Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Pernah Diobati
Aroma lembut dari sup krim labu yang baru disajikan menyebar di ruangan, namun tak cukup untuk mengusir hawa tegang yang perlahan menyelubungi hati Mistiza.
Ia duduk di tempat yang telah ditentukan untuknya, Mistiza ditemani oleh Andreas yang berada di depan.
Tidak ada tatapan tajam dari Andreas. Tidak pula ada komentar sinis atau senyuman mengejek yang biasa mengiringi setiap makan malam mereka. Pria itu hanya diam, menunduk dengan tenang, mengambil sendok peraknya dan menyantap makanannya dengan gerakan elegan yang tanpa cela. Tidak tergesa, tidak pula bertele-tele. Hanya makan—seolah dirinya bukan orang yang telah memaksa ciuman kepada calon adik iparnya beberapa jam lalu.
Mistiza sesekali melirik pria itu dari ujung matanya. Diam-diam, jantungnya berdetak lebih cepat, seakan takut bahwa setiap gerakannya akan menarik perhatian Andreas. Namun, malam ini Andreas seolah hanyut dalam dunianya sendiri, tidak menoleh, tidak berkata apa pun, bahkan tidak memedulikan kehadiran Mistiza yang duduk tak jauh darinya.
Keheningan ini, meskipun seharusnya terasa menenangkan, justru memunculkan rasa penasaran yang menyesakkan dada. Mistiza mengangkat gelas anggurnya perlahan, menyeruput sedikit, hanya untuk menyamarkan kegugupannya. Ia belum bisa memutuskan apakah harus bersyukur atau justru khawatir dengan perubahan sikap Andreas.
Mungkinkah Andreas juga merasa canggung?
Pertanyaan itu muncul tanpa permisi di benaknya. Mistiza menunduk, mencoba menyembunyikan rona yang mulai memanas di pipinya. Ia tidak ingin mengingat ciuman itu, tidak ingin membiarkan perasaan aneh yang menyusup dalam keheningan tadi siang kembali merayapi pikirannya. Tapi sayangnya, rasa itu tidak bisa dibohongi. Bayangan wajah Andreas setelah ciuman itu—tatapan dalamnya yang entah memendam luka atau kerinduan—masih begitu jelas.
Suara alat makan yang bersentuhan dengan piring menjadi satu-satunya irama saat itu.
Mistiza menatap piringnya, menyuap makanan sedikit demi sedikit, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Namun tak urung, matanya kembali menatap ke arah Andreas.
Dan saat itu, tanpa sengaja, tatapan mereka bertemu.
Sekilas saja. Tak sampai satu detik. Namun cukup untuk membuat Mistiza nyaris menjatuhkan sendoknya.
Tatapan itu… tidak mengandung kebencian. Tidak pula kesombongan. Hanya sejenak, Andreas menatapnya dengan mata yang tenang, datar, nyaris tak terbaca. Namun di balik ketenangan itu, Mistiza merasa seperti melihat sesuatu yang lebih dalam—namun hal itu membuat Mistiza makin tidak enak perasaan.
Andreas segera mengalihkan pandangannya, seolah pertemuan mata itu tidak pernah terjadi. Ia kembali pada makanannya, diam dan tak menunjukkan ekspresi apa pun. Tapi bagi Mistiza, itu sudah cukup untuk membuat pikirannya kacau.
Setelah makan malam berakhir, Andreas berdiri terlebih dahulu, dan berjalan keluar tanpa berkata-kata. Mistiza tetap duduk di kursinya, menatap punggung pria itu menghilang di balik pintu besar, bingung dengan perubahan sikap yang tidak ia pahami.
Richard menghampirinya pelan, seperti tahu bahwa nona muda itu butuh waktu untuk mencerna suasana.
"Apakah makanannya kurang enak, Nona?" tanya Ricard sambil merapikan serbet di atas meja.
Mistiza menggeleng pelan. “Bukan itu. Hanya… aku tidak menyangka malam ini akan terasa... tenang.”
"Tuan Andreas mungkin sedang lelah, tapi sebaiknya anda bersyukur akan hal itu"
Mistiza menatap Richard sejenak, lalu mengangguk perlahan. Mereka pun pergi dari ruang makan tersebut.
Dengan langkah tenang dan penuh kehati-hatian, Richard berjalan di sisi Mistiza, mengantarkannya menuju kamar yang telah disiapkan untuknya di kediaman megah Andreas Wilton. Lorong panjang yang mereka lewati sunyi, hanya sesekali terdengar gemerisik kain tirai yang tersentuh angin dari jendela besar di sepanjang dinding. Lampu gantung kristal memancarkan cahaya temaram, menambah kesan tenang namun dingin yang mengisi atmosfer malam itu.
Mistiza melangkah perlahan, sesekali mencuri pandang ke arah Richard yang berjalan dengan postur tegak, wajahnya tetap tenang seperti biasa. Namun hati wanita muda itu masih penuh tanya. Hening makan malam tadi, sikap Andreas yang berubah drastis, dan terutama tatapan singkat yang sempat tertangkap matanya—semuanya menimbulkan kegelisahan yang tak bisa ia abaikan.
Tanpa sadar, ia menghentikan langkahnya. Richard pun ikut berhenti, menoleh dengan sopan.
"Richard," ucap Mistiza perlahan. "Bolehkah aku menanyakan sesuatu?"
Pelayan setia itu mengangguk pelan. “Tentu, Nona. Jika saya bisa membantu, saya akan berusaha menjawabnya.”
Mistiza menggigit bibir bawahnya sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bicara, “Aku hanya ingin tahu… bagaimana sebenarnya hubungan antara Tuan Andreas dan Ryan? Maksudku… Andreas seolah sangat membenci Ryan. Apa ada sesuatu yang terjadi di masa lalu?”
Richard terdiam. Matanya menatap ke depan, seolah mempertimbangkan sesuatu. Beberapa saat lamanya ia tidak menjawab. Mistiza bisa merasakan keraguan dari raut wajah pria paruh baya itu.
“Saya… tidak tahu apakah saya pantas menjelaskan hal ini, Nona,” ujarnya akhirnya, suaranya pelan namun jelas. “Tapi mengingat Anda memiliki hubungan yang dekat dengan Tuan Ryan… mungkin Anda memang berhak untuk tahu, setidaknya sebagian dari kebenarannya.”
Mereka mulai berjalan kembali, namun kali ini dengan langkah yang lebih lambat.
“Hubungan Tuan Andreas dan Tuan Ryan memang tidak pernah dekat, bahkan sejak awal. Bukan karena kesalahan Tuan Ryan secara langsung, melainkan karena latar belakang keluarga mereka yang rumit,” jelas Richard.
Mistiza menyimak dengan seksama, kedua tangannya menggenggam ringan gaun yang dipakai. Ia merasa jantungnya berdebar lebih cepat.
“Dulu,” lanjut Richard, “Saat ibu kandung Tuan Andreas masih ada, Tuan Gerald memiliki hubungan terlarang dengan Nyonya Olive, padahal nyonya olive adalah teman dekat dari mendiang ibu kandung Tuan Andreas" Ricard kembali menjeda ceritanya untuk sekedar menarik nafas.
"Beliau depresi setelah mengetahui hal itu, kemudian.... B*nuh diri"
Deg!
Mata Mistiza melebar tatkala mendengar kalimat menyeramkan itu.
"Namun setelah Ibu kandung Tuan Andreas meninggal, tuan Gerald justru menikahi Nyonya Olive, sebab pada saat itu nyonya sudah mengandung Tuan Ryan. Padahal Tuan Andreas masih sangat kecil, namun setelah ibunya pergi, ayahnya malah sibuk membangun keluarga baru"
Mistiza menelan ludah. Ia mulai bisa menebak arah cerita ini.
“Jadi... Andreas merasa dikhianati,” gumamnya.
“Benar, Nona. Dan perasaan itu tidak pernah benar-benar hilang. Beliau memandang ayahnya sebagai seorang pria yang menghancurkan keluarganya sendiri, dan Nyonya Olive sebagai orang yang merebut posisi ibunya. Sayangnya, kemarahan itu secara tidak langsung juga terbawa kepada Tuan Ryan, yang tidak bersalah namun dianggap sebagai simbol dari semua luka itu.”
Richard berhenti sejenak, lalu menatap Mistiza dengan mata yang hangat namun penuh kehati-hatian.
“Itu saja yang bisa saya ceritakan, Nona. Saya mohon maaf jika informasi ini tidak lengkap.”
Mistiza menggeleng cepat. “Tidak, Richard. Justru saya berterima kasih. Aku mengerti sekarang mengapa Andreas sering terlihat dingin terhadap Ryan. Meskipun aku tidak membenarkan sikapnya, setidaknya aku bisa memahami alasannya.”
Richard tersenyum kecil. “Terima kasih atas pengertian Anda, Nona. Terkadang, luka lama memang sulit disembuhkan… terlebih jika tidak pernah benar-benar dibicarakan.”
Mereka sampai di depan pintu kamar Mistiza. Richard membukakan pintu dengan sopan, lalu menunduk sedikit.
“Selamat malam, Nona. Istirahatlah dengan tenang.”
Mistiza mengangguk lembut. “Selamat malam, Richard. Dan… terima kasih sekali lagi.”
Pintu ditutup perlahan, dan keheningan kembali menyelimuti lorong itu. Namun di dalam kamar, hati Mistiza justru semakin penuh oleh campuran emosi: simpati, penasaran, dan sedikit kekhawatiran. Kini ia sadar, bahwa di balik sikap dingin Andreas, tersembunyi luka masa lalu yang belum sembuh—dan mungkin, tidak pernah benar-benar diobati.
sehat sehat Mak othor... maaf kan aku yg tamak ini .. crtmu bgs bingittt
aku baca yg sudah tamat dan ingat cerita ini pernah ku baca dulu