injeh Pak." jawab Rudy, menyalami pria paruh baya yang baru keluar itu.
"Seng sabar, Selalu berdoa kepada yang maha kuasa. Anakmu istimewa." ucap pakde menepuk-nepuk pundak Rudy.
Sepanjang perjalanan pulang ia memikirkan ucapan pakde yang terasa ambigu. "Maksudnya istimewa itu bagaimana? Apakah anak ku bisa melihat hantu?" gumamnya di dalam hati.
Dia mengait-ngaitkan ucapan pakde Suryo dengan kejadian beberapa malam ini, Wulan selalu menangis di malam hari. Tidur di siang hari dan hanya bisa nyenyak kalau di gendong.
Belum juga sampai di anak tangga, terdengar suara istrinya mengeluh karena Wulan tidak mau tidur di kasur. Lalu tangisan Wulan pun terdengar semakin kencang setelahnya.
"Ada apa Dek?" tanya Rudy kepada istrinya, terburu-buru.
"Wulan tidak mau tidur Mas. Sudah lah semalam terus-terusan menangis, siang juga gak mau lepas. Terus aku istirahatnya bagaimana?" keluh Ratih.
Rudy mengambil Wulan yang digeletakkan istrinya di kasur, lalu menggendongnya.
"Mbok ya, cuci tangan sama kaki dulu, biar Ndak sawan." si Mbah muncul dari belakang, mengambil alih Wulan dari tangan Rudy.
"Maaf Mbah." ucap Rudy, namun ia tak kunjung pergi, malah menatap bayinya yang mulai tenang di gendong si Mbah.
"Mbah." panggil Rudy, sedikit melamun karena terngiang ucapan Pakde Suryo.
"Ono opo?" tanya si Mbah.
"Tadi aku bertemu dengan pakde Suryo." Rudy menjeda ucapannya, melirik wajah dukun beranak itu sejenak. "Katanya, Wulan ini lahir di hari istimewa. Dia istimewa, maksudnya bagaimana?" tanya Rudy.
Si Mbah pun menatap pria yang sudah dianggap anaknya tersebut. Perempuan itu mendesah berat, lalu duduk menyandar di samping pintu.
"Apakah anak ku... Berbeda?" tanya Rudy lagi, tak sabar.
Mbah menggeleng, lalu tersenyum tipis namun penuh makna. "Anakmu lahir di hari Minggu, hari yang lebih tua dari hari-hari yang lain. Dan memiliki weton yang istimewa, Wage.
Rudy tercengang, namun kebingungan masih melanda karena dia tidak mengerti. "Maksudnya, Mbah?"
"Dia istimewa dari berbagai sisi kehidupan, baik yang nyata maupun kebatinan. Dia memiliki hati yang tulus, simbol keberuntungan dan keindahan. Di sukai banyak orang, tapi juga dibenci. Selain itu, dia banyak disukai oleh yang tidak nyata. Tapi...."
"Tapi apa?" potong Rudy.
"Ujiannya juga luar biasa." jawab Mbah sambil menghela nafas berat, ia menunduk memandangi wajah mungil di dalam dekapannya.
"Ujiannya Mbah?" lirih suara Rudy bertanya.
Si Mbah mengangguk, lalu melanjutkan ucapannya. "salah satu ujiannya adalah kamu."
Rudy semakin tercengang mendengarnya.
harus mengalah
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya