Series #2
Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.
Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.
Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Kembali
...•••Selamat Membaca•••...
Di dalam ruang ICU, hanya suara mesin yang terus bekerja—ventilator pelan, infus menetes teratur, dan monitor detak jantung mengeluarkan bunyi yang stabil namun menegangkan.
Maula masih tak bergerak.
Kepalanya terbalut perban steril, posisinya dijaga dalam sudut elevasi 30°. Sebuah selang kecil keluar dari kraniotomi di sisi kiri tengkoraknya—drain eksternal untuk mengeluarkan sisa darah dan cairan serebrospinal agar tekanan intrakranial tidak melonjak lagi. Kabel EKG menempel di dadanya, dan tabung oksigen ringan masih terpasang di hidung.
Rayden duduk di sisi tempat tidur. Tak bergeming. Matanya terus menatap wajah Maula, menghafal tiap lekuk yang pucat dan tiap gerakan kecil dari bibir atau kelopak yang belum juga bergerak.
“Piccola... kalau kamu bisa mendengar aku, gerakkan jarimu, sadarlah, aku merindukanmu,” gumamnya lirih.
Sunyi. Hanya monitor yang menjawab.
Rayden menutup matanya sebentar, lalu memegang tangan Maula. Ia tahu, proses pemulihan pasca-kraniotomi tidak instan. Terlebih dengan edema serebri yang masih bisa memburuk dalam 48 jam pertama.
Namun tiba-tiba...
Sedikit getaran.
Jari manis Maula seperti berkedut. Sekali. Lalu diam. Rayden terkesiap. Ia menatap monitor, kemudian menatap wajah Maula. Tidak, dia tidak berhalusinasi. Ia mencium tangannya dengan pelan.
“Piccola... gerakan itu kamu, kan?”
Tiba-tiba bola mata Maula bergerak di balik kelopaknya. Kemudian kelopak matanya terbuka perlahan. Lambat sekali, seperti kelopak bunga yang enggan mekar di tengah musim salju.
Matanya sayu dan pandangannya kabur, pupilnya masih sedikit anisokorik—tanda bahwa otaknya masih dalam proses adaptasi pasca-dekompresi tapi dia sadar.
Rayden langsung berdiri, menekan tombol perawat.
“Dia sadar! Dia sadar!”
Maula menatapnya, samar. Bibirnya retak-retak, suara belum keluar. Namun sorot matanya tidak bisa disangkal bahwa dia mengenali Rayden.
“Ray...” suara itu serak, kering, nyaris tak terdengar tapi bagi Rayden, itu seperti ledakan keajaiban.
“Aku di sini, aku di sini, Piccola,” Rayden mencium tangannya lagi. “Kamu kembali.”
Tim medis datang dengan cepat. Suster mengecek GCS (Glasgow Coma Scale) Maula. Ia menjentikkan jari di depan wajah Maula.
“Bisa kedipkan satu kali, kalau anda paham?” tanya perawat dalam bahasa Rusia pelan.
Maula mengedip sekali. Respons kognitif mulai pulih.
“Coba tekan tanganku,” ujar dokter Katya sambil menggenggam tangan kanan Maula.
Perlahan, tekanan ringan terasa di jari. Lembut, tapi hidup.
“GCS 12. Sadar penuh, masih disorientasi ringan. Bagus sekali,” kata Katya. “Dia kembali.”
Rayden menutup wajahnya sendiri dengan lega. Tangisnya pecah, tertahan di tenggorokan.
Perawat mengecek ulang pupil kiri masih agak melebar tapi reaktif terhadap cahaya. Suara detak jantung tetap stabil. Ventilator sudah dilepas sejak tadi siang dan saturasi stabil dengan nasal cannula.
Katya mendekat ke Rayden dan menyentuh bahunya.
“Satu langkah kecil yang sangat berarti. Tapi kita masih harus waspada. Krisis belum selesai. Dan tentang kandungan... kami akan evaluasi lebih lanjut besok pagi, saat tubuhnya lebih stabil.”
Rayden mengangguk. Tak ada kata lain.
Hari ini, ia tidak hanya melihat istrinya selamat dan Maula, perempuan yang menantang kematian dua kali, telah membuka matanya kembali, membawa cahaya ke dunia yang sempat dibekukan ketakutan.
Pukul 20.46 – ICU, hanya ada Rayden saja di rumah sakit menunggu istrinya. Sementara yang lain kini di hotel untuk istirahat, Rayden sudah memberitahu mereka bahwa Maula sudah sadar dan besok mereka akan datang.
Rayden duduk di tepi ranjang, tak beranjak. Tangannya menggenggam jemari Maula yang hangat bahkan lebih hangat dari tadi siang. Tanda sirkulasi mulai stabil. Saturasi 98%, denyut jantung normal.
Tapi bukan angka-angka itu yang membuat dada Rayden sesak. Melainkan mata cokelat Maula yang terbuka sekarang.
Dan untuk pertama kalinya sejak luka lama terbuka, suara Maula terdengar.
“Rayden...”
Suara itu serak, lemah, tapi utuh. Rayden langsung menunduk, membenamkan wajahnya di dekat tangan Maula.
“Ya sayang. Maaf… aku minta maaf… aku minta maaf atas semuanya…,” suaranya pecah. Tangis yang selama ini ditahan akhirnya runtuh, tumpah tanpa bisa ditahan.
Maula mengangkat tangannya pelan, menyentuh kepala suaminya. Jemari kurusnya menyusuri rambut Rayden yang basah oleh air mata.
“Aku pikir… aku tidak akan bangun lagi, jangan minta maaf terus,” bisiknya.
Rayden mendongak, matanya merah, nafasnya berat. “Aku sudah menyakitimu… waktu itu… aku kejam dan ini semua ulahku… aku—”
“Kamu… laki-laki yang aku pilih. Bukan karena kamu sempurna. Tapi karena aku tahu, cinta tidak harus selalu benar caranya… harus kuat untuk bertahan, benar kan.”
Rayden menutup wajahnya lagi, menggigil.
Maula menarik napas berat. “Waktu kamu marah, waktu kamu kasar... aku benci kamu. Tapi jauh di dalam hatiku, aku tahu itu bukan kamu. Itu luka yang belum sembuh. Luka kamu. Luka kita. Dan kita tidak pernah berani buka bersama.”
Air mata Maula mengalir. “Aku… aku lelah hidup dalam rasa takut. Tapi aku juga tidak bisa hidup tanpa kamu.”
Rayden mencium punggung tangan Maula. “Aku janji Piccola, aku janji ini yang terakhir. Aku akan jadi suami yang baik untumu.”
“Jangan terlalu dramatis.”
Maula memejamkan mata sejenak.
“Bayi kita…” suara Maula pecah.
Ia membuka mata, menatap Rayden. “Aku takut…”
Rayden menatapnya. “Takut kenapa?”
Maula menggigit bibirnya. “Takut… kalau tubuhku tidak kuat. Takut kalau semua ini mengorbankan dia. Aku sudah berdarah… banyak sekali… dan aku… aku belum siap kehilangan anak kita, Ray.”
Rayden langsung berdiri, memeluk kepala Maula dengan hati-hati, menahan agar tak menyentuh luka operasinya. “Dengar aku… dia masih di sana. Aku sudah tanya dokter. Belum ada tanda keguguran. Kita akan jaga dia. Sama-sama.”
Maula terisak. “Tapi kalau harus milih… kamu tahu kan, aku pasti milih dia...”
Rayden menggeleng cepat. “Tidak. Kita tidak akan pilih. Kita akan selamat semua. Bertiga. Kita bisa. Kali ini… aku tidak akan biarkan kamu menanggung semuanya sendiri.”
Ia mengecup pelipis Maula, lama.
“Kamu kurusan ya sekarang,” gurau Maula sambil tersenyum.
“Oh ya? Berantakan juga ya?” Maula menyipitkan mata dan tersenyum usil.
“Iya, kayaknya aku mulai tergoda dokter di sini, rapi semua soalnya.” Rayden menggigit pelan hidung Maula yang masih ada selang oksigen tipis. Maula terkekeh pelan.
“Bagaimana kondisi Vanessa?”
“Dia sudah dibawa pulang, keadaannya sudah membaik dan besok atau lusa mereka akan ke sini mungkin.”
“Isabella?” Rayden membawa tangan istrinya ke pipi dan menciumnya.
“Sudah meninggal, terakhir dihabisi oleh Archer saat pulang ke rumah. Tidak ada lagi Isabela yang akan mengganggu hidup kita.” Maula memejamkan matanya lalu tersenyum.
“Aku kangen rumah Ray, pengen ke kampus lagi, nongkrong di cafe lagi, dan jalan-jalan sama kamu.” Rayden menciumi tangan Maula seperti tak pernah puas.
“Sabar ya, kamu sembuh, besoknya aku akan bawa kamu ke manapun yang kamu mau.”
“Janji ya.”
“Iya sayang.”
...•••Bersambung•••...