Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18•
Gamelan Tengah Malam
Desa Sumber Sari yang tenang, bersembunyi di antara rimbunnya perkebunan karet dan kelapa sawit di Riau, malam itu diselimuti keheningan yang tidak biasa. Udara terasa berat dan pengap, seolah menahan napas. Bulan sabit yang tergantung di langit timur tampak pucat, sinarnya nyaris tidak mampu menembus kegelapan yang pekat. Di salah satu sudut desa, tepatnya di balai desa yang sudah tua dan lapuk, sebuah gamelan Jawa yang usianya dipercaya lebih tua dari desa itu sendiri, tampak teronggok dalam diam. Debu tebal menyelimuti bilah-bilah gangsa dan bonang, sementara gong agung di sudut ruangan tampak seperti mata yang mengawasi dalam kegelapan.
Menurut cerita turun-temurun, gamelan itu memiliki sejarah kelam. Konon, dulunya gamelan tersebut adalah milik seorang dalang sakti yang meninggal dunia secara tragis di malam pertunjukan terakhirnya. Arwahnya diyakini terperangkap di dalam gamelan, dan hanya akan bergentayangan jika gamelan itu dimainkan di tengah malam. Sudah puluhan tahun lamanya gamelan itu tidak disentuh, menjadi pajangan bisu yang mengingatkan penduduk desa akan kisah-kisah mengerikan yang menyertainya.
Namun, malam itu, tradisi yang sudah lama mati hendak dibangunkan kembali. Kepala Desa, Bapak Harjo, seorang pria paruh baya dengan wajah keras dan mata yang menyimpan banyak cerita, telah mengambil keputusan kontroversial. Dalam rangka memeriahkan perayaan HUT kemerdekaan Republik Indonesia, ia mengusulkan untuk menampilkan kembali kesenian gamelan di balai desa. Usul ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Para sesepuh desa, yang masih mengingat dengan jelas cerita-cerita tentang gamelan berhantu, menentang keras gagasan tersebut. Mereka khawatir, memainkan gamelan di malam hari, apalagi di tengah malam seperti yang direncanakan sebagai puncak acara, bisa mengundang malapetaka.
“Kita jangan mencari gara-gara, Harjo,” ujar Mbah Karto, tetua desa yang rambutnya telah memutih dimakan usia, dengan suara serak. “Gamelan itu bukan sembarang alat musik. Ada kekuatan lain di dalamnya.”
Bapak Harjo, meskipun menghormati para sesepuh, tetap bersikeras. “Kita sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan, Mbah. Ini zaman modern. Cerita-cerita lama itu hanya mitos. Lagipula, ini untuk melestarikan budaya kita. Generasi muda sekarang sudah tidak mengenal lagi apa itu gamelan.”
Akhirnya, dengan berat hati, para sesepuh mengalah. Persiapan pun dimulai. Beberapa pemuda desa yang memiliki sedikit pengetahuan tentang gamelan mulai membersihkan alat musik itu dari debu dan sarang laba-laba. Aroma kayu lapuk dan logam tua bercampur memenuhi udara balai desa. Saat malam perayaan tiba, balai desa dipenuhi oleh penduduk Sumber Sari. Lampu-lampu minyak dan obor yang dipasang di sekeliling balai memberikan penerangan temaram, menciptakan suasana yang sedikit mencekam namun tetap meriah.
Acara demi acara telah dilalui. Tari-tarian tradisional, pembacaan puisi, dan pentas seni lainnya telah memukau para penonton. Hingga tibalah saat yang dinanti sekaligus ditakuti: pertunjukan gamelan tengah malam.
Lima orang pemuda desa yang telah berlatih keras selama beberapa minggu terakhir duduk di depan gamelan. Wajah mereka tampak tegang bercampur antusias. Di tengah mereka, duduklah Pak Salim, seorang guru kesenian dari desa tetangga yang bersedia melatih dan memimpin pertunjukan malam itu. Tepat pukul dua belas malam, ketika jam dinding tua di sudut balai berdentang dua belas kali dengan suara berat, Pak Salim memberi isyarat.
Tabuhan pertama pada saron menggema, memecah keheningan malam. Suaranya lirih namun menusuk, merambat melalui udara yang dingin. Disusul kemudian oleh suara demung yang lebih rendah dan berat, menciptakan melodi yang mengalun syahdu namun terasa sedikitSendu. Suara bonang yang rancak menambah dinamika, diikuti oleh petikan sither dan gesekan rebab yang melankolis. Dan akhirnya, gong agung dipukul dengan irama yang menggetarkan dada.
Awalnya, semua berjalan lancar. Para pemain tampak khusyuk, larut dalam alunan musik yang mereka ciptakan. Penonton pun terhipnotis, mata mereka terpaku pada gerakan tangan para penabuh yang lincah. Namun, semakin lama, suasana semakin terasa aneh. Angin malam yang bertiup melalui celah-celah dinding balai desa terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang sumsum. Beberapa kali, lampu-lampu minyak tampak berkedip-kedip tidak beraturan, seolah ada sesuatu yang lewat.
Tiba-tiba, di tengah alunan musik, terdengar suara tawa lirih seorang perempuan. Suara itu sangat pelan, hampir tidak terdengar, namun cukup untuk membuat bulu kuduk sebagian penonton berdiri. Para pemain gamelan saling bertukar pandang dengan wajah pucat. Mereka yakin, suara itu bukan berasal dari salah satu penonton.
Pak Salim berusaha untuk tetap tenang. Ia memberi isyarat kepada para pemain untuk terus melanjutkan permainan. Namun, suara tawa itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas dan lebih dekat, seolah-olah berasal dari dalam balai desa itu sendiri. Beberapa anak kecil mulai menangis ketakutan dan memeluk erat orang tua mereka.
Kejadian aneh tidak berhenti sampai di situ. Beberapa bilah gamelan tampak bergerak sendiri, memukul satu sama lain tanpa disentuh oleh pemain. Suara yang dihasilkan menjadi tidak karuan, sumbang dan mengerikan. Bau bunga melati yang sangat menyengat tiba-tiba memenuhi udara, padahal tidak ada satu pun bunga melati di sekitar balai desa.
Salah seorang pemain bonang, seorang pemuda bernama Anton, tidak tahan lagi. Ia menjatuhkan pemukulnya dan berdiri dengan gemetar. “Saya tidak kuat lagi, Pak!” serunya dengan suara tercekat. “Ini bukan permainan biasa!”
Belum sempat Pak Salim menjawab, tiba-tiba gong agung berbunyi dengan sendirinya, suaranya menggelegar memekakkan telinga. Cahaya lampu-lampu minyak padam seketika, membuat seluruh balai desa menjadi gelap gulita. Jeritan ketakutan membahana di mana-mana.
Dalam kegelapan, terdengar suara gamelan yang semakin tidak terkendali, bercampur dengan suara tangisan dan rintihan yang mengerikan. Beberapa orang mengaku melihat bayangan hitam bergerak cepat di antara kegelapan. Suasana benar-benar mencekam, jauh melebihi apa pun yang pernah mereka bayangkan dari sekadar cerita hantu.
Ketika lampu-lampu kembali menyala, entah bagaimana caranya, pemandangan yang tersaji membuat semua orang terperangah. Tidak ada satu pun pemain gamelan di tempatnya. Mereka menghilang tanpa jejak. Hanya gamelan itu sendiri yang masih bergetar pelan, seolah baru saja selesai dimainkan.
Kepanikan melanda seluruh desa. Bapak Harjo, meskipun berusaha keras untuk tetap tenang, tampak pucat pasi. Ia tidak menyangka bahwa keputusannya untuk memainkan kembali gamelan tengah malam akan berakibat separah ini.
Beberapa hari kemudian, setelah dilakukan pencarian besar-besaran, kelima pemain gamelan itu ditemukan. Mereka ditemukan di tempat yang sama sekali tidak terduga: di tengah hutan karet yang lebat, beberapa kilometer jauhnya dari desa. Mereka semua dalam keadaan linglung dan tidak sadarkan diri. Ketika sadar, mereka tidak ingat sama sekali bagaimana mereka bisa sampai ke sana. Mereka hanya ingat suara gamelan yang semakin lama semakin menakutkan dan bau bunga melati yang sangat menyengat sebelum semuanya menjadi gelap.
Sejak saat itu, desa Sumber Sari kembali diliputi keheningan yang lebih mencekam dari sebelumnya. Gamelan tua di balai desa kembali diselimuti debu, kali ini dengan aura ketakutan yang jauh lebih kuat. Tidak ada lagi yang berani menyentuhnya, apalagi memainkannya di tengah malam.
Namun, beberapa bulan kemudian, seorang peneliti budaya dari kota datang ke desa Sumber Sari. Ia tertarik dengan cerita tentang gamelan berhantu itu dan ingin melakukan penelitian lebih lanjut. Setelah berbicara dengan para sesepuh dan melihat langsung gamelan tersebut, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan. Di salah satu bilah saron, terukir sebuah simbol kuno yang ternyata adalah sebuah mantra pengikat. Mantra itu dipercaya digunakan untuk mengikat arwah seseorang ke dalam sebuah benda.
Peneliti itu menduga bahwa arwah dalang sakti memang terperangkap di dalam gamelan itu. Namun, ia juga menemukan catatan lama yang menyebutkan bahwa dalang tersebut tidak meninggal secara tragis. Ia justru sengaja melakukan ritual pengikatan arwahnya sendiri ke dalam gamelan sebagai bentuk pengabdian agar kesenian gamelan di desanya tetap lestari dan memiliki kekuatan magis.
Plot Twist: Peneliti itu kemudian menemukan catatan lain yang menjelaskan bahwa ritual pengikatan arwah hanya akan aktif jika gamelan dimainkan oleh keturunan langsung dari dalang tersebut. Dan ternyata, salah satu dari lima pemuda yang memainkan gamelan malam itu, tanpa mereka sadari, adalah keturunan jauh dari sang dalang. Ini menjelaskan mengapa kejadian aneh terjadi hanya ketika mereka memainkan gamelan, dan mengapa mereka ditemukan di tengah hutan dalam keadaan tidak sadar – arwah dalang mungkin telah membawa mereka ke tempat yang aman setelah “ritual” pengaktifan mantra selesai.
Meskipun misteri gamelan tengah malam itu akhirnya terpecahkan, rasa takut dan kehati-hatian tetap melekat di benak penduduk Sumber Sari. Gamelan itu tetap menjadi pengingat akan kekuatan warisan leluhur yang tidak selalu bisa dipahami dengan logika semata. Dan suara gamelan, meski tidak lagi terdengar di tengah malam, tetap berbisik dalam ingatan mereka, membawa serta aroma melati dan dinginnya angin malam yang penuh misteri.