Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Diam - Diam Menyimpan Rasa
*📝* Diary Mentari – Bab 16
"Beberapa rasa tak perlu diumbar. Cukup diam-diam tumbuh seperti bunga liar, yang tak berharap dipetik, hanya ingin tetap mekar.”
Langkahku terasa canggung setelah pertemuan singkat itu. Adit menepuk pundakku, lalu mengucapkan selamat. Hanya itu. Tapi degup jantungku serasa seperti gendang perang, riuh dan tak terkendali. Aku membalasnya singkat, “Eh iya, makasih,” lalu buru-buru pergi. Seolah tak siap menatap matanya terlalu lama. Seolah jika aku diam terlalu lama di dekatnya, seluruh rahasia hatiku akan terbuka.
Aku mengejar Eka, berpura-pura biasa, padahal wajahku sudah panas, telingaku berdengung, dan pikiran ini… kacau.
Adit. Cowok tinggi, putih, dan pintar itu. Teman masa kecilku, yang dari dulu selalu ada dalam bayang-bayang kehidupanku. Kami satu kelas sejak SD, bahkan sejak awal dia pindah dari kota ke desa kami. Dia membawa hawa baru di sekolah kecil itu. Sosok anak kota yang cepat beradaptasi, pintar, dan disukai guru-guru.
Dan aku? Anak desa yang pendiam, kulit legam karena matahari, rambut kasar karena air sumur, pakaian seadanya dari hasil turun-temurun. Kami seperti dua dunia yang berbeda. Tapi anehnya, semesta selalu mempertemukan kami dalam berbagai kegiatan.
Aku masih ingat lomba puisi pertama kami di SD. Aku pembaca puisi perempuan, dia pasangannya. Kami berdiri berdampingan di panggung kecil itu, suara kami bersahutan membaca puisi perjuangan. Lalu bertahun-tahun kemudian, kami masih sering menjadi perwakilan sekolah: dia ikut Olimpiade Matematika, aku ikut Lomba Menulis. Dia jadi pemimpin regu Pramuka, aku juga. Kami seperti dua kutub yang berbeda tapi selalu ditarik dalam lingkaran yang sama.
Tapi aku tidak pernah benar-benar mengenalnya. Dan dia… mungkin tidak pernah benar-benar melihatku.
Ya, aku ada di sana. Tapi mungkin seperti bayangan yang tak pernah disadari. Seperti kursi kosong di pojok kelas. Seperti langit yang muram tapi tak pernah ditatap karena semua sibuk mencari pelangi.
Hari ini… untuk pertama kalinya dia menepuk pundakku. Memberiku selamat atas kemenanganku. Sederhana, tapi bagi gadis yang tak pernah percaya diri seperti aku, itu sudah seperti ucapan cinta.
“Aku kayak orang gila ya, Eka?” kataku saat kami duduk berdua di bawah pohon besar di taman sekolah.
“Gara-gara Adit?” tanya Eka menatapku geli.
Aku hanya tersenyum malu. Eka tahu semua tentangku. Termasuk bahwa sejak kelas 5 SD aku menyimpan rasa diam-diam pada Adit.
“Dia cuma anak laki-laki biasa, Tan. Biasa banget. Kamu terlalu sering mengaguminya kayak tokoh novel,” kata Eka.
“Tapi dia baik, Ek… dan pintar, dan…”
“Dan ganteng,” sela Eka sambil tertawa. “Iya, aku tahu. Tapi kamu juga berharga, Tan. Kamu jangan merasa kamu nggak cukup cuma karena kamu bukan anak kota.”
Aku menunduk. Kata-kata Eka menenangkan, tapi luka di dalam diriku sudah terlalu lama tertanam. Aku terbiasa memandang orang lain lebih dari diriku sendiri.
Aku tahu Adit ramah ke semua orang. Tapi aku tidak tahu kenapa perhatian dia selalu terasa lebih dalam saat itu tertuju padaku. Apakah itu hanya aku yang terlalu berharap? Ataukah…?
Di rumah, aku kembali menulis di diary kecilku. Aku mencatat setiap detik yang membuatku tersenyum hari ini. Termasuk detik ketika dia menyebut namaku.
“Apa aku jatuh cinta?” tanyaku dalam hati.
Cinta. Kata yang terlalu indah untuk kehidupan yang keras seperti ini. Tapi jika cinta adalah sebuah rasa yang tumbuh diam-diam, yang tak berharap balas, yang cukup hidup dalam tulisan—maka ya, mungkin aku sudah jatuh cinta sejak lama.
⸻
“Rasa ini aku simpan, bukan karena aku pengecut. Tapi karena aku terlalu menghargai kehadirannya untuk merusaknya dengan harapan.”
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.