Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.
Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.
Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.
Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.
Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 1 - Permintaan
“Kami tidak punya pilihan lain, Nerissa.”
Ungkapan yang kudengar barusan berhasil membuat air mataku jatuh bercucuran. Hatiku hancur sekali, terasa diremat-remat, mendadak pasokan oksigen pun menipis.
“Tapi ... Aku tidak bisa, Bu, Pak.” Kepalaku kian tertunduk, kedua tanganku yang berada di atas paha terus meremas rok hitam sebatas lutut, beberapa tetes air mata berjatuhan di sana.
Meski menunduk, aku bisa merasakan bahwa tangan yang saat ini sedang mengelus bahuku adalah milik ibu. Perlahan ia berjongkok dihadapanku, harum parfum tipisnya membuatku tahu tanpa perlu melihat.
“Anggaplah ini caramu membalas kebaikan kami selama ini, Nerissa. Kami benar-benar tidak punya cara lain. Kamu hanya perlu menikah dengannya. Percayalah, dia itu pria baik. Kamu akan hidup bahagia dengannya.”
Begitu kata ibuku. Mulutku langsung terkunci rapat. Tapi cairan bening yang semakin deras menuruni pipi menjadi saksi bisu atas perasaanku saat ini.
Sumpah demi apapun, aku tidak meminta diadopsi untuk melakukan ini di masa depan. Bagaimana bisa aku menikah dengan tunangan dari kakak angkatku sendiri? Hampir setiap hari aku menyaksikan kemesraan mereka, hampir setiap waktu aku mendengar cerita manis yang keluar dari Darius—tunangan kakakku itu.
Dan ibuku berkata bahwa jika menikah dengannya aku akan bahagia?
Perlahan aku mengangkat pandangan, jelaga kami langsung bertemu detik itu juga. Walau pandanganku masih mengabur, tapi aku masih bisa jelas melihat ekspresi memohonnya itu.
“Bu, seminggu yang lalu kekasihku datang kesini. Aku selalu cerita pada ibu bahwa aku sangat mencintainya. Dan sekarang, apa ibu tega memintaku menikahi tunangan Kak Soraya dan meninggalkan kekasihku?”
Sejurus kemudian, setelah perkataan itu keluar dari mulutku, tiba-tiba saja kedua bahuku dicengkram kuat. Ibu sudah berubah posisi, ia berdiri menggunakan lututnya, tubuhnya lebih mencondong padaku, dalam jarak yang tersisa beberapa centi itu aku bisa melihatnya menangis dengan mulut bergetar.
“Soraya sudah meninggal, Nerissa!”
Aku membeku. Kalimat itu diutarakan dengan suara yang melengking. Tanganku tak berdaya untuk sekedar menutup telinga, membiarkan raungan itu yang kini dibubuhi oleh tangis menggebu itu menusuk-nusuk gendang telinga.
“Apa kamu tidak mengerti juga?! Jika dia masih hidup, Soraya yang amat kusayangi itu masih ada di sini, saya juga tidak akan mengemis seperti ini pada kamu!” tambahnya yang kini mulai menunjuk-nunjuk wajahku.
Suasana semakin tegang. Aku menangis, ibuku juga menangis histeris. Aku bisa merasakan rasa sedih yang dialami beliau. Tepat tiga hari lalu, kami semua kehilangan sosok keluarga. Soraya, kakak angkatku itu telah meninggal dunia, padahal seharusnya kemarin itu adalah hari pernikahannya.
“Dasar anak tidak tahu diuntung! Jika bukan karena saya, kamu mungkin akan tetap tinggal di panti asuhan kumuh itu!”
Aku menundukkan kepala. Sudah tak sanggup lagi. Bicaranya mulai melantur ke mana-mana. Tak lama ayahku melerai, membawa pergi ibu dari hadapanku, sedang aku terus menangis sesenggukan.
Selama ini, selama hidup di rumah ini dan berbaur dengan mereka, aku tidak pernah merasa diasingkan ataupun dibeda-bedakan. Aku tumbuh seperti anak kandung mereka sendiri, tapi hari ini perasaan itu tak lagi bisa aku rasakan.
Pada akhirnya aku tahu, bahwa sampai kapanpun aku hanyalah anak angkat mereka. Dan mungkin memang dengan cara yang mereka minta, aku bisa membalas jasa dan kebaikan yang telah mereka lakukan padaku selama ini.
“Nerissa,” panggil ayahku yang tanpa kusadari sudah ada di sampingku.
Perlahan aku menyusut air mata yang masih menyisakan jejak pada kedua pipi. Kepalaku masih menunduk, tak mungkin bisa menatapnya dengan tatapan sedih.
“Kamu tahu, ibumu tak mungkin benar-benar mengatakan hal itu, Nerissa. Dia hanya masih belum menerima. Tuntutan pernikahan ini harus tetap berjalan. Kami tahu itu tak mungkin bisa dibatalkan, sementara Darius, putra mereka saja masih selamat dari tragedi itu. Mereka pasti menagih janji kami dalam kesepakatan yang telah dibuat.”
Aku mengangguk tipis. “Iya, Ayah. Aku mengerti.”
Terdengar helaan napas yang dikeluarkan oleh ayahku. “Bisakah kamu menemui Darius besok di rumah sakit? Karena luka yang dia dapat bisa dikatakan tidak terlalu parah, sehingga besok dia sudah bisa pulang. Kamu mungkin bisa memulai pendekatan perlahan dengannya.”
Setelah semua hal yang terjadi, tetap saja aku tak diberi pilihan untuk menolak bukan? Itu sebabnya aku hanya mengangguk, meng-iyakan tanpa perlu mengatakan tentang ketidaksukaan ini.
Setelah ayah melengang pergi. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, ingin puas menangis di sana. Langsung menjatuhkan diri ke kasur dengan wajah yang ditempelkan pada bantal, kemudian menjerit-jerit, suaraku tertahan, membuat leherku terasa sakit sesudahnya.
Di tengah suasana sedih menyelimuti, sebuah suara notifikasi dari ponselku yang tergeletak tak jauh dari posisi baringku langsung membuatku mengangkat wajah dari bantal. Tanganku memanjang, meraih ponsel tersebut, melihat siapa yang mengirimi pesan.
Saat nama ‘Arjuna’ muncul dalam layar sebagai pengirim pesan, air mataku semakin deras. Sedih sekali saat menyadari bahwa hubunganku dengan pria yang kucintai mesti kandas hanya karena akan menjalani peran pengantin pengganti dalam waktu dekat ini.
Belum sempat pesan itu kubaca, tiba-tiba saja layar ponsel itu menampilkan bahwa Arjuna meneleponku. Seperkian detik, aku hanya mendengarkan dering teleponnya, memandangi namanya yang kububuhi emoticon love, tanpa berniat untuk mengangkatnya, sampai akhirnya layar tersebut menunjukkan bahwa panggilan darinya tak kujawab.
“Aku bahkan tak sanggup mendengar suaranya.” Aku menjatuhkan wajahku pada layar ponsel, “Aku semakin takut, karena di masa depan nanti aku tak akan bisa lagi mendengar suaranya.”
Tanpa kusadari rupanya ponsel yang kugenggam dan kujadikan sandaran dahi mendadak mengeluarkan suara. Dan yang lebih mengejutkan lagi, suara itu adalah suara Arjuna.
Kenapa bisa ini terjadi? Apa mungkin saat menempelkan dahi tadi, Arjuna kembali menelepon dan tak sengaja kutekan tombol hijau di sana? Ah, sudahlah, sepertinya semesta tak mengizinkanku untuk melarikan diri.
“Kamu habis menangis? Atau masih menangis?”
Buru-buru aku menjauhkan ponsel. Beringsut dari posisi telungkup, dengan sigap mencari tissue. Menghapus sisa-sisa air mata, mengeluarkan cairan dari hidung. Mengabaikan panggilan Arjuna dari seberang telepon yang terus memanggil-manggil namaku dengan suara khasnya.
“Iya, iya sebentar, Juna,” ujarku sambil mendekat kembali pada ponsel, berbaring dengan posisi nyamanku.
“Kamu kenapa? Baik-baik saja di sana, kan?”
“Y-ya, baik-baik saja. Kamu kan tahu kalau aku ini hobi sekali nonton film. Hari ini aku baru selesai nonton drama yang menguras air mata, dan itu membuatku jadi sedikit mellow,” dalihku, berharap dia tak curiga.
“Sudahilah tontonan sedihmu itu. Pulang nanti, aku akan memberimu kejutan. Jadi pastikan suasana hatimu baik.”
Aku mengerutkan alis. “Kejutan?”
“Apa kamu mau mendengarnya sekarang?”
“Memangnya kejutan apa? Kamu pulang di minggu ini, kan? Bagaimana jika—”
“Bagaimana jika kukatakan, aku akan melamarmu, Nerissa?”
***