Valerie memutuskan pulang ke Indonesia setelah dikhianati sang kekasih—Kelvin Harrison. Demi melampiaskan luka hatinya, Vale menikah dengan tuan muda lumpuh yang kaya raya—Sirius Brox.
Namun, siapa sangka, ternyata Riu adalah paman terkecilnya Kelvin. Vale pun kembali dihadapkan dengan sosok mantan, juga dihadapkan dengan rumitnya rahasia keluarga Brox.
Perlahan, Vale tahu siapa sebenarnya Riu. Namun, tak lantas membuat dia menyesal menikah dengan lelaki itu, malah dengan sepenuh hati memasrahkan cinta yang menggebu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aroma Parfum Wanita
"Wanita yang reservasi restorannya Om Adi ternyata ketemuan sama papanya Kelvin, Val. Mereka pelukan dan ciuman segala. Ada hubungan apa ya mereka?"
Vale masih diam dan hanya mengerutkan kening. Tak habis pikir dengan kabar yang dibawa Thalia.
Sejak siang tadi, sahabatnya itu memang mengatakan akan membantu pamannya menjaga restoran karena dia sedang senggang. Kebetulan sebagian yang bekerja di sana pulang lebih awal karena ada salah satu yang menikah.
"Mungkin kamu salah lihat, Tha, tidak mungkin itu dia. Malam ini ada acara makan bersama di rumah Papa Mertua, jadi mana bisa dia ada di sana." Vale menyangkal karena menurutnya sedikit mustahil.
"Kamu meragukan mataku?" sahut Thalia.
Vale kembali diam. Sejauh ini, Thalia sangat paham dengan wajah orang tua Kelvin, karena dulu tinggal lama di London. Meski tak pernah berbincang secara langsung, tetapi cukup sering melihatnya. Sekarang, Thalia juga satu-satunya teman yang paham benar dengan pernikahannya bersama Riu, berikut hubungan Riu dengan Kelvin.
"Kalau menurutku ya, mereka itu bukan sekedar rekan kerja. Tapi ... lebih kayak pasangan. Bayangkan ya, janjian semalam ini, belum lagi yang direservasi satu restoran penuh, bukan hanya satu atau dua tempat. Kesannya mereka tidak mau dipergoki orang lain, kan?" ucap Thalia lagi.
"Tapi ... ini sulit dipercaya, Tha."
"Tapi, ini kenyataannya, Val. Tadi malah aku mundur, balik kanan tidak jadi mengantar minuman ke sana. Aku suruh Paman sendiri yang mengantar, aku takut dia mengenaliku." Ucapan Thalia kali ini makin sulit dicerna oleh Vale.
Sampai akhirnya, dia hanya bisa diam dengan bibir yang bergerak-gerak, seakan-akan ingin bicara tetapi tidak tahu memulainya dari mana.
"Tapi, baguslah kalau benar papanya selingkuh, biar Kelvin juga tahu sakitnya dikhianati itu seperti apa. Kalau perlu setelah ini jatuh miskin saja sekalian, biar tidak laku dan jadi bujang lapuk. Biar karatan itu 'barang' kebanggaan dia." Thalia menyambung ucapannya dengan omelan. Ikut sakit dia atas perbuatan Kelvin terhadap Vale sewaktu masih di London.
Vale hanya menanggapi dengan kalimat singkat, masih terkejut dia. Lantas, tak berselang lama Thalia mengakhiri panggilannya.
Usai meletakkan ponsel ke atas meja, Vale menatap Riu dengan kening yang masih mengernyit.
"Kenapa?" tanya Riu.
"Kata Thalia, Theo menemui seorang wanita di restoran. Tempatnya direservasi penuh, terus... mereka sempat pelukan dan ciuman juga. Ini ... ada apa?" jawab Vale dengan hati-hati. Meski hubungan Riu dengan kakaknya tidak baik, tetapi tidak menutup kemungkinan Riu akan murka juga.
Namun, nyatanya malah senyuman lebar yang Riu ulurkan. Lantas, menarik napas panjang dan duduk di sofa sambil menyilangkan satu kaki ke atas kaki yang lain.
"Memang seperti itu," ucapnya santai.
Vale membelalak, "Hah? Maksudmu ... Kak Annisa diselingkuhi?"
"Secara halus begitu. Kalau secara kasar ya ... dibodohi."
Vale kembali mengernyitkan kening.
"Sudah lama Theo mengkhianati Kak Annisa. Dan mungkin selama ini cinta dia hanya berdasarkan harta. Kalau tidak bodoh, sudah pasti Kak Annisa menyadari hal itu, kan?" ucap Riu lagi.
Dengan pikiran yang sibuk mencerna, Vale mengangguk-angguk. Merasa wajar atas sikap Kelvin dulu, ternyata menurun dari ayahnya. Lantas, Vale mulai membuka suara ketika keduanya sudah lama diam.
"Kamu tahu ini dari lama, kenapa tidak bilang saja pada Kak Annisa? Bisa jadi kan sikapnya selama ini karena terpengaruh Theo?"
Riu tersenyum miring, "Ya, anggap saja sikapku ini bagian dari cara mengingatkan, karena orang seperti dia tidak akan cukup dengan kata-kata. Tapi, aku tidak yakin. Mengingat sikap Papa dan Mama Miranda yang begitu kompak mencurangi ibuku, besar kemungkinan sikap kedua kakakku juga terpengaruh mereka."
Vale tidak menjawab lagi. Namun, langsung menghambur ke pelukan Riu. Menyandarkan kepala di dada lelaki itu, sekaligus mengusap lembut lengannya.
"Ya sudahlah, lupakan saja. Ada aku di sini, yang sampai kapanpun tidak akan meninggalkan kamu. Apa yang menjadi keputusanmu sekarang, aku yakin itulah yang terbaik," ucapnya.
Sesaat kemudian, kecupan mesra mendarat di kening Vale. Sudah tak ada lagi cemburu yang menggebu seperti tadi. Tatapan dan ucapan Vale sudah cukup untuk meredam semua itu.
"Kamu tahu kenapa tadi aku keluar?" tanya Riu sambil mendekap tubuh Vale.
Vale menggeleng.
"Sander ke sini."
"Untuk apa?"
Riu menarik napas panjang, "Keberatan perusahaannya aku jual. Tapi, apa peduliku. Apa yang sudah kuputuskan, tidak akan goyah hanya karena dia. Malah, aku sudah membuat dia kembali ke luar negeri lagi. Ke depannya dia tidak akan bisa menatapmu dengan pandangan yang menyebalkan itu lagi."
Vale mendongak seketika, "Jadi ... itu yang membuat kamu cemburu?"
"Menurutmu?"
Vale tertawa renyah, merasa bangga sekaligus lucu. Orang seperti Riu, nyatanya kalau cemburu tidak beda jauh dengan remaja yang baru mengenal cinta.
"Mantanku cuma Kelvin loh, tidak ada hubungannya dengan Sander. Kenapa kamu cemburu juga sama dia? Memangnya istrimu secantik itu?"
"Dia memang bukan mantanmu, tapi dia juga mencintaimu. Kamu jangan pura-pura tidak tahu," sahut Riu.
Vale berpikir sejenak, mungkin benar apa yang dikatakan Riu.
"Kamu tahu bagaimana kesalnya aku? Dua keponakanku tertarik sama kamu, dan sialnya aku paling tua di antara mereka. Sedangkan kamu, sebayanya dengan mereka," gerutu Riu.
Vale makin tertawa, "Memangnya kalau tua kenapa? Kan aku menikahnya sama kamu. Lagi pula ... dibandingkan mereka, wajah kamu yang paling maksimal gantengnya."
Vale bicara sambil memainkan jemarinya di dada Riu. Bahkan, dengan nakal melepas beberapa kancing kemejanya, sehingga dada bidang Riu terpampang nyata.
"Kamu sedang menggodaku, hmm?" tanya Riu sembari menggenggam tangan Vale yang masih ada di atas dadanya.
"Mungkin," jawab Vale.
Riu tak menahan lagi. Dengan semangat ia meladeni Vale, membuatnya mengulang adegan-adegan yang belum lama terjadi.
_______
Tepat pukul 02.00 dini hari, Theo baru tiba di kamarnya. Tanpa rasa bersalah, dia melenggang masuk dan menghampiri Annisa yang masih duduk di tepi ranjang. Raut wajah wanita itu sangat tidak sedap dipandang.
"Kamu dari mana saja, Mas? Katanya hanya menemui kawan lama untuk membahas tawaran bisnis, tapi kenapa sampai pagi begini?" tanya Annisa dengan pandangan yang menuntut.
"Sudah lama tidak bertemu, jadi kami ngobrol dulu. Saking asyiknya sampai lupa waktu," jawab Theo.
"Terus kenapa telfonku tidak diangkat?"
Meski biasanya Theo memang seperti itu—tidak pernah memegang ponsel jika sedang membahas pekerjaan, tetapi malam ini Annisa merasa tidak nyaman. Entahlah, seperti ada sesuatu yang mengganggu.
"Ponselnya di saku, aku tidak tahu kalau kamu telfon."
"Terus___" ucapan Annisa terhenti ketika hidungnya menangkap aroma lain—parfum wanita. Mendadak jantungnya berdetak cepat. Sebuah ketakutan yang dulu pernah ia rasakan, kini meledak lagi.
Bersambung...