Anara Bella seorang gadis yang mandiri dan baik hati. Ia tak sengaja di pertemukan dengan seorang pria amnesia yang tengah mengalami kecelakaan, pertemuan itu malah menghantarkan mereka pada suatu ikatan pernikahan yang tidak terduga. Mereka mulai membangun kehidupan bersama, dan Anara mulai mengembangkan perasaan cinta terhadap Alvian.
Di saat rasa cinta tumbuh di hati keduanya, pria itu mengalami kejadian yang membuat ingatan aslinya kembali, melupakan ingatan indah kebersamaannya dengan Anara dan hanya sedikit menyisakan kebencian untuk gadis itu.
Bagaimana bisa ada rasa benci?
Akankah Anara memperjuangkan cintanya?
Berhasil atau berakhir!
Mari kita lanjutkan cerita ini untuk menemukan jawabannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama eNdut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Mula
“Lihatlah, bukankah semua perempuan itu sama saja”, ucap seorang pria yang bernama Alvian, pria itu berucap dengan ekspresi yang begitu dingin. Pagi ini, ia duduk sendiri di sebuah Café yang seharusnya ia gunakan untuk menikmati secangkir kopi dengan santai di sela jadwal pekerjaannya yang begitu padat, namun harus terganggu dengan pertengkaran kedua pasangan yang tengah meributkan sesuatu. Dari sudut pandang yang Vian lihat, si pria tengah memarahi pasangannya karena menipunya, menudingnya dengan memanfaatkannya dengan meminta barang-barang mahal dan juga transferan uang.
“Menyebalkan”. Merasa tak nyaman, Vian pergi dengan meninggalkan selembar uang berwarna merah di atas meja, dengan pandangan yang tak suka, ia melirik kearah gadis yang kini masih bertengkar tanpa berusaha membela diri.
Vian yang kini duduk di meja kerjanya dengan angkuh menatap sengit kepada seorang pria yang saat ini menunduk ketakutan di hadapannya.
“Kau di pecat”, ucap pria lainnya yang berdiri di sebelah Vian, dia adalah Bara, asisten kepercayaannya.
“Pak saya mohon, tolong beri saya kesempatan, saya akan memperbaiki kesalahan saya”. Pria bernama Arya itu memohon sembari berlutut.
“Saya tidak pernah memberikan kesempatan kedua untuk seorang pegkhianat, pergilah!”, sela Vian yang merasa muak dengan Arya, seorang pengkhianat yang mengkhianati tempatnya bekerja dengan membocorkan rancangan desain baru dari Perusahaannya kepada pihak lawan.
Sudah di pastikan jika seseorang keluar dari Perusahaan tersebut apalagi dengan sebuah kesalahan, maka ia akan sangat susah untuk mencari pekerjaan lain karena pastinya namanya akan langsung masuk ke dalam daftar hitam dan semua Perusahaan akan menolaknya. Arya pun tau hal itu namun ia melakukan kesalahan itu karena terdesak. Ia terus memohon akan memperbaiki kesalahannya.
“Pak, Pak, saya mohon”. Pria itu terus memohon, bahkan ia meraih tangan Vian dan bersimpuh di bawah kakinya.
“Enyahlah”. Suara Vian menggelegar di seluruh ruangan, ia menghempaskan tangan Arya hingga membuat pria itu terjengkang.
Tak ingin melihatnya di ruangannya lagi, Vian lantas meminta security untuk membawanya keluar. Pria itu juga meminta asistennya untuk meninggalkannya sendiri.
Vian memang sangat membenci pengkhianatan, kesendiriannya itu membuatnya kembali mengingat masa lalunya di mana ia di khiantai oleh kekasihnya, bahkan ia melihatnya dengan mata kepalannya sendiri, kekasihnya bercumbu, memadu kasih dengan pria lain tepat sehari sebelum hari pertuanngan mereka. Karena hal itu Vian memandang semua perempuan itu sama. Namun tidak dengan pandangannya terhadap Ibunya yang memiliki sifat penyayang. Dengan kejadian itu pula Ia mulai berpikir jika tidak ada perempuan baik seperti Ibunya lagi di dunia ini. Perlu di ketahui jika dulu Vian adalah seorang pria yang humble dan menyenangkan namun sifatnya itu berubah drastis setelah kejadian yang tak mengenakkan itu terjadi padanya. Kini ia lebih fokus dengan Perusahaan keluarganya dan mengesampingkan urusan prcintaan hingga membuat kedua orang tuanaya cukup khawatir. Dan dengan sikapnya yang dingin dan kejam itu pula banyak orang yang tak menyuakiannya.
Beberapa hari telah berlalu. Seorang gadis terlihat tengah mengeluarkan motornya dari tempat parkir di mana ia baru saja selesai bekerja. Gadis itu bernama Anara Bella umur 21 tahun, gadis mandiri dan baik hati. Gadis yang kini kita sapa Nara itu berasal dari sebuah Desa yang jauh dari tempatnya kini berada. Nara hanya mempunyai seorang Ibu karena Ayahnya sudah lama tiada . Sudah dua tahun ia merantau sendiri ke kota ini. Nara melamar di sebuah toko roti dan sekarang ia sudah bekerja menjadi pramuniaga bakery.
Nara mendongak menatap langit malam yang di tutupi oleh awan hitam membuat langit itu bersih tanpa satupun bintang yang terlihat, nampak bersiap menumpahkan air hujan.
Satu tetes air jatuh di pipi Nara, gerimis kecil mulai membasahi tanah ini. Nara yang tengah bersiap untuk pulang pun mengurungkan niatnya karena hujan yang awalnya hanya gerimis kecil kini mulai turun dengan deras. Ia memilih menunggu hujan reda di pos satpam bersama dengan seorang pria paruh baya yang memang sedang bekerja di jam malam.
Keduanya memang telah slaing mengenal, Nara yang di kenal baik di tempat kerjanya ini juga mendapat perlakuan baik oleh teman-temannya. Setelah cukup lama menunggu, hujan pun mereda, tak ingin pulang terlalu malam Nara memilih menerobosnya karena ia pikir bisa sampai pagi ia disini jika menunggu sampai hujan benar-benar berhenti.
Nara berhenti di lesehan pinggir jalan, memesan satu porsi sate ayam dan lontong. Nara mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari dompet yang ia keluarkan dari dalam tas gendongnya, dan memberikannya kepada Abang penjual sate. Setelah menerima kembalian dan menenteng kantong kresek sate tadi, bergegas Nara berjalan menuju motor maticnya. Ia melihat jam yang melingkar ditangan kananya, ternyata sudah menunjukkan pukul dua belas malam, ia merogoh handphone disaku celana, memasang earphone ke telinga dan menyalakan musik untuk menemani perjalanan pulangnya.
Nara memilih jalan pintas untuk cepat sampai ke kontrakannya. Di perjalanan pulang, jalan yang ia lewati nampak sepi, tak ada lalu lalang kendaraan satu pun. Sebenarnya ada perasaan takut di hatinya, tapi perasaan takut itu Nara tepis dengan meyakinkan dirinya sendiri semua akan baik-baik saja. Sampai di pertigaan jalan, Nara mengambil arah kanan. Saat ia membelokkan motornya, ia melihat sebuah mobil di depannya. Ada perasaan tenang, ternyata masih ada kendaraan di jalan yang ia lewati.
"Ahh, akhirnya punya teman".
Nara mengernyit bingung melihat mobil di depannya yang bergerak tak sewajarnya, oleng ke kanan dan ke kiri.
"Itu mobil kenapa, mabuk kali ya yang nyetir?" Karena merasa takut Nara memilih berhenti, mengambil jarak lumayan jauh dari mobil di depannya. Terlihat mobil semakin tak terkendali.
"Eh,,astaga, nanti nabrak itu pasti".
Braakkk...
Baru saja Nara selesai bicara sendiri, mobil tersebut telah menabrak pembatas jalan, tabrakan cukup keras mengakibatkan bagian depan mobil ringsek, kap mobil depan terbuka dan mengeluarkan asap. Dengan modal nekat Nara melajukan motornya kembali dan berhenti di belakang mobil tadi. Baru saja mau turun dari motor gadis itu dikagetkan dengan pintu mobil bagian belakang yang terbuka.
"Astaga ya Tuhan," gumam gadis itu sambil memegang dadanya.
Keluarlah seorang lelaki yang masih mengenakan pakaian rumah sakit, dengan kepala di perban. Lelaki tersebut tampak sempoyongan sambil memegangi kepalanya, berjalan menghampiri Nara yang masih diam mematung di atas motornya.
"Tolong.... tolong saya..". Tanpa basa-basi lelaki itu langsung naik sendiri ke jok motor Nara. Karena masih merasa tak ada jawaban lelaki tersebut menepuk bahunya.
"Ayo..cepat nyalakan mesinya, bawa saya pergi dari sini."
"Ah..ya...lalu itu sopir kamu bagaimana?".
"Dia orang jahat, tolong cepat bawa saya pergi dari sini".
Tanpa banyak bicara lagi, Nara langsung melajukan motornya pergi dari situ. Tak lama setelah kepergian mereka, pintu mobil yang kecelakaan tadi terbuka, keluarlah seorang lelaki berbadan kekar dengan kepala bagian kening berdarah.
"Tuan Muda", gumamnya. Ia lalu merogoh ponselnya di saku celana dan langsung menghubungi seseorang. "Jemput aku di jalan xxx, cepat".
Diperjalanan tak ada satupun obrolan yang terucap, mereka saling diam, entah apa yang mereka pikirkan.
"Alamat rumah kamu dimana, biar saya antar ke sana?".
"Saya tidak ingat".
"Alamat rumah kamu sendiri masak gak ingat?".
"Jangankan alamat rumah, bahkan saya sendiri saja tidak tau siapa saya".
"Hah..?" mulut Nara membeo.
Karena terlalu pusing lelaki itu menyenderkan kepalanya di punggungnya. "Hei.. jangan tidur nanti jatuh".
"Tidak, Saya pinjam punggung mu sebentar, kepala saya pusing".
Nara pun membiarkannya. Ia bingung harus membawa orang ini kemana, karena rasa lelah dan kantuk melanda, tanpa pikir panjang ia membawanya ke kontrakannya.
Sampai di kontrakan, Nara membantu lelaki itu turun dari motor dan memapahnya masuk ke dalam rumah. Tanpa mereka sadari ada dua pasang mata yang melihatnya.
Di tempat berbeda, dua orang pria berdiri berhadapan di sebuah ruangan pribadi hanya ada sebuah meja sebagai penengah antara keduanya. Tampak buku-buku tersusun rapi di rak.
Braakkk...
Suara gebrakan meja menggema, terdengar cukup keras di ruangan itu. Seorang lelaki dihadapannya masih diam menundukkan wajahnya.
"Jelaskan", titah seorang pria yang nampak marah dengan orang yang ada di hadapannya, guratan kemarahan nampak jelas di wajah tegasnya. Pria itu adalah Agam, siapa orang yang tak mengenal nama itu, seorang pembisnis besar, yang merajai hampir seluruh bisnis property di Negaranya. Terkenal dingin dan tegas terhadap semua orang kecuali keluarganya dan tak mengenal ampun bagi orang yang telah mengkhianatinya. Orang dihadapan Agam yang tak lain adalah Johan, bawahannya, lelaki kekar yang keluar dari mobil yang sama dengan lelaki yang di selamatkan oleh Nara. Ia mulai mengangkat wajahnya , ia menceritakan secara jelas dan rinci rentetan kejadian yang ia alami saat membawa tuan mudanya.
"Cari informasi mengenai gadis itu, laporkan kepadaku secepatnya", titah Agam.