Ini bukanlah tentang idol Kpop yang memerankan sebuah cerita. Bukan juga cerita fiksi yang berakhir dengan idola. Namun cerita ini terus mengalir bak realita. "Kalian yakin kita bisa nonton konser NCT dan ngelanjutin kuliah di Korea?" "Gue yakin kita bisa! Lagipula kita punya banyak waktu. Kita bisa nabung buat nonton konser. Dan belajar buat ajuin beasiswa ke Korea! Gak ada yang gak mungkin kalau kita mau berusaha!" ucap Yerika yang terus yakin akan mimpi mereka. Elina mengangguk. "Lagipula, kita juga gak bego-bego amat." Yerika tersenyum. "Mulai besok, kita harus giat belajar! Dan kita manfaatin untuk nabung dari sekarang!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Prepti ayu maharani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 8 [2]
"Jadi mau kaya mana? Elina udah keterima di UI. Vania dilema sama pilihannya." Yerika menghela napas. "Lo masih mau daftar beasiswa di Korea 'kan?" tanyanya pada Ayana yang kini tengah duduk di sampingnya.
Keduanya tengah berada di kafe setelah seharian berbelanja perlengkapan make up untuk acara wisuda kelas 12 yang akan di selenggarakan besok. Awalnya keduanya mengajak Vania dan Elina. Namun Vania yang sedang ada acara dan Elina yang tidak bisa dihubungi.
Setelah pengumuman SNMPTN waktu itu, Elina semakin jarang muncul di grub. Bahkan untuk pergi bersama pun, ia sering menolak.
"Ay, gimana? Lo masih mau daftar beasiswa di Korea 'kan?"
Mendengar pertanyaan Yerika tadi, Ayana mengaduk minumannya dan terlihat bimbang. "Percuma juga. Walaupun gue tetep usaha buat dapetin beasiswa di sana, tetep aja kita berempat nggak bisa bareng-bareng."
"Jadi lo menyerah sama mimpi kita?"
Ayana terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Apa yang dikatakan Yerika memang benar. Bisa dibilang ia menyerah. Namun ia masing sangat berharap besar atas mimpinya.
Yerika menghela napas dan mengusap wajahnya gusar. "Kalau kaya gini, namanya bukan usaha. Tapi bergantung sama realita."
"Sebenarnya mimpi kita itu kuliah bareng atau kuliah di Korea sih? Kuliah bareng 'kan? Sekarang mau kuliah dimana pun nggak masalah buat gue, yang penting kita masih bisa bareng. Dan kenapa nggak kita coba lagi buat ikut SBMPTN? Kita daftar di UI." Ayana menghela napas. "Lagipula Vania juga pengen daftar di UI. Siapa tahu aja kita juga bisa keterima di UI dan kita berempat bareng-bareng lagi."
"Dan kita lupain mimpi kita kuliah di Korea?"
Ayana berdecak. "Nggak semudah itu Yer bisa kuliah di sana. Ya, elo enak, orang tua lo dukung, duit lo banyak. Sedangkan kami bertiga? Di iyain doang aja enggak!"
Yerika mengangguk pelan. "Iya, gue minta maaf. Tapi walaupun bokap gue setuju dan mau nguliahin gue di sana. Gue bakal tetep berjuang bareng kalian kok. Gue pengen ngerasain berjuang bareng sahabat-sahabat gue."
Ayana melebarkan matanya. "Lo bakal berusaha lewat jalur beasiswa juga?"
Yerika mengangguk. "Iya! Gue nggak akan gunain bokap gue. Gue bakal berusaha sendiri, bareng kalian."
"Jadi kita nggak berhenti disini 'kan?" tanya Ayana.
"Enggak! Kita baru gagal di beberapa jalan. Dan kita percaya 'kan masih ada jalan lain?" Yerika menaikkan kedua alisnya.
Ayana mengangguk dengan senyuman. "Percaya!"
Yerika tersenyum. "Kita harus kabarin Vania sama Elina."
Ayana mengangguk dan akan meraih ponselnya. Namun sebelum ia menyentuh ponselnya, ponsel tersebut sudah berdering lebih dulu.
"Vania nelpon," ujarnya.
"Angkat," lirih Yerika.
Ayana mengangguk dan menempelkan ponsel ke telinganya. "Halo, Van?"
"Ay, lo dimana? Lo masih sama Yerika?" tanya Vania di seberang sana.
"Iya ini Yerika sama gue. Kita masih di kafe. Kenapa Van?" tanyanya yang penasaran dengan suara Vania yang terdengar seperti sedang panik. Ayana pun menghidupkan speakernya agar terdengar juga oleh Yerika.
"El-Elina Ay,"
"Elina kenapa Van?" tanya Yerika panik.
"Elina kabur dari rumah!"
Ayana dan Yerika melebarkan matanya dan saling menatap.
"Elina kabur?" tanya Ayana mengulangi ucapan Vania.
"Iya! Gue barusan dapet telepon dari Adelyn kalau Elina nggak ada di rumah dari semalem."
"Yaudah, kalau gitu kita bertiga langsung ke rumah Elina aja. Lo bisa 'kan Van?" tanya Ayana.
"Iya, gue bisa. Yaudah, gue berangkat sekarang ya."
"Iya, kita juga siap-siap ke sana kok."
Setelah mendapat kabar dari Vania. Mereka bertiga pun memutuskan berkumpul di rumah Elina. Dari kafe, Ayana dan Yerika segera menuju rumah Elina. Begitu pun dengan Vania. Vania meninggalkan acara keluarganya dan bergegas menuju rumah Elina.
Sesampainya di sana, ketiganya melihat Sita tengah terduduk lemas dengan Adelyn dan juga Aisha yang berada di sampingnya. Papanya juga berada di rumah. Ia terlihat sibuk dengan menghubungi sanak saudaranya barangkali Elina berada di sana.
"Tante," lirih Ayana saat menyaksikan Sita tengah terduduk lemas dengan kantung mata yang terlihat jelas tidak henti menangis.
Sita tersenyum tipis dan mengusap lembut pucuk kepala Ayana. "Bantuin Tante cari Elina ya?" ucap Sita dengan suara parau.
Sangat menyedihkan melihat Sita saat ini. Bahkan Yerika dan Vania tak mampu untuk menahan agar tidak menangis.
Yerika mendekat dan berkata, "Tante jangan sedih ya? Kita bertiga pasti bantu cari Elina kok."
Vania mengangguk dan mengusap punggung tangan Sita. "Kita pasti lakuin yang terbaik sebagai sahabat Elina. Kita bakal pastiin kalau Elina bakal pulang dengan selamat."
Sita memeluk ketiganya. Ia sudah menganggap ketiganya seperti anak sendiri. "Tante memang sadar kalau belakangan ini Elina suka murung di kamar. Tapi Tante nggak tahu kenapa dia gitu. Dan Tante juga nggak tahu kalau dia bakal kabur dari rumah." Sita menghela napasnya. "Elina pernah cerita nggak sama kalian tentang apa yang dia rasain sekarang?"
Ketiga sahabat itu saling menatap. Mereka bingung haruskah mereka mengatakan yang sebenarnya pada Sita? Namun ia juga tak ingin membuat Sita semakin sedih.
"Sebenarnya," Yerika pun angkat bicara. "Elina cerita ke kami tante, kalau Elina nggak pengen kuliah kedokteran."
Mendengar ucapan Yerika, Edwar (ayah Elina) menoleh. "Jadi Elina bilang gitu?"
Yerika menggigit bibir bawahnya. Ia merasa takut. "Iya, Om."
Edwar menggelengkan kepalanya. "Elina, anak Papa. Kenapa nggak bilang sama Papa nak kalau kamu nggak suka kuliah di kedokteran? Kenapa kamu selalu nahan sedih kamu sendirian nak?" Edwar mengusap wajah gusar lalu berjalan masuk menuju kamar.
Ketiga sahabat itu hanya bisa saling menatap. Mereka bingung harus bagaimana. Sedangkan Sita, Sita kembali terisak. Ia terlihat menyesal dengan apa yang sudah ia paksakan pada anak sulungnya.
"Elina, pulang nak. Mama janji nggak akan maksain kamu buat kuliah kedokteran lagi. Mama janji akan ngizinin kamu kuliah dimana aja," ucap Sita dengan air mata.
"Tante, kita bertiga pamit buat cari Elina ya?" ucap Vania mewakili para sahabatnya.
Sita mengangguk. "Makasih ya Vania, Yerika, Ayana."
Ketiganya mengangguk dengan senyuman dan pamit untuk pergi mencari keberadaan Elina.
Setelah ketiganya berada di dalam mobil dan bersiap untuk pergi. Vania mengeluarkan ponselnya dan menekan tombol di sana.
"Elina, pulang nak. Mama janji nggak akan maksain kamu buat kuliah kedokteran lagi. Mama janji akan ngizinin kamu kuliah dimana aja."
Ayana dan Yerika melebarkan matanya saat mendengar suara Sita dari ponsel Vania.
"Lo rekam suara Tante Sita?" tanya Ayana mewakili kebingungan Yerika.
Vania mengangguk dengan senyum miringnya. "Elina pasti seneng denger ini."
"Ma-maksud lo Van?" tanya Yerika sampai terbata-bata.
Vania tertawa. "Rencana Elina berhasil!"
"Hah? Apa sih maksudnya? Gue nggak ngerti," ucap Ayana semakin bingung.
Vania membenarkan posisi duduknya dan berbalik menatap kedua sahabatnya yang duduk di kursi belakang. "Jadi gini. Ini sebenarnya ide Om Edwar. Om Edwar nyuruh Elina pura-pura kabur supaya Tante Sita berhenti maksain Elina buat kuliah kedokteran."
Ayana menepuk jidatnya. "Pantes aja gue dari tadi ngerasa ni Om Edwar kenapa santuy aja? Terus pas ngerespon omongan Yerika kaya agak lebay gitu."
Vania tertawa. "Makanya itu. Cuma gue kasian sih sama Tante Sita. Gue nggak tega sebenarnya liatnya."
Yerika mengangguk. "Gue juga ngerasa gitu, Van. Jadi dimana Elina sekarang?"
"Tempat neneknya," jawab Vania.
Ayana melebarkan matanya. "Rumah neneknya 'kan di samping?"
"Jadi neneknya juga ikut nyembunyiin Elina?" tanya Yerika kali ini.
"Dan lo tahu nggak? Aisha sama Adelyn sebenarnya tahu semuanya," ujar Vania.
Yerika menggelengkan kepala. "Astaga durhaka tuh bocah semuanya."
Ayana tertawa dan tak menyangka. "Tapi gue salut sih rencana mereka berhasil."
Yerika mengangguk setuju. "Gue juga seneng karena besok kita bisa wisuda bareng."
Vania dan Ayana mengangguk. Ketiganya tak sabar untuk menantikan hari esok. Ya, besok adalah hari terakhir untuk mereka semua bersama. Namun itu tidak berlaku bagi keempat sahabat tersebut. Karena mereka, akan terus bersama, selamanya!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...