Salsa bisa lihat malapetaka orang lain… dan ternyata, kemampuannya bikin negara ikut campur urusan cintanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mata Baru Setelah Demam Tinggi
“Salsa, kamu sudah izin sakit dua hari!”
“Kalau kamu nggak dateng lagi, aku ganti orang lain, lho! Kamu tahu nggak, ada berapa banyak yang pengin ambil kerjaan part-time ini?”
Salsa Liani terlonjak dari tidur, tubuhnya gemetar kaget, langsung sadar dan panik sambil menempelkan telepon di telinga.
“Jangan, Mbak Tia! Aku pasti datang hari ini!”
Dua hari berturut-turut Salsa demam tinggi, tapi hari ini Salsa merasa tubuhnya mulai pulih.
Sudah dua bulan Salsa lulus kuliah tapi belum dapat kerja tetap. Kalau sampai kehilangan part-time di tempat Mbak Tia, bagaimana mau bayar sewa kos dan makan sehari-hari?
Salsa menutup telepon, mengusap-usap kepalanya yang sakit, lalu meraba-raba kaca matanya di samping tempat tidur.
Dia buta jauh parah, minus 12 plus silinder. Tanpa kacamata, orang dua meter jauhnya terlihat seperti bercampur jadi satu dengan latar belakang, dunia di sekitarnya tampak seperti dilapisi kaca buram.
Setelah mencari-cari, akhirnya ketemu—kacamata hitam kotak kesayangannya terselip di bawah meja belajar. Salsa hendak menunduk mengambilnya… tapi tubuhnya tiba-tiba kaku.
“Eh, tunggu… ini gimana bisa…?!”
Meja belajar sekitar dua meter jauhnya, tapi dia bisa melihat kacamata kecil itu dengan jelas?
Salsa mengerjapkan mata, lalu menatap sekeliling. Segala sesuatu di kosannya tampak super jernih!
Dia bisa membaca kalender di dinding beserta catatan kecil yang dia buat: “15 Agustus, tanggal bagus buat bersih-bersih”
Sekilas menengok keluar jendela, nomor telepon di billboard yang jaraknya seratus meter pun terlihat jelas!
Padahal biasanya, bahkan dengan kacamata tebal sekalipun, cuma bisa nebak-nebak angka.
Setelah memeriksa berkali-kali, Salsa baru yakin—dalam semalam matanya yang minus parah kembali normal!
“Wih, bisa jadi tentara khusus nih rasanya!”
Kebahagiaan campur bingung. Bagaimana bisa matanya pulih mendadak? Mimpi, ya?
“Biiip biiip biiip—”
Alarm ponselnya berbunyi, membuyarkan euforia. Kalau telat lagi, bisa-bisa part-time-nya hilang diambil orang.
Salsa buru-buru cuci muka, pakai motor listrik, tancap gas ke Mall Nusantara.
Dari kos ke mall, harus melewati persimpangan super padat. Lampu merahnya lama—70 detik!
Saat menunggu lampu hijau, dia bersenandung ringan.
“Nggak pakai kacamata tuh enak banget ya! Beratnya tuh di hidung, plus kacamata tebal bikin kesan ‘tambah umur’ tiap panas terik. Dan bayarnya… duh, operasi mata tuh 40 juta, loh. Sekarang gratis, yeay!”
Tapi… kenapa bisa sembuh semalam? Apakah gara-gara demam tinggi sampai saraf mata berubah?
“Tin… tin… tin—”
Salsa termenung sambil mikir, tiba-tiba klakson keras dari belakang bikin dia kaget.
Seorang abang ojek online pakai kaos oranye membunyikan klakson.
“Geser, Mbak! Aku lagi buru-buru nih, order-an mau telat!”
Salsa menoleh, bertatapan dengan mata tajam si abang. Deg!
Tapi begitu dia mau geser, pandangannya tiba-tiba blur lagi, kayak matanya kembali minus!
“Gila, ini efek demam kah? Bukannya udah sembuh?”
Sambil meraba-raba kantong mencari kacamata, tiba-tiba muncul bayangan mengerikan di kepalanya:
Si abang oranye bakal nabrak mobil yang nyalip lampu kuning saat lampu merah tinggal satu detik. Tubuhnya melayang lima meter, berdarah-darah.
Seketika, pandangannya kembali jernih. Salsa terperangah.
Apa baru saja dia lihat masa depan?!
Abang ojek makin ngamuk karena Salsa masih terlihat linglung.
“Bodoh! Kamu nggak ngerti bahasa manusia, ya? Aku bisa nabrak kamu juga, tau!”
Salsa buru-buru geser, tapi bayangan tadi membuatnya tegang.
Meski menyebalkan, dia tahu… si abang nggak sepantasnya mati.
“Eh, Mas, jangan nyebrang dulu deh lampunya masih merah,” bisik Salsa.
“Keselamatan nomor satu, yang lain nomor dua.”
Abang oranye menoleh lagi, kali ini dengab senyum sinis.
“Eh, kok kayaknya kamu naksir aku, ya?”
Salsa rasanya pengen gigit lidah.
“Bukan! Aku ngomong sama abang helm biru di samping!”
Abang helm biru mengangguk, paham maksud Salsa.
“Terima kasih Mbak, aku bakal hati-hati.”
Lampu merah tinggal satu detik. Si abang oranye langsung tancap gas, sementara sebagian orang lain menahan diri karena mendengar peringatan Salsa.
Lampu hijau!
Tapi tiba-tiba… dari kanan, mobil putih menabrak abang oranye! Dia terlempar lima meter, berdarah-darah, motornya remuk berantakan.
Salsa tercengang. Bayangan di kepalanya benar-benar jadi nyata!
Orang-orang langsung menghubungi ambulans, beberapa sepeda motor berterima kasih ke Salsa karena kata-katanya menahan mereka dari bahaya.
Salsa buru-buru tancap gas, sampai di Mall Nusantara tepat sebelum jam kerja dimulai.
Dia meluncur ke depan Mbak Tia.
“Maaf telat, Mbak!”
Salsa Liani langsung memeluk lengan Mbak Tia, dengan muka lebay maksimal.
“Mbak Tiaaa! Aku dateng nih, jangan pecat aku dong!”
“Aku ini kan baru lulus, dompetku masih tipis banget. Bayar kos aja masih palingan sama teman… ya ampun, kasihanin aku dong!”
Mbak Tia, wanita tinggi ramping dengan aura tegas, bekerja di bagian pemasaran Mall Nusantara, urusannya promosi dan event-event mall.
Sedangkan tugas Salsa hari ini? Mengenakan kostum katak raksasa dan keliling mall bagiin brosur diskon. Berat, gerah, tapi… duitnya perlu banget.
Mbak Tia menyingkirkan Salsa dengan ekspresi campur kesal dan heran.
“Kamu siapa, ya?”
Salsa segera menunjuk kacamata hitamnya di wajah.
“Aku… Salsa Liani!”
“Eh, Salsa Liani?” Mbak Tia terkejut.
“Tanpa kacamata, aku sampai nggak ngenalin kamu, hehe.”
Salsa menatap cermin kecil di meja layanan, tersipu. Selama ini dia selalu menutupi wajah dengan poni dan kacamata hitam.
Ternyata… wajahnya lumayan manis juga. Alis melengkung, mata bulat hangat, pipi sedikit tembam. Tapi Mbak Tia pasti ngga akan bilang, takut Salsa jadi melayang karena pujian.
“Ini kostum kataknya. Cepet ganti, jangan molor di sini. Awas nanti aku kurangin gaji kamu.”
“Siap, Mbak Tiaaa!”
Salsa buru-buru menyingkap kostum katak dan berganti di pojokan.
Sekarang bulan Agustus, Jakarta panas terik. Di luar Mall Nusantara, katak hijau besar berdiri membagikan brosur diskon.
Dalam kostum itu, Salsa sudah basah kuyup karena keringat. Poni menempel di wajah, kipas mini di dalam kostum pun nggak terlalu membantu. Tapi… gaji + tunjangan panas: Rp32.000/jam. Gigit gigi, tahan aja.
“Duh, kapan ya bisa kaya mendadak…” keluhnya dalam hati.
Tak lama, dua anak kecil berhenti di depannya. Jari-jari mungil mereka mulai menekan perut kostum katak, menendang-nendang.
“Eh, udah aku bilang ini kerjaan!” ujar Salsa sambil mengelak. Tapi anak-anak makin bersemangat.
“Pukul kamu, katak jelek!” teriak mereka.
Salsa menahan diri, cuma bisa mengelak. Rasanya hidup ini kayak ngerjainnya keras banget.
Tiba-tiba, dua anak itu diangkat… satu di masing-masing tangan orang dewasa, mereka seperti dilempar ke samping. Salsa cuma bisa ngelirik dari celah mata kostum.
“Wih… aku sampai mau sujud ke orang baik hati ini,” pikirnya.
Dia baru mau lihat siapa penyelamatnya, tiba-tiba… sebuah paket kompres es meluncur ke tangannya.
Di balik kompres itu, berdiri seorang pria tinggi, sekitar 1,9 m, pakai jaket putih anti-UV. Bahunya lebar, otot dadanya samar terlihat, liontin jade menggantung di leher.
Kepala kostum katak tersentuh ringan, Salsa menengok. Muka tampan itu langsung mencuri pandangannya: rambut hitam acak menutupi alis tegas, mata sipit elegan, hidung mancung, satu anting hitam di telinga kiri. Bibir tipis tersenyum tipis.
“Katak kecil, ambil ini cepet. Mobilku sebentar lagi datang,” ucap pria itu lembut.
Salsa buru-buru membuka resleting kostum, mengambil kompres es. Pria itu melambaikan tangan, melangkah ke pinggir jalan.
Dengan mata super tajam hari ini, Salsa bahkan bisa membaca nama di botol minum yang tergantung di tas pria itu: “Reyhan Pratama”. Nama itu terdengar familiar, tapi entah dari mana… mungkin pernah dengar di berita olahraga lokal.
Reyhan berdiri menunggu mobil, tas selempang sport di punggung, headphone perak melingkar di leher, posturnya atletis… kayak model brand olahraga. Salsa menebak dia mahasiswa jurusan olahraga.
Kompres es di dahinya bikin lega seketika. Salsa sempat ingin lihat mereknya… dan ternyata bertuliskan “Eksklusif Atlet Profesional”, lengkap dengan bendera Indonesia di label.
Mata Salsa melebar.
“Gila, orang ganteng baik hati… mungkin atlet provinsi!”
Tapi… saat Salsa menatap Reyhan lagi, pandangan mereka bertemu, dan… mata Salsa tiba-tiba blur!
Bayangan muncul di kepalanya lagi: Reyhan yang menolong tadi terinjak sepeda yang roboh kayak domino, kaki cedera parah, masuk rumah sakit.
Dan… adegan terakhir bikin jantungnya copot: Reyhan pakai gips, duduk di tribun besar, menatap tiga atlet asing naik podium, matanya menahan tangis. Bendera Indonesia tak berkibar di podium.
Salsa terengah. Mata kembali jernih. Lalu dia ingat tulisan “FINA” di layar.
“FINA… itu kan kejuaraan renang dunia, ya? Federasi Renang Internasional. Wah, berarti dia… atlet nasional? Gile banget!” pikir Salsa dalam hati.
Jantung Salsa berdetak kencang. Dia menoleh ke Reyhan yang masih menunggu mobil, sedang menelepon seseorang. Di sampingnya, barisan sepeda sewaan berjajar rapi. Dua anak kecil tadi mencoba naik…
hebaaaaaatt Salsa 👍👍👍
lanjutt thor💪
ganbatteee😍