Naila hanya ingin kuliah dan menggapai cita-cita sebagai jaksa.
Namun hidup menuntunnya ke rumah seorang duda beranak dua, Dokter Martin, yang dingin dan penuh luka. Di balik tembok rumah mewah itu, Naila bukan hanya harus merawat dua anak kecil yang kehilangan ibu, tapi juga melindungi dirinya dari pandangan sinis keluarga Martin, fitnah, dan masa lalu yang belum selesai.
Ketika cinta hadir diam-diam dan seorang anak memanggilnya “Mama,” Naila harus memilih: menyelamatkan beasiswanya, atau menyelamatkan keluarga kecil yang diam-diam sudah ia cintai.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Jalan yang Dipilih
“Percuma, Zil…” suara Naila pelan, nyaris seperti bisikan yang hampir tak terdengar oleh laki-laki muda yang duduk di sampingnya.
“Lulus atau tidak, hasilnya akan tetap sama. Ayah dan Ibu tetap tak akan sanggup membiayai aku untuk kuliah. Di mana pun itu.”
Reyzil menghentikan langkahnya. Laki-laki remaja itu mengerutkan kening, menatap sahabatnya dengan rasa kasihan. Naila, dengan segala mimpi yang ia miliki, hanya mampu bersandar di dinding sekolah, seolah kehilangan arah.
“Jangan menyerah begitu, Nai. Siapa tahu ini memang rezekimu. Kalau Tuhan sudah menakdirkan, pasti ada jalannya.”
Naila mengangguk, tapi tak ada semangat di sana. “Tadi pagi... Ayah bilang, setelah pengumuman kelulusan, aku akan dinikahkan dengan Zidan.”
Ucapan itu seperti bom. Reyzil spontan menegakkan tubuh, matanya melebar tak percaya. “Zidan?” tanyanya nyaris berteriak. “Kenapa kamu dinikahkan? Bahkan, kita ini belum lulus! Dan kenapa harus dia?”
“Karena dia anak Pak Amir,” jawab Naila sambil mengusap matanya yang mulai basah. “Ayah bilang, Zidan pasti bisa menjamin hidupku. Keluarganya kaya, punya tanah luas, dan... Yang pasti karena dia mau, mungkin.”
Reyzil mengepalkan tangan. Dalam hati, ia merasa tak terima. Kenapa semua ini harus terjadi pada sahabatnya, yang dikenal sangat pintar. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia meraih tas dari pelukan Naila dan mengobrak-abrik isinya.
“Zil! Apa yang kamu lakukan?” protes Naila panik.
“Diam sebentar!” desis Reyzil, jemarinya terus mencari sesuatu dalam waktu yang cukup lama. Namun, akhirnya berhasil menemukan formulir pendaftaran SNMPN yang sempat diberikan Bu Aisyah, guru BK yang membantu mereka. Ia menyalakan gawainya dan mulai mengetikkan data yang tertera di formulir tersebut.
Tak lama, ia menyerahkan ponsel tersebut kepada Naila seakan menahan napas. “Lihat ini!” soraknya.
Naila membaca isi layar perlahan. Matanya membesar. Di sana, jelas tertulis:
Selamat! Anda diterima di Jurusan Ilmu Hukum melalui Jalur SNMPN.
“A-aku lulus?” bisiknya, menatap Reyzil dengan tatapan campur aduk antara bahagia dan cemas.
Reyzil tersenyum kecil, menahan gejolak emosinya. “Kamu lulus, Nai. Di kampus impianmu. Kamu punya kesempatan buat jadi jaksa, seperti yang selalu kamu ceritakan kepadaku.”
Namun, dalam benak Naila, suara sang ayah kembali terngiang dengan jelas.
“Kita tidak punya uang. Bahkan kalau kamu lulus pun, siapa yang mau membiayai kuliahmu? Lebih baik kamu menikah dengan Zidan. Kamu akan hidup enak. Dia bisa menanggung semua biaya hidupmu dan anak-anakmu.”
Tanpa berkata apa pun, Naila menyerahkan kembali ponsel Reyzil. Ia meraih formulir yang telah remuk dalam genggamannya. Lalu berlari sekuat tenaga, menuju gubuk sederhana yang terletak di pinggir sawah. Ya, gubuk itu rumahnya.
Sore itu, rumah Naila dipenuhi orang. Beberapa tamu duduk rapi di ruang tamu sempit, mengenakan batik dan senyum sekedar basa-basi. Aroma makanan, rendang, dan kue tampak memenuhi meja kecil yang dipaksa menemani kursi kayu yang telah rapuh dimakan usia. Naila berdiri tertegun di ambang pintu.
“Nah, ini dia calon menantu kami sudah pulang,” seru Pak Amir bangga. Di sampingnya berdiri Zidan, pria bertubuh kekar dengan wajah mencibir yang hanya menatap Naila dari ujung kaki hingga ujung kepala, bagai menilai sebuah barang dagangan.
Naila menunduk. Tangannya menggenggam erat kertas hasil SNMPN yang mulai lecek.
“Nai, duduk sini,” panggil ayahnya, penuh semangat.
“Ada apa, Yah?” Naila bergumam. Tapi ia merasa ragu untuk melangkah, apalagi saat ia melihat keempat istri Pak Amir duduk rapi bersama anak-anak mereka yang tersusun bagai anak tangga.
“Jadi ini yang Papa bilang?” Zidan mendengus, lalu bersandar dengan angkuh. “Lihat tuh, baju sekolahnya. Udah lusuh banget. Wajahnya ... Hmmm... ya begitulah.”
“Zidan!” bentak Pak Amir.
“Biarin aja, Pak. Emang begitu lah keadaan yang sebenarnya,” jawab ayah Naila cepat.
“Meski demikian, anak kami ini sangat pandai mengurus urusan rumah dan tentunya cukup berpengalaman mengasuh anak, kelak. Sepertinya, begitu saja sudah cukup.”
“Apakah ini artinya lamaran kami diterima?" tanya Pak Amir memastikan.
"Tentu saja, Pak. Dengan senang hati kami bersedia menjadi besan keluarga Pak Amir."
"Bagus lah, jadi setelah Naila lulus, langsung saja kita gelar akad. Tak perlu menunggu lama-lama,” ujar Pak Amir mantap.
"Kalian tidak perlu memikirkan masalah biaya, semua akan kami bantu," ucapnya dengan senyum yang tertutup oleh kumis tebal.
“Bagaimana, Nai?” tanya sang ayah, seakan semuanya sudah diputuskan.
Malam harinya.
“Ayah, Ibu, tolonglah. Aku belum ingin menikah. Aku masih muda. Aku mau kuliah. Aku akan mengejar mimpi menjadi seorang jaksa seperti cita-citaku semenjak dulu."
Sang ayah menatapnya dingin. “Cukup, Naila. Jangan membantah lagi. Kita ini hanya orang miskin. Bisa menyekolahkanmu sampai lulus SMA saja rasanya sudah bersyukur. Kamu pikir, kuliah itu pakai daun?”
“Tapi, Yah! Aku lulus, Yah! Kemungkinan, aku bisa mendapat beasiswa! Bu Aisyah bilang akan membantuku untuk mendapatkannya!"
“Berhenti bermimpi, Naila!” bentaknya. “Kamu itu perempuan. Tempatmu itu cukup di dapur, di rumah, mendampingi suami! Karena itu memang kodratmu terlahir sebagai wanita!"
Pertengkaran pecah. Tapi tak ada suara yang cukup keras untuk memecahkan keputusan ayah dan ibu yang menjodohkan anak mereka mengharapkan ‘jaminan masa depan’.
Akhirnya, Naila hanya mampu meneteskan air mata. “Baiklah...” suara Naila bergetar.
“Seperti yang Ayah dan Ibu inginkan, aku akan menikah dengan Zidan."
Beberapa hari kemudian, di sekolah.
“Naila, kenapa kamu belum mendaftar ulang juga sampai hari ini?” tanya Bu Aisyah di ruang BK. “Ini kesempatan emas, untukmu Nak. Sekolah kita jarang mengirim siswa ke kampus besar. Kenapa kamu menyerah begitu saja?”
Naila menunduk. “Saya tidak punya pilihan, Bu. Orang tua sudah memberikan rencana lain untuk saya.”
“Ibu sempat kabar angin yang mengatakan kamu akan menikah? Apa itu benar?"
Naila mengangguk, pelan. Akhirnya, air mata pun menetes tanpa mampu lagi ia bendung.
Bu Aisyah menghela napas panjang. “Dengarkan ibu, Nai, kamu masih punya waktu seminggu lagi untuk berpikir. Ibu akan membantu mengurus beasiswa untukmu. Hanya saja, kamu perlu meyakinkan dirimu sendiri dan orang tuamu, bahwa kamu pantas untuk melanjutkan mimpimu.”
Mendengar penguatan yang begitu meyakinkan, harapan kecil tumbuh kembali di hati Naila. Meski harapannya sangat tipis, setidaknya ia akan masih memiliki kesempatan.
Di saat perjalanan pulang sekolah, ia melihat Zidan berkendara tanpa menoleh padanya sedikit pun. Di atas motor, satu tangannya mengusap paha seorang gadis yang memeluknya mesra di bangku belakang. Dua sejoli itu tertawa lepas tanpa beban.
Naila terpaku dengan mata berapi. Dunia seolah berhenti berputar. Dan sekali lagi, hatinya berbisik.
'Sepertinya Tuhan menjukkan jalan yang harus aku pilih.'
^^^Revisi tanggal 15 Mei 2025^^^