Level Up Milenial mengisahkan Arka, seorang guru muda berusia 25 tahun yang ditugaskan mengajar di SMA Harapan Nusantara, sekolah dengan reputasi terburuk di kota, dijuluki SMA Gila karena kelakuan para muridnya yang konyol dan tak terduga. Dengan hanya satu kelas terakhir yang tersisa, 3A, dan rencana penutupan sekolah dalam waktu setahun, Arka menghadapi tantangan besar.
Namun, di balik kekacauan, Arka menemukan potensi tersembunyi para muridnya. Ia menciptakan program kreatif bernama Level Up Milenial, yang memberi murid kebebasan untuk berkembang sesuai minat mereka. Dari kekonyolan lahir kreativitas, dari kegilaan tumbuh harapan.
Sebuah kisah lucu, hangat, dan inspiratif tentang dunia pendidikan, generasi muda, dan bagaimana seorang guru bisa mengubah masa depan dengan pendekatan yang tak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Rifa'i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reza dan Masa Lalu yang Penuh Warna
Sore itu, langit mendung, dan Pak Arkan duduk di ruang guru dengan secangkir teh yang hampir dingin. Ia memanggil Reza, siswa yang dikenal paling ekspresif dan penuh ide nyeleneh, untuk menggali kisah masa lalunya lebih dalam.
"Hari ini, kita tunda pelajaran bahasa indonesia." ucap Arkan dengan santai.
Semua murid melihat dan teruju kepada Arkan."pak, anda hampir saja membuat rambutku gosong." ucap cindi yang sedang memegang alat catok rambut.
"ada apa pak ?" tanya Reza dan semua murid bertanya-tanya.
"apakah bapak akan membahas soal hantu ?" tanya Lia misterius.
"tidak, saya akan memanggil kalian satu persatu maju kedepan untuk menceritakan masa lalu kalian dan apa motivasi cita-cita kalian." ucap Arkan serius.
"wah gawat ! Aib gue kebongkar dong." celetuk Toni.
"Reza.. Maju." ucap Arkan.
Reza dengan langkah santai, mengenakan jaket hoodie dengan gambar kamera dan tulisan “Vibes Don’t Lie.” Ia duduk dengan gaya presenter acara gosip.
"Pak, siap dengerin masa lalu saya yang penuh liku dan... kocak?" tanyanya sambil menyeringai.
Pak Arkan tertawa kecil. “Saya sudah siap mental. Cerita, Za.”
Reza menarik napas dalam-dalam.
“Waktu kecil, saya itu... pendiam banget, Pak. Nggak percaya? Tanya Mama saya. Saya nggak suka ngomong, takut salah. Tapi ada satu hal yang bikin saya semangat: kamera HP.”
Pak Arkan mengernyit penasaran.
“Serius, Pak. Pertama kali pegang HP yang ada kameranya, saya langsung rekam semuanya. Kucing makan, ayam lari, bahkan adik saya kentut di sofa, semua saya rekam.”
Pak Arkan terbahak. “Itu sudah tanda-tanda jadi content creator.”
Reza mengangguk. “Tapi waktu SD, saya malah dikira aneh. Teman-teman saya sering bilang, ‘Ngapain sih videoin semua hal? Nggak penting.’ Saya sempat minder, Pak. Sering banget ngumpet di kamar dan ngedit video diam-diam.”
Ia menunduk sejenak, lalu tersenyum tipis.
“Sampai suatu hari, saya unggah video ayah saya yang lagi joget canggung pas kondangan ke YouTube. Eh, yang nonton 10 ribu orang. Saya pikir itu mukjizat. Dari situ saya mulai percaya diri lagi.”
Pak Arkan mengangguk perlahan. “Terus lanjut bikin video?”
“Yap! Tapi sempat vakum pas masuk SMP. Soalnya... saya kena bully, Pak. Dibilang ‘tukang cari sensasi’ karena suka rekam-rekam. Saya hampir hapus semua akun media sosial saya.”
Pak Arkan menatapnya prihatin. “Terus, kenapa nggak jadi hapus?”
Reza tersenyum bangga. “Karena saya nemuin komunitas video creator pemula. Mereka ngajarin saya bahwa semua orang punya cara berekspresi sendiri. Saya mulai bikin konten edukasi lucu, parodi pelajaran, dan ternyata... banyak yang suka.”
Ia membuka ponselnya dan menunjukkan salah satu video lamanya.
“Ini, Pak. Video pelajaran bahasa Inggris, tapi gaya penyampaian kayak sinetron. Konyol sih, tapi viewers-nya sejuta lebih.”
Pak Arkan tertawa sampai memegang perut. “Pantas kamu jadi dokumentaris kelas. Tapi saya bangga, Za. Dari ketakutan jadi keberanian, dari rasa minder jadi percaya diri.”
Reza menunduk sebentar. “Saya cuma pengin buktiin, Pak... bahwa jadi diri sendiri itu nggak salah. Bahkan kalau konyol sekalipun, asal positif dan nggak ngerugiin orang.”
Pak Arkan tersenyum penuh kebanggaan. “Kamu bukti nyata bahwa kekonyolan bisa jadi kekuatan.”
Reza berdiri dan bersalaman dengan gaya formal, lalu menyambar kameranya yang tergantung di leher. “Pak, boleh saya rekam momen ini? Buat dokumentasi pribadi.”
“Silakan. Tapi jangan upload ekspresi saya pas nyengir ya, nanti jadi meme!”
Reza tertawa keras. Kamera menyala, dan momen itu pun terekam sebagai bagian dari sejarah seorang siswa konyol yang menyulap masa lalu kelam menjadi kisah sukses yang menginspirasi.
Reza menunduk sebentar. “Saya cuma pengin buktiin, Pak... bahwa jadi diri sendiri itu nggak salah. Bahkan kalau konyol sekalipun, asal positif dan nggak ngerugiin orang.”
Pak Arkan tersenyum penuh kebanggaan. “Kamu bukti nyata bahwa kekonyolan bisa jadi kekuatan.”
Reza mengangguk, lalu berkata dengan nada lebih serius, “Pak, boleh saya jujur?”
“Tentu, Za.”
“Sebenarnya, saya punya masa kelam. Saat SMP kelas 2, saya pernah hampir berhenti sekolah. Papa kehilangan pekerjaan, dan saya bantu Mama jualan gorengan. Saya mulai rekam video jualan dan ternyata... dari situ saya nemuin cinta saya yang sebenarnya: dunia kamera. Saya sadar, saya pengen jadi kameramen, Pak. Orang yang bisa mengabadikan kisah, bukan cuma untuk lucu-lucuan, tapi untuk menyampaikan makna.”
Pak Arkan menatapnya dengan rasa bangga yang tulus. “Reza, kamu bukan sekadar kreator. Kamu adalah penutur cerita.”
Reza tersenyum lebar. “Dan saya harap, suatu hari, bisa kerja di dunia perfilman atau dokumenter. Saya pengin ceritain kisah orang-orang biasa yang luar biasa.”
Pak Arkan berdiri dan menepuk bahunya. “Saya yakin kamu bisa. Bahkan lebih dari itu.”
Reza berdiri dan bersalaman dengan gaya formal, lalu menyambar kameranya yang tergantung di leher. “Pak, boleh saya rekam momen ini? Buat dokumentasi pribadi.”
“Silakan. Tapi jangan upload ekspresi saya pas nyengir ya, nanti jadi meme!”
Reza tertawa keras. Kamera menyala, dan momen itu pun terekam sebagai bagian dari sejarah seorang siswa konyol yang menyulap masa lalu kelam menjadi kisah sukses yang menginspirasi.
Setelah itu, Reza sempat diam sejenak. Tatapannya menerawang, Arkan yang melihat ekspresi tiba-tiba berbeda, menanyakan kepada Reza."apakah ada sesuatu yang lain ?"
“Pak… saya juga pernah ngerasa... sendirian banget. Waktu itu, saya nggak punya teman. Di sekolah, saya dijauhi. Di rumah, Papa stres karena nggak kerja. Saya sering nangis, tapi nggak pernah berani ngomong ke siapa pun.”
Pak Arkan terdiam. Ia tidak menyangka di balik senyum ceria Reza, ada luka yang begitu dalam.
“Saya sempat mikir, apa saya memang aneh ya, Pak? Tapi kamera itu… jadi teman saya. Satu-satunya cara saya ngobrol sama dunia, walaupun dunia nggak selalu balas dengan baik.”
Pak Arkan menghela napas, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Reza. Kamu sudah jauh melangkah, dan saya bangga bisa melihatmu tumbuh. Kamu membuat saya tersentuh hari ini.”
Reza tersenyum malu, tapi matanya juga berkaca-kaca. “Terima kasih, Pak… sudah mau dengerin.”