Pernikahan Adelia dan Reno terlihat sempurna, namun kegagalan memiliki anak menciptakan kekosongan. Adelia sibuk pada karir dan pengobatan, membuat Reno merasa terasing.
Tepat di tengah keretakan itu, datanglah Saskia, kakak kandung Adelia. Seorang wanita alim dan anti-laki-laki, ia datang menumpang untuk menenangkan diri dari trauma masa lalu.
Di bawah atap yang sama, Reno menemukan sandaran hati pada Saskia, perhatian yang tak lagi ia dapatkan dari istrinya. Hubungan ipar yang polos berubah menjadi keintiman terlarang.
Pengkhianatan yang dibungkus kesucian itu berujung pada sentuhan sensual yang sangat disembunyikan. Adelia harus menghadapi kenyataan pahit: Suaminya direbut oleh kakak kandungnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Cahaya pagi merambat malas dari ufuk timur, bukan seperti teriakan yang memaksa, melainkan serupa bisikan lembut yang menyelinap melalui tirai tipis berwarna krem di kamar utama.
Udara dingin sisa semalam bercampur aroma peppermint dari pengharum ruangan, menciptakan suasana tenang yang mewah. Namun, di balik kedamaian yang teratur itu, tersembunyi sebuah keheningan yang terlalu sunyi, keheningan yang belum pernah diisi oleh tawa atau tangis seorang anak.
Reno membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah rambut Adelia yang tergerai, sehitam malam, kontras dengan sarung bantal satin putih di bawahnya.
Adelia, istrinya. Wanita yang ia nikahi lima tahun lalu dan masih terasa seperti perayaan setiap kali ia terbangun di sampingnya.
Ia menarik tubuhnya sedikit lebih dekat, merasakan punggung telanjang Adelia yang dingin menyentuh dadanya. Keintiman semalam masih terasa seperti lapisan hangat yang melapisi kelelahan.
Semalam, seperti malam-malam lainnya, mereka telah berusaha. Bukan hanya bercinta, tetapi berusaha menciptakan keajaiban. Upaya yang selalu diakhiri dengan harapan yang tak terucapkan, yang kini mulai terasa seperti beban rahasia di bahu Reno.
Ia mengangkat tangannya, menyentuh lembut kulit Adelia, mengelus tulang belikat hingga bahu. Sentuhannya terasa seperti menghormati, bukan sekadar memiliki.
"Selamat pagi, Sayang," bisik Reno, suaranya serak. Ia menenggelamkan wajahnya sebentar di lekukan leher Adelia, menghirup aroma tubuh istrinya yang selalu mahal dan elegan.
Adelia menggeliat perlahan, sebuah lenguhan kecil terlepas dari bibirnya. Ia membalikkan badan, mata cokelatnya yang indah mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya. Di mata itu, Reno melihat cinta yang tulus. Cinta yang ia yakini tidak akan pernah hilang.
"Pagi, Mas," jawab Adelia, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. Ia meraih pipi Reno, mengusapnya dengan ibu jari. Gestur yang selalu hangat, namun Reno merasakan ada sedikit ketergesaan di dalamnya, seolah Adelia sudah memikirkan daftar tugas harian bahkan sebelum benar-benar bangun.
"Semalam kamu tidur pulas sekali," kata Reno, sengaja menarik topik untuk memperpanjang waktu di atas kasur. Ia suka momen ini. Momen di mana Adelia sepenuhnya miliknya, sebelum ia berubah menjadi Adelia Sang Manajer Butik yang Perfeksionis.
Adelia terkekeh pelan. "Aku lelah. Tapi kamu hebat sekali semalam." Kalimat itu diucapkan dengan nada menghargai, tetapi tanpa gairah yang sama. Ia memajukan wajahnya, mencium bibir Reno. Ciuman singkat dan lembut, sebuah ucapan terima kasih alih-alih ajakan.
Reno membalas ciuman itu, mencoba menahannya lebih lama, lebih dalam. Ia menyelipkan jemarinya ke rambut Adelia, menarik tengkuknya. Ia ingin memancing percikan api itu kembali, percikan yang terasa semakin sulit untuk dinyalakan belakangan ini.
"Aku merindukanmu, Sayang. Sepanjang hari," kata Reno dengan suara rendah, menatap dalam mata istrinya.
Adelia tersenyum lagi, kini lebih hangat. "Aku juga merindukanmu, Sayang. Tapi hari ini aku harus cek stok butik di Senayan. Dan jangan lupa, hari ini jadwal terapi akupunturmu jam tiga sore." Adelia kemudian bangkit, dengan gerakan yang cepat dan elegan, seolah alarm di kepalanya sudah berbunyi.
Reno terdiam. Kehangatan yang baru saja ia rasakan seketika menguap, digantikan oleh kesadaran pahit. Bagi Adelia, keintiman mereka adalah bagian dari program. Salah satu tugas penting untuk menuntaskan misi utama mereka: mendapatkan keturunan. Bukan hanya murni sebuah kerinduan.
Reno memaksakan senyum. "Aku ingat. Jam tiga, kan?" Ia mengulurkan tangan, meraih tangan Adelia yang sudah mengenakan jubah sutra. Ia mencium punggung tangan itu lama. "Kamu cantik sekali. Selalu."
Adelia melangkah ke kamar mandi marmer, suaranya memanggil dari balik pintu yang tertutup. "Kamu juga. Cepatlah mandi, Mas. Jangan sampai terlambat ke kantor."
Reno berbaring sendirian di kasur ukuran besar itu, menatap langit-langit. Rumah mewah mereka adalah mahakarya, begitu pula pernikahannya.
Tapi di dalam kemewahan itu, ada sebuah kekosongan yang perlahan menggerogoti. Ia mencintai Adelia lebih dari apa pun.
Tiga puluh menit kemudian, mereka sudah berada di meja makan. Sebuah meja panjang kayu jati dengan hiasan vas kristal yang elegan, terletak di ruang makan minimalis dengan pemandangan langsung ke kolam renang.
Adelia, dengan blus sutra dan rok pensil, sudah bertransformasi menjadi wanita karier yang siap menaklukkan dunia.
"Mas, sudah aku masukkan semua catatan dokter terbaru ke gawai pintarmu. Pastikan kamu membacanya lagi sebelum terapi," ujar Adelia sambil menyesap teh hijaunya.
Reno mengangguk sambil mengoleskan selai pada rotinya. "Aku pasti membacanya, Adelia. Kamu tahu aku akan melakukan apa pun."
"Bagus. Karena ini kesempatan terakhir kita dengan program yang ini. Aku sudah bilang ke Ibu kalau aku tidak bisa ikut arisan bulan ini. Aku harus mengurus jadwalmu, dan setelah itu ada pertemuan dengan klien dari Malaysia."
Reno merasakan sentuhan dingin saat Adelia menyebut kata 'jadwal'. Ia meletakkan garpunya.
"Sayang? ," Reno memanggil pelan. Adelia mengangkat alisnya, menunjukkan bahwa ia sedang mendengarkan sambil memeriksa ponsel.
"Bisakah kita... bicara sebentar, ?"
Adelia meletakkan ponselnya, tetapi tatapannya masih penuh konsentrasi.
"Tentu, Mas. Bicara apa? Soal rencana liburan akhir tahun? Aku sudah memesan vila di Bali."
Reno menghela napas. "Bukan. . Aku merasa belakangan ini kita terlalu fokus pada rencana. Aku rindu saat kita bicara tanpa ada kata 'dokter', 'janji temu', atau 'butik' di tengahnya."
Adelia meraih tangan Reno di atas meja, menggenggamnya dengan hangat. "Mas, aku tahu. Aku juga rindu. Tapi kamu tahu kan, perjuangan kita ini tidak mudah. Semua ini aku lakukan untuk kita, untuk rumah tangga kita, agar segera ada kehidupan di sini. Aku tidak mau kamu sedih karena aku lalai."
Reno tahu Adelia benar. Rasa cinta dan komitmen Adelia tidak perlu diragukan. Masalahnya adalah, komitmen itu kini terasa begitu terorganisir, begitu tertata, hingga keintiman pun kehilangan spontanitasnya.
"Aku mengerti. Aku mencintaimu, Sayang. Terima kasih sudah berjuang sekeras ini," ujar Reno, pasrah.
Tiba-tiba, ponsel Adelia berdering nyaring. Adelia melihat layar, raut wajahnya berubah seketika. Itu panggilan dari Tante Ria, bibi mereka yang tinggal di kampung.
"Tante Ria?" gumam Adelia. Ia segera mengangkatnya, nada suaranya berubah panik setelah mendengar beberapa kata.
"Tunggu, Tante. Pelan-pelan. Siapa yang... Innalillahi... Kapan? Ya Tuhan..."
Reno langsung berdiri. Ekspresi Adelia berubah menjadi kaget dan duka yang mendalam. Ia menjatuhkan sendoknya ke piring, menimbulkan bunyi yang memecah keheningan mewah pagi itu.
Adelia menutup telepon.
Air mata sudah membanjiri pipinya, menghapus riasan tipis yang baru saja ia kenakan.
"Ada apa, Sayang?" Reno bertanya, menahan napas.
"Mas... Bapak sama Ibu... kecelakaan di jalan desa tadi malam. Mereka meninggal di tempat," ucap Adelia, suaranya bergetar hebat. "Mereka... mereka sudah pergi, Mas."
.......
Siang hari itu diwarnai proses pemakaman yang penuh kepiluan. Reno menenangkan Adelia yang menangis tak henti-hentinya di samping makam orang tuanya. Selain duka yang mendalam, ada masalah lain yang harus mereka hadapi.
.......
Dua hari setelah pemakaman, Reno dan Adelia duduk bersama pengacara dan bibi mereka, Tante Ria, di ruang keluarga.
"Rumah di kampung harus segera dijual," kata Tante Ria dengan suara serak karena menangis. "Bapak dan Ibu meninggalkan utang yang cukup besar, Mas Reno. Uang asuransi tidak cukup menutupinya. Penjualan rumah adalah satu-satunya jalan."
Adelia menyeka air matanya. "Kalau begitu jual saja, Tante. Kami akan bantu melunasinya jika masih kurang."
Tante Ria menggeleng. "Sudah cukup, Adelia. Tapi ada satu hal lagi. Kalian tahu kan, Saskia? Dia sudah menggunakan hampir semua uang hasil usaha kecilnya untuk membantu Ibu bayar cicilan.
Sekarang dia tidak punya apa-apa lagi. Rumahnya juga akan ikut dijual karena itu rumah warisan orang tua."
Saskia. Kakak Adelia yang tiga tahun lebih tua. Reno mengenalnya sebagai sosok wanita pendiam, alim, dan sangat sederhana, yang hampir tidak pernah berbicara dengannya karena sifatnya yang tertutup, apalagi setelah batal menikah setahun lalu. Sejak kegagalan itu, Saskia memilih menutup diri dari dunia pria.
Adelia menatap Reno. "Saskia tidak punya siapa-siapa lagi di kampung. Dia tidak mungkin tinggal sendirian di sana setelah semua ini."
Reno memandang istrinya. Ia tahu apa yang dipikirkan Adelia. Sebagai kakak beradik tunggal, Adelia merasa memiliki tanggung jawab penuh.
"Dia harus pindah ke sini," kata Adelia mantap. "Dia bisa tinggal di kamar tamu di lantai bawah. Dia butuh waktu untuk pulih dari trauma kehilangan dan mencari pekerjaan baru. Aku akan mengurusnya."
Reno mengangguk tanpa ragu. Hatinya yang penyayang langsung tergerak oleh rasa iba. Ia membayangkan Saskia, si wanita alim yang selalu terlihat rapuh, kini benar-benar sendirian dan tak berdaya.
"Tentu saja, Sayang. Dia kakakmu. Rumah ini juga rumahnya. Suruh dia segera berkemas dan pindah ke sini."
Adelia memeluk Reno erat-erat. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang suami terbaik."
Reno membalas pelukan itu, tetapi pikirannya menerawang.
Tiba-tiba, ia merasa sebuah tugas berat, yang entah mengapa terasa lebih mudah daripada upaya mereka mendapatkan anak, kini diletakkan di pundaknya.
Ia harus melindungi Saskia.
Reno tidak menyadari. Bahwa keputusannya untuk menyambut Saskia ke dalam rumah itu, ke dalam celah kekosongan yang diciptakan oleh pernikannya sendiri, adalah awal dari kehancuran terorganisir yang akan mereka alami.
Satu minggu kemudian.
Sore itu, Reno baru pulang dari kantor. Ia melihat ada sebuah koper usang berwarna cokelat diletakkan di sudut ruang tamu minimalis mereka. Koper itu terlihat begitu lusuh, begitu asing, di tengah kemewahan serba pesanan khusus di rumah itu.
Saskia telah tiba.
Reno melangkah ke dapur, di mana ia menemukan Adelia sedang menyajikan teh. Di sana, duduk Saskia di meja makan, dengan pakaian rumahan yang sederhana dan hijab yang menutupi auratnya.
Ia terlihat lebih kurus, matanya sedikit bengkak. Kesederhanaannya—pakaiannya, gerak-geriknya yang diam kontras tajam dengan estetika mewah di sekelilingnya.
Adelia tersenyum pada Reno. "Nah, Mas. Ini dia. Saskia sudah datang dari tadi."
Reno mendekat. Ia menatap kakak iparnya. Saskia mendongak, matanya yang teduh menatap Reno sekilas, lalu cepat-cepat menunduk lagi. Ia tampak canggung, bahkan takut. Ia seperti bayangan, tidak ingin menarik perhatian.
"Mas Reno," panggil Saskia dengan suara yang nyaris berbisik. "Maaf merepotkan kalian."
Reno berjalan mendekat, menepuk bahu Saskia dengan sentuhan yang tulus dan menenangkan. Sentuhan yang tidak mengandung niat romantis sedikit pun, hanya rasa iba seorang pelindung.
"Tidak ada yang repot, Kak Saskia. Kamu sudah seperti adikku sendiri. Tenang saja di sini. Anggap saja rumah sendiri," kata Reno.
Saskia hanya mengangguk pelan, tanpa berani membalas tatapan Reno.
Adelia, yang sibuk mengurus teh, tidak menyadari betapa lembutnya sentuhan Reno di bahu kakaknya. Dan Reno, yang hanya berniat baik, tidak menyadari betapa kehangatan tulus yang ia berikan pada Saskia, adalah kehangatan yang sama yang ia rindukan di dalam pernikahannya sendiri.