NovelToon NovelToon
Pewaris Dendam

Pewaris Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Balas dendam pengganti / Nikah Kontrak
Popularitas:291
Nilai: 5
Nama Author: Lautan Ungu_07

Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.

Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 01 Kontrak Berdarah

17 tahun yang lalu...

Udara sore itu padat dengan aroma parfum mahal dan rasa curiga. Nadira Amabia, duduk di kursi hitam, jari-jarinya menekan meja perlahan, ritme kecil yang selalu muncul tiap kalo dia berfikir.

"Jadi... kamu lihat semua transaksinya?" suara Nadira terdengar lembut, tapi dingin seperti logam.

Asisten pribadinya yang baru. Rendra. Menelan ludah. "I-iya, Bu... tapi saya nggak sengaja. Saya cuma..."

"Artinya kamu tahu terlalu banyak." Nadira tersenyum kecil. Satu senyum yang cukup untuk membuat udara berhenti berputar.

Tak ada lagi percakapan semuanya hanya menyisakan ketegangan yang menggantung.

Heri terus berlalu tanpa ragu. Tapi mampu membuat hati, Nadira gelisah. Hembusan angin sore membawanya masuk ke halaman rumah, tidak terlalu mewah, tapi cukup besar.

Kakinya menginjak tanah perlahan, matanya menghindari sekitar. Tak ada yang memperhatikan, tak ada yang mencurigai.

Beberapa menit kemudian, hanya terdengar langkah pelan, suara pintu yang menutup. Lalu... sunyi.

Dalam satu malam, rumah itu seketika ramai. Mengundang banyak orang-orang. Garis kuning polisi melingkar di depan pintu.

Polisi menyebutnya bunuh diri. Tapi hanya Nadira dan sunyi yang tahu, betapa rapinya dosa sore itu disembunyikan.

Langit mendung, aroma bunga layu masih tercium di ruang tamu itu. Fellisya berdiri di hadapan Nadira, wajahnya cantik, tenang. Tapi di balik itu, ada amarah yang di tahan.

"Aku tahu, Bu." nada uaranya tajam.

"Tahu apa, sayang?" Nadira mengerutkan alis, pura-pura bingung.

"Ayah nggak bunuh diri. Kamu yang bunuh dia." Fellisya menatap langsung ke mata Nadira. Tak ada takut disana, hanya dendam yang matang.

"Kasih aku semua harta kamu, atau... aku buka kasus ini. Aku punya bukti." Fallisya melempar beberapa lembar foto.

Hening. Nadira hanya terkekeh. "Berani juga, kamu." ia memutar tubuhnya membelakangi Fellisya. "Semua hartaku bisa jadi milikmu... asal kamu jalani satu hal."

Di luar hujan gerimis mulai turun. Sedangkan di meja marmer putih, selembar kertas perjanjian terbentang.

"Menikahlah dengan putra saya. Varellino Abhisar. Pertahankan dua puluh tahun. Cukup kasih aku satu cucu laki-laki. Setelah itu, semua milikku akan menjadi milikmu."

Fellisya menatap kertas putih lama. Tangannya gemetar. Tapi bukan karena ragu, melainkan karena ia tahu, mulai detik itu, ia menjual biasanya sendiri.

Tanda tangan itu terlihat jelas di kertas putih, di bawahnya darah segar ikut menjadi saksi atas penandatanganan itu.

Malam itu, di ruang makan rumah Nadira. Hanya ada Varel dan dirinya yang tengah menikmati makan malam.

Semuanya nampak begitu tenang. Sebelum akhirnya, Nadira membuka suara dan mengatakan sesuatu kepada Varel.

"Kamu anak satu-satunya, Mama," katanya pelan. "Semua harta Mama akan jatuh ke tangan kamu." lanjutanya, bibirnya tersenyum tipis.

"Iya, kalau bukan aku, siapa lagi?" jawab Varel santai.

"Fellisya, selain kamu. Dia juga berhak mendapatkan semua harta itu?" matanya menatap Varel.

"Siapa dia?... kenapa begitu berhak?" tanya Varel bingung. Selama hidupnya, ia baru mendengar nama itu kali ini.

"Calon istri, kamu." Nadira memberikan kertas putih dengan deretan perjanjian dan tanda tangan serta noda darah.

Varel menatap Ibunya sebentar, lalu membaca deretan perjanjian itu dengan serius.

Ia menggeleng. "Nggak! Aku mau nikahin, Renata, Mah. Bukan orang lain, apalagi atas perjanjian kayak gitu!"

"Hanya dua puluh tahun, dan kalau kamu tolak, artinya kamu nggak akan mendapatkan satu persen pun dari, Mama." Nadira kembali mengambil kertas perjanjian itu.

Malam itu, Varel tak bisa berontak. Ia menerima perjanjian itu dengan satu syarat.

"Aku terima perjanjian itu, tapi dua hari sebelum acara pernikahan itu di mulai... aku akan menikahi Renata." ucapnya, suaranya bergetar. Merasa jika dirinya terjebak atas dosa Ibunya sendiri.

Hening. Hanya bunyi detak jam dinding yang terdengar setelah percakapan mereka malam itu.

Dua bulan berlalu...

Pernikahan itu di gelar megah di ballroom hotel bintang lima. Lampu-lampu kristal berkilau, tamu-tamu kelas atas berdandan elegan. Fellisya tampak menawan dalam balutan gaun putihnya, sementara Varel berdiri di sampingnya, terlihat begitu tampan tapi beku.

Sorak bahagian menggema. Kilatan camera menyilaukan mata. Namun di sudut ruangan, berdiri seorang perempuan bergaun biru lembut, dengan mata yang menahan tangis. Renata Leticia, ia menatap dua insan di pelaminan itu, tersenyum kecil, senyum getir yang memaksa dirinya nampak kuat.

'Aku tahu ini berat, tapi... selagi kamu benar-benar tidak mencintainya. aku akan tetap berada di sampingmu' batinnya.

Malam semakin larut, satu persatu tamu undangan sudah pergi. Kini hanya menyisakan keluarga Varel dan Fallisya.

Varel juga segera meninggalkan acara itu, berjalan menuju Renata, dan membawanya masuk ke dalam kamar untuk istirahat.

"Maaf, sekali lagi aku minta maa," kata Varel sambil menggenggam tangan Renata.

Renata menatapnya dengan mata yang sudah berair. "Tidak apa-apa, asal kamu berada di pihak ku, itu udah cukup." jawabnya, badan suaranya bergetar.

Angin dari celah jendela berhembus, seolah ingin menghapus rasa sesak yang Renata rasakan. Tapi tak bisa, keduanya menerima ini hanya kontrak untuk mempertahankan harta yang mereka pikir, harus jadi milik mereka.

Tak lama, ketukan pintu kamar terdengar. Renata turun dari ranjang, lalu membuka pintu perlahan.

Di ambang nya, Nadira berdiri tegas, wajahnya datar. Ia membawa satu minuman untuk Varel.

"Suruh dia minum ini, jika obatnya sudah bereaksi. Kamu pindah ke kamar lain, biar Fellisya yang layani dia malam ini." suara pelan, tapi cukup menyayat.

"Nggak! Mama, jangan minta terlalu jauh. Mereka nikah terpaksa." tolak Renata.

Nadira terkekeh, tersenyum miring. "Apa kamu tidak membaca isi kontrak itu, Renata?... disitu sudah jelas tertulis, lahirkan satu anak laki-laki."

Renata tak mampu lagi menjawab. Dunianya seketika runtuh, napasnya terasa berat, tenggorokannya tercekat.

"Gimana?" suara Nadira kembali terdengar.

Renata hanya tersenyum getir, lalu mengangguk ragu. "I-iya, Bu. Aku akan pindah kamar."

Nadira masuk ke dalam kamar. Ia melihat Varel sudah tertidur pulas. Perlahan ia bangunkan.

"Varel, minum dulu ini, Nak."

Mata Varel perlahan terbuka. Ia duduk, menatap Nadira dengan mata setengah terbuka.

"Minum dulu," katanya, ada senyum tipis di wajahnya.

Varel tak merasa curiga apapun, ya hanya ingin kembali tertidur dan Nadira segera pergi. Tanpa banyak tanya, ia meraih gelas yang berisi minuman berwarna merah itu, lalu meminumnya.

Setelah itu, ia kembali membaringkan tubuhnya. Nadira mulai menghitung waktu obat perangsang itu bereaksi.

Tanda kata lagi, Nadira segera keluar dari kamar Varel, lalu kembali ke kamar Fellisya.

Saat pintu kamar Fellisya di buka. Nadira tersenyum puas, melihat Fellisya yang sepertinya sudah mulai terangsang.

"Ayok, ikut Mama," ia meraih lengan Fellisya, lalu membawanya ke dalam kamar Varel.

Dan malam itu, menyaksikan bagaimana dua menaruhkan kebahagiaan hanya untuk harta. Dan si satu kamar lain, Renata menatap langit gelap sana. Yang ia inginkan bukan harta, tapi cinta yang ia simpan di hati Varel.

Sembilan bulan berlalu...

Dua bayi lahir dengan selamat. Satu laki-laki dan satunya lagi perempuan. Tapi Nadira hanya menyambut bayi laki-laki. Sementara bayi perempuan, Renata yang menyambutnya.

"Saya berinama kamu, Keandra Alkaezar. Cucu Oma." wajahnya tersenyum puas.

"Yang cewek, udah ada namanya, Mah?" tanya Renata.

Nadira hanya menoleh sekilas. "Nggak ada, kamu aja yang kasih nama."

"Hai cantik, kamu Ibu kasih nama, Kallista Alkaezar." kata Renata, menatap bayi mungil itu dengan senyum haru.

"Kenapa pake nama Alkaezar, itu khusus untuk keluarga saya." Nadira menyahut dengan nada kesal.

"Mah, anak ini juga keluarga, Mama. Cucu Mama juga, mereka terlahir bersama. Nggak ada salahnya nama mereka sama." jawab Renata santai. Ia menatap ibu mertuanya itu.

Sementara di ruang persalinan. Fellisya hanya menatap kosong langit-langit rumah sakit. Merasa, jika yang ia lahir kan bukan cinta, tapi dendam yang masih terpendam. Untuk sekedar melihat kedua bayi yang terlahir dari rahimnya pun ia tak sudi.

Dendam itu masih ada sampai sekarang, sudah enam belas tahun berlalu. Tapi, Fellisya tak pernah mengakui mereka anaknya. Yang Fellisya tahu, mereka hanya mewarisi dendam. Dan... dendam itu tidak akan hilang, sebelum Fellisya membalas menghilangkan satu nyawa seseorang, yang Nadira sayangi.

1
Apaqelasyy
Keren banget plotnya.
Lautan Ungu_07: Awww makasih udah baca🎀 seneng banget ada yang notice alurnya.💝💝
total 1 replies
Willian Marcano
Buatku melek sepanjang malam.
Lautan Ungu_07: Aduhh, kasihan matanya... tapi makasih loh, udah baca cerita ini.😅🥰🎀
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!